Gunung Sinabung (bahasa Karo: Deleng Sinabung) adalah gunung api di Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Sinabung bersama Gunung Sibayak di dekatnya adalah dua gunung berapi aktif di Sumatera Utara dan menjadi puncak tertinggi di provinsi itu. Ketinggian gunung ini adalah 2.460 meter.
Gunung ini tidak pernah tercatat meletus sejak
tahun 1600, tetapi mendadak aktif kembali dengan meletus
pada tahun 2010. Letusan terakhir gunung ini terjadi sejak September 2013 dan
berlangsung hingga kini.
Agustus 2010
Pada 27 Agustus
2010, gunung
ini mengeluarkan asap dan abu vulkanis. Pada tanggal 29 Agustus
2010 dini hari
sekitar pukul 00.15 WIB (28 Agustus 2010, 17.15 UTC), gunung Sinabung
mengeluarkan lava.
Status gunung ini dinaikkan menjadi Awas. Dua belas ribu warga disekitarnya dievakuasi
dan ditampung di 8 lokasi. Abu Gunung Sinabung cenderung meluncur dari arah
barat daya menuju timur laut. Sebagian Kota Medan
juga terselimuti abu dari Gunung Sinabung.
Bandar Udara Polonia di Kota Medan
dilaporkan tidak mengalami gangguan perjalanan udara.
Satu orang dilaporkan meninggal dunia karena
gangguan pernapasan ketika mengungsi dari rumahnya.
September 2010
Pada tanggal 3 September, terjadi 2 letusan.
Letusan pertama terjadi sekitar pukul 04.45 WIB sedangkan letusan kedua terjadi
sekitar pukul 18.00 WIB. Letusan pertama menyemburkan debu vuklkanis setinggi 3
kilometer. Letuasn kedua terjadi bersamaan dengan gempa bumi vulkanis yang
dapat terasa hingga 25 kilometer di sekitar gunung ini.
Pada tanggal 7 September, Gunung Sinabung kembali
metelus. Ini merupakan letusan terbesar sejak gunung ini menjadi aktif pada
tanggal 29 Agustus 2010. Suara letusan ini terdengar sampai jarak 8 kilometer.
Debu vulkanis ini tersembur hingga 5.000 meter di udara.
Letusan 2013—2014
Pada tahun 2013, Gunung Sinabung meletus kembali,
sampai 18 September 2013, telah terjadi 4 kali letusan. Letusan pertama terjadi
ada tanggal 15 September 2013 dini hari, kemudian terjadi kembali pada sore
harinya. Pada 17 September 2013, terjadi 2 letusan pada siang dan sore hari.
Letusan ini melepaskan awan panas dan abu vulkanik.
Tidak ada tanda-tanda sebelumnya akan peningkatan aktivitas sehingga tidak ada
peringatan dini sebelumnya. Hujan abu mencapai kawasan Sibolangit
dan Berastagi.
Tidak ada korban jiwa dilaporkan, tetapi ribuan warga pemukiman sekitar
terpaksa mengungsi ke kawasan aman.
Akibat peristiwa ini, status Gunung Sinabung
dinaikkan ke level 3 menjadi Siaga. Setelah aktivitas cukup tinggi selama
beberapa hari, pada tanggal 29 September 2013 status diturunkan menjadi level
2, Waspada. Namun demikian, aktivitas tidak berhenti dan kondisinya fluktuatif.
Memasuki bulan November, terjadi peningkatan
aktivitas dengan letusan-letusan yang semakin menguat, sehingga pada tanggal 3
November 2013 pukul 03.00 status dinaikkan kembali menjadi Siaga.
Pengungsian penduduk di desa-desa sekitar berjarak 5 km dilakukan.
Letusan-letusan terjadi berkali-kali setelah itu,
disertai luncuran awan panas sampai 1,5 km. Pada tanggal 20
November 2013 terjadi enam kali letusan sejak dini hari. Erupsi (letusan)
terjadi lagi empat kali pada tanggal 23 November 2013 semenjak sore,
dilanjutkan pada hari berikutnya, sebanyak lima kali. Terbentuk kolom abu
setinggi 8000 m di atas puncak gunung. Akibat rangkaian letusan ini, Kota Medan
yang berjarak 80 km di sebelah timur terkena hujan abu vulkanik. Pada
tanggal 24 November 2013 pukul 10.00 status Gunung Sinabung dinaikkan ke level
tertinggi, level 4 (Awas).
Penduduk dari 21 desa dan 2 dusun harus diungsikan.
Gunung
Sinabung, tanggal 29 Januari 2014
Status level 4 (Awas) ini terus bertahan hingga
memasuki tahun 2014. Guguran lava pijar dan semburan awan panas masih terus
terjadi sampai 3 Januari 2014. Mulai tanggal 4 Januari 2014 terjadi rentetan
kegempaan, letusan, dan luncuran awan panas terus-menerus sampai hari
berikutnya. Hal ini memaksa tambahan warga untuk mengungsi, hingga melebihi 20
ribu orang.
Setelah kondisi ini bertahan terus, pada minggu
terakhir Januari 2014 kondisi Gunung Sinabung mulai stabil dan direncanakan
pengungsi yang berasal dari luar radius bahaya (5 km) dapat dipulangkan. Namun
demikian, sehari kemudian 14 orang ditemukan tewas dan 3 orang luka-luka
terkena luncuran awan panas ketika sedang mendatangi Desa Suka Meriah, Kecamatan Payung
yang berada dalam zona bahaya I.
Gunung
Sinabung 5 Maret 2015
kembali meletus dan memuntahkan abu vulkanik
setinggi 2.000 meter ke arah selatan. Letusan Kamis (5/3/2015) pukul 08.20 WIB
ini juga dibarengi dengan luncuran awan panas sejauh 3.500 meter. Pada saat letusan terjadi, angin mengarah ke
barat. Dampaknya, desa yang berada di daerah barat dihujani abu vulkanik yang
cukup tebal. Sejak pukul 00.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB, terjadi tujuh kali
guguran awan panas. Petugas Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Arif mengatakan, kegempaan
Gunung Sinabung masih sangat tinggi.
Pos PVMBG mencatat, hingga pukul 12.00 WIB telah terjadi 72 kali gempa guguran, 23 kali gempa hybrid, 18 kali gempa low frequency, satu kali gempa vulkanik, satu kali gempa tektonik jauh, dan tremor terjadi terus menerus. Status Gunung Sinabung masih Siaga Level III. Pos PVMBG mengimbau warga agar meningkatkan kewaspadaan.
Letusan 17
Juni 2015
Aktivitas erupsi Gunung Sinabung di Kab. Karo,
Sumatera Utara tetap tinggi. Sepanjang Selasa (17/6/2015) terjadi 120 kali
guguran, 4 kali luncuran awan panas sepanjang 2-3 km ke sisi timur-tenggara dan
selatan, 2 kali luncuran lava pijar 1,5 km ke tenggara dan 2 km ke selatan,
tremor menerus serta semua parameter seismisitas masih tinggi. Pada Rabu
(18/6/2015) siang telah terjadi 1 kali awan panas guguran dari puncak dengan
jarak luncur sejauh 2,5 km ke Tenggara, dan guguran lava pijar dari puncak
sejauh 700-1.500 meter ke Tenggara, tremor menerus. Potensi erupsi susulan
masih tinggi. Status Awas (level IV).
Adanya perluasan radius yang harus dikosongkan menyebabkan warga beberapa desa harus dievakuasi. Saat ini pengungsi 10.377 jiwa (2.762 KK) yang tersebar di 10 pos pengungsian. Pengungsi berasal dari Desa Guru Kinayan, Tiga Pancur, Pintu Besi, Sukanalu, Beras Tepu, Sigarang-garang, Jeraya, Kuta Rayat, Kuta Gunggung, Mardinding, Kuta Tengah, dan Dusun Lau Kawar. Pengungsi bukan hanya berasal dari desa sisi tenggara-selatan dari puncak kawah, tetapi desa-desa di sisi utara, timur dan barat daya pun mengungsi. Di beberapa pos penampungan terdapat pengungsi yang banyak, seperti di pos pengungsian BPPT, jambur Tongkoh dan Tahura ada 2.728 jiwa (666 KK).
Untuk selanjutnya, Erupsi Sinabung masih terus
berlanjut, dan letusan tanggal 17/6 merupakan kumpulan tulisan ini disampaikan.
Kepulan debu vulkanik pekat menyembur dari puncak
Gunung Sinabung yang tingginya 2.460 meter dari paras air laut pada Minggu pagi
15 September 2013. Debu membumbung ke atas hingga setinggi sekitar 50 meter
dari puncak untuk kemudian ‘hanyut’ ke timur mengikuti arus udara setempat.
Semburan disusul dengan suara bergemuruh disertai hujan debu dan kerikil di
kaki gunung. Tak ada keraguan kalau gunung berapi yang terletak di Kabupaten
Karo propinsi Sumatra Utara itu telah meletus (kembali).
Letusan terjadi hanya berselang beberapa saat
setelah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi
Kementerian ESDM menaikkan status Gunung Sinabung dari Waspada (Tingkat 2)
menjadi Siaga (Tingkat 3). Peningkatan dilakukan seiring meningkatnya aktivitas
kegempaan vulkanik di gunung berapi ini khususnya dengan mulai terjadinya gempa
tremor menerus yang dibarengi penampakan titik api di puncak.
Gambar 1. Hembusan kolom debu vulkanik
Gunung Sinabung pada letusan 2013 yang dimuntahkan dari Kawah III, diabadikan
pada Minggu 15 September 2013 dari kaki gunung sektor tenggara. Nampak posisi
sumbat lava (SL) di puncak. Sumber: Antara, 2013.
Meski sampai saat ini terhitung lebih kecil jika
dibandingkan Letusan Sinabung 2010, Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatra Utara tak mau
membuang waktu. Evakuasi penduduk di desa-desa di kawasan kaki gunung segera
digelar. Hingga Senin pagi 16 September 2013 pukul 08:00 WIB jumlah pengungsi
tercatat 5.956 jiwa yang tersebar di lima titik pengungsian. Sejauh ini tak ada
korban jiwa atau luka-luka dan kerusakan bangunan akibat letusan Sinabung.
Namun penerbangan perintis Susi Air yang melayani rute Kuala Namu-Kutacane hari
ini terpaksa dibatalkan untuk menghindari kemungkinan gangguan pada pesawat
akibat menghirup debu vulkanik. Dengan status Siaga (Tingkat 3), maka tak ada
aktivitas manusia yang diperbolehkan hingga radius 3 kilometer dari puncak.
Letusan Sinabung kali ini merupakan yang kedua
dalam tiga tahun terakhir setelah diselingi periode tenang antara 7 Oktober
2010 hingga 14 September 2013. Sebelumnya Gunung Sinabung, yang tak dipantau secara
rutin karena kedudukannya sebagai gunung berapi aktif tipe B (yakni gunung
berapi yang pernah meletus sebelum tahun 1600 namun tak diketahui kapan waktu
kejadiannya dengan pasti), mendadak menyemburkan debu vulkanik pekatnya hingga
setinggi sekitar 3.000 meter disertai suara dentuman keras pada Jumat senja 27
Agustus 2010. Tak ada tanda-tanda yang dirasakan sebelum letusan terjadi.
Letusan ini sontak mengagetkan segenap penduduk di
sekujur kaki gunung, karena kejadian tersebut tak pernah mereka alami sepanjang
hayatnya, bahkan bagi generasi kakek-nenek mereka sekalipun. Sehingga tak
satupun yang tahu apa yang harus dilakukan. Alhasil mereka pun melewatkan malam
dengan penuh rasa cemas di kediaman masing-masing di tengah guyuran hujan debu
dari langit. Baru keesokan paginya pengungsian dilakukan dan ribuan orang pun
dievakuasi menuju 8 titik pengungsian yang secara keseluruhan menampung sekitar
12.000 orang.
PVMBG pun segera mengirim tim reaksi cepat untuk
memantau gunung ini. Status Awas (Tingkat 4) pun diberlakukan dengan
konsekuensi hingga radius 6 kilometer dari puncak gunung menjadi area yang
terlarang untuk aktivitas manusia dalam bentuk apapun. Letusan berlanjut hingga
mencapai puncaknya pada 7 September 2010 saat letusan eksplosif (ledakan) terjadi.
Namun selepas itu aktivitas Sinabung berangsur-angsur menurun, sehingga status
Awas pun diturunkan menjadi Siaga pada 23 September 2010 dan akhirnya
diturunkan kembali Waspada semenjak 7 Oktober 2010 yang terus bertahan hingga
tiga tahun kemudian.
Sinabung dan Toba
Gambar 2. Kontur Gunung Sinabung dengan
posisi setiap kawah (I, II, III dan IV) serta bekas tambang Belerang di
lerengnya (S). Di kaki gunung sektor utara terdapat Danau Lau Kawar. Sumber:
Sudibyo, 2013 adaptasi dari Wittiri, 2009 dengan peta dari Google Maps.
Bagi Indonesia, letusan Sinabung pun cukup
mengagetkan. Tak ada catatan letusan bagi gunung berapi ini dalam kurun 400
tahun terakhir, sehingga kadangkala ia bahkan dianggap sudah mati alias tak
bisa meletus lagi. Dari endapan awan panas purba yang terserak di sekitar
kampung Bekerah (kaki gunung sektor tenggara) diketahui muntahan magma Sinabung
yang terakhir terjadi 1.200 tahun silam . Sebelum 27 Agustus 2010, aktivitas
vulkanik gunung ini hanya berupa kepulan uap air dan gas belerang melalui
titik-titik fumarol dan solfatara yang tersebar di keempat kawahnya.
Sinabung memang memiliki empat kawah, masing-masing
diberi nama Kawah I, II, III dan IV. Kawah I terletak di puncak sebuah kubah
lava tua dan sekaligus menjadi titik tertinggi Sinabung (2.460 meter dpl).
Kawah II (2.437 meter dpl) terletak di timur Kawah I. Sementara Kawah III
(2.431 meter dpl) berada di sebelah selatan Kawah II atau di sebelah tenggara
Kawah I dan menjadi satu-satunya kawah Sinabung yang memiliki nama, yakni Kawah
Batu Sigala. Antara Kawah II dan III terdapat sebuah sumbat lava berukuran
besar yang khas dengan bentuk mirip ujung jarum jika dilihat dari kejauhan.
Keberadaan sumbat lava ini memunculkan dugaan bahwa Kawah II dan III merupakan
sepasang kawah kembar. Dan Kawah IV (2.453 meter dpl) terselip di antara Kawah
I dan III.
Pada setiap kawah dijumpai endapan Belerang yang
berwarna kekuningan dan berjumlah cukup besar sebagai produk aktivitas
solfatara. Endapan Belerang juga dijumpai di lereng selatan, dalam sebuah
lembah besar tempat asap Belerang sanggup menembus tubuh gunung dan mengepul.
Banyaknya jumlah Belerang membuatnya sempat ditambang oleh penduduk setempat,
khususnya deposit di lereng selatan yang relatif lebih mudah diakses. Namun
aktivitas penambangan ini berhenti dalam satu dasawarsa silam, seiring kian
menurunnya kadar Belerang yang berhasil digali dan saat itu diduga akibat kian
menurunnya kegiatan vulkanik Sinabung. Sehingga Belerang yang masih ada dan
terus terbentuk dianggap tak lagi menguntungkan untuk dieksploitasi.
Gunung Sinabung merupakan satu gunung berapi
penghias sebentuk dataran tinggi yang membentang dari sisi timur lembah Wampu
hingga Berastagi. Dataran tinggi ini memiliki puncak-puncak yang menjulang di
atas ketinggian 1.500 meter dpl. Namun puncak Sinabung-lah yang tertinggi di
sini, melampaui ketinggian puncak gunung berapi lainnya didekatnya yakni Gunung
Sibayak yang ‘hanya’ 2.212 meter dpl. Secara geologis gunung berapi ini
terbentuk melalui proses yang serupa dengan pembentuk gunung-gunung berapi
lainnya di sekujur pulau Sumatra, termasuk Danau Toba (Gunung Toba) yang
terkenal itu.
Yakni dari interaksi lempeng India dan Australia
yang mendesak ke utara terhadap lempeng Sunda (Eurasia) dan mikrolempeng Burma
yang mengalasi pulau Sumatra dan bergerak lebih lambat ke timur. Sebagai
lempeng samudera yang massa jenisnya lebih berat, lempeng India dan Australia
melekuk (menyubduksi) ke bawah lempeng Sunda dan Burma yang sifatnya
kontinental. Selain membentuk palung laut memanjang yang menghiasi lepas pantai
barat Sumatera, subduksi yang bersifat miring ini juga menjadi penyebab
terbentuknya Pegunungan Bukit Barisan yang adalah kenampakan di muka Bumi dari
sistem patahan besar Sumatra, sumber gempa darat utama di pulau itu.
Gambar 3. Sepasang kolom debu vulkanik
dan uap air yang menjulur dari puncak Gunung Sinabung yang ikonik dalam letusan
2010 silam. Masing-masing kolom debu dimuntahkan dari Kawah II dan III,
sementara kolom uap air dari Kawah IV. I menunjukkan posisi Kawah I yang tidak
memuntahkan material letusan sama sekali, sementara SL adalah lokasi sumbat
lava. Sumber: Badan Geologi, 2010.
Selain membentuk sumber-sumber gempa, pergesekan
antar lempeng-lempeng tersebut juga memproduksi magma di kedalaman yang lantas
mengumpul dalam dapur-dapur magma. Melalui jalur-jalur lemah dalam lempeng
Eurasia, magma pun mengalir ke atas dan akhirnya keluar di muka Bumi membentuk
gunung-gunung berapi Sumatra. Namun meski terbentuk oleh mekanisme yang sama,
tiap dapur magma memiliki volume dan ciri khasnya sendiri-sendiri sehingga
masing-masing gunung berapinya pun memiliki karakternya sendiri-sendiri. Karena
itu meski Gunung Sinabung berdiri berdampingan dengan Danau Toba (Gunung Toba),
karakteristik magma Sinabung menjadikannya relatif kalem dan tak seganas Gunung
Toba.
Dengan karakteristik Sumatra sedemikian rupa,
nampaknya ada sebuah hubungan antara aktivitas kegempaan tektonik yang
dibangkitkan sistem patahan besar Sumatra dengan aktivitas gunung-gunung
berapinya terkait pelepasan energi akibat subduksi lempeng India dan Australia
terhadap lempeng Sunda dan mikrolempeng Burma.
Saat intensitas gempa-gempa tektonik Sumatra
demikian riuh seperti saat ini, maka aktivitas gunung-gunung berapinya
tergolong rendah. Dalam seabad terakhir pulau Sumatra hanya mengalami tiga
letusan gunung berapi, masing-masing Letusan Peuet Sago 1988 (Aceh), Letusan
Talang 2005 (Sumatra Barat) dan Letusan Sinabung 2010 (Sumatra Utara).
Namun saat intensitas gempa-gempa tektonik cukup
rendah, seperti pernah terjadi di masa silam, maka giliran aktivitas
kegunungapiannya yang cukup tinggi. Letusan Toba 75.000 tahun silam, yang
adalah letusan terdahsyat di muka Bumi dalam kurun 26 juta tahun terakhir,
menjadi contohnya bersama dengan Letusan Maninjau 60.000 tahun silam.
Gunung Tidur
Gambar 4. Saat-saat awal kelahiran Gunung
Anak Ranakah di dekat kota Ruteng (NTT) pada akhir Desember 1987. Nampak kolom
debu vulkanik menyembur ke arah timur. Tanda panah menunjukkan lokasi bukit
Ranakah dengan menara telekomunikasi Perumtel (kini PT Telkom) di puncaknya.
Sumber: Rohi, 1988 dalam Wahyudin, 2012.
Letusan Sinabung 2010 tergolong erupsi freatik,
yakni letusan gunung berapi yang terjadi saat magma yang sedang menanjak naik
menuju tubuh gunung mulai memanaskan air bawah tanah. Air pun berubah menjadi
uap dan terjebak di bawah sana sembari terkumpul sedikit demi sedikit, sehingga
pada akhirnya berjumlah sangat banyak dan memiliki tekanan sangat besar hingga
melampaui dayatahan batuan penyumbat saluran magma Gunung Sinabung.
Maka menyemburlah uap air keluar melalui titik
terlemah yang umumnya adalah dasar kawah sebuah gunung berapi. Sembari
menyembur keluar, uap air juga menyeret kerikil, pasir dan debu bersamanya.
Sehingga letusan ini tidak disertai muntahan magma dalam segala rupanya, baik sebagai
leleran lava melalui lereng-lerengnya ataupun tumpukan magma segar di puncak
sebagai kubah lava baru yang lantas longsor menjadi awan panas. Bukti
terjadinya erupsi freatik diperoleh dari endapan batu dan pasir produk letusan,
yang absen dari tanda-tanda kehadiran magma segar.
Meski sanggup memproduksi erupsi freatik, tekanan
uap masih jauh dari cukup untuk mampu mendobrak kubah lava tua yang ada di
puncak Sinabung. Sebagai akibatnya arus uap pun tidak menyembur lewat Kawah I
di puncak, melainkan terpaksa berbelok ke samping sehingga keluar dari Kawah II
dan III secara bersamaan. Inilah yang menimbulkan kepulan debu vulkanik kembar
dan menjadi ikon Letusan Sinabung 2010.
Letusan-letusan Sinabung periode berikutnya
diperkirakan akan terjadi lewat jalur yang sama. Terbukti dalam Letusan
Sinabung 2013 ini, debu vulkanik pun menyembur terutama melalui Kawah III.
Tiadanya jejak-jejak magma terutama berupa luncuran lava hingga saat ini
menunjukkan Letusan Sinabung 2013 pun masih berupa erupsi freatik.
Bagaimana Gunung Sinabung bisa meletus kembali
setelah 1.200 tahun terlewat? Bagi sebagian besar kita, fakta ini memang
mencengangkan. Indonesia amat akrab dengan sejumlah gunung berapi yang demikian
rajin meletus dalam waktu-waktu tertentu. Sebut saja Gunung Anak Krakatau
(Lampung) di Selat Sunda, yang hampir setiap tahun selalu menyemburkan debu dan
magma. Atau Gunung Merapi (Jawa Tengah-DIY) yang meletus setiap antara 2 hingga
5 tahun sekali.
Demikian pula Gunung Lokon-Empun dan Karangetang
(keduanya di Sulawesi Utara). Maka bagaimana sebuah gunung berapi bisa terdiam
selama 1.200 tahun untuk kemudian meletus kembali sepintas cukup mengejutkan.
Namun dalam khasanah kegunungapian, hal ini sebenarnya tidaklah unik baik dalam
lingkup Indonesia maupun global. Dalam seperempat abad terakhir Indonesia telah
menyaksikan tiga buah gunung berapi yang bangun kembali dari tidur panjangnya.
Gambar 5. Magma segar yang mulai menumpuk
membentuk kubah lava baru di dasar kawah Gunung Ibu yang telah menjadi hutan
belantara pada Januari 1999, sebagai pertanda bangunnya gunung berapi ini dari
tidur panjangnya selama 15.000 tahun. Sumber; Wittiri, 2009.
Selain Gunung Sinabung, dua lainnya adalah Gunung
Anak Ranakah (NTT) dan Gunung Ibu (Maluku Utara). Gunung Anak Ranakah tumbuh
dari tepian kaldera Poco Leok yang tua. Kemunculannya pada akhir 1987
menggemparkan Indonesia dan dunia, sebab inilah untuk pertama kalinya manusia
modern menyaksikan langsung detik-detik kelahiran sebuah gunung berapi dalam
setengah abad terakhir, setelah peristiwa kelahiran Gunung Paricutin (Meksiko)
pada 1943.
Pada 28 Desember 1987 sebuah ledakan dan kepulan
debu vulkanik mendadak terjadi di kaki bukit Ranakah sektor timur laut tak jauh
dari kota Ruteng. Titik ledakan terus memuntahkan magma hingga berbulan-bulan
kemudian hingga membentuk gundukan yang terus membumbung tinggi hingga seukuran
bukit (kubah lava) yang kemudian diberi nama Gunung Anak Ranakah.
Demikian pula Gunung Ibu di pulau Halmahera bagian
utara, yang juga tak menunjukkan aktivitas muntahan magma dalam kurun cukup
lama. Sehingga sekujur tubuh gunung hingga ke puncak, bahkan hingga ke dalam
kawahnya yang berdiameter 1 kilometer itu dipenuhi dengan tetumbuhan lebat.
Siapa sangka gunung berapi ini mendadak meletus pada Desember 1998 yang berujung
dengan terbentuknya kubah lava baru di dasar kawah semenjak 20 Januari 1999.
Berbeda dengan Gunung Sinabung yang ‘hanya’ terdiam
selama 1.200 tahun, kawasan di kompleks kaldera Poco Leok maupun Gunung Ibu tak
menunjukkan jejak aktivitas vulkanik muntahan magma dalam kurun 15.000 tahun
terakhir. Ini jauh melampaui batasan standar dunung berapi aktif terketat yang
dilansir Global Volcanism Program Smithsonian, yakni maksimum 10.000 tahun
terakhir. Dengan demikian baik kaldera Poco Leok maupun Gunung Ibu bisa
dikatakan sebagai gunung berapi tak aktif sebelum masing-masing terbangun
kembali.
Satu hal yang mengkhawatirkan dari gunung-gunung
berapi yang meletus kembali setelah sekian lama adalah potensi terjadinya
letusan dahsyat yang katastrofik, atau bahkan kolosal. Pada dasarnya kian lama
sebuah gunung berapi terdiam, kian banyak gas-gas vulkanik yang tersekap di
dalam dapur dan kantung magmanya sehingga kian besar energinya. Maka tatkala
meletus, terjadilah pelepasan energi dalam jumlah besar yang sanggup
menghancurkan puncak gunung atau bahkan hampir keseluruhan tubuh gunung hingga
membentuk kawah raksasa (kaldera) dengan dampak letusan bersifat regional.
Meletus dahsyatnya Gunung Pinatubo (Filipina) pada 1991 menjadi contoh terkini,
dimana gunung berapi tersebut terbangun kembali setelah lebih dari 600 tahun.
Kabar baiknya, tak setiap gunung berapi yang lama
tertidur kemudian meletus dahsyat tatkala terbangun. Gunung Sinabung menjadi
salah satu contohnya. Meski harus digarisbawahi bahwa bagaimana karakter
letusan gunung berapi ini ke depan masih menjadi tanda tanya seiring belum
terjadinya erupsi magmatik (letusan yang memuntahkan magma).
GUNUNG SINABUNG DAN DANAU TOBA
Sebuah penelitian yang telah berlangsung selama
enam tahun terakhir telah mengungkap hal mencengangkan di perutbumi Danau Toba
(propinsi Sumatra Utara). Menggunakan 40 seismometer (radas/instrumen perekam gempa)
yang dipasang di sekeliling Danau Toba selama kurun Mei hingga Oktober 2008
Tarikh Umum (TU yang dianalisis hingga bertahun kemudian, tim peneliti gabungan
Russia, Perancis dan Jerman mengungkap bahwa di perutbumi Danau Toba ini masih
tersimpan magma. Bubur batu yang panas membara dalam jumlah relatif besar itu
dijumpai berada di kedalaman lebih dari 7 kilometer dari paras air laut
rata-rata (dpl).
Gambar 6. Pemandangan sisi selatan Danau
Toba yang permai. Nampak pulau Pardepur yang seakan mengapung di air danau.
Pulau ini sejatinya merupakan salah satu kubah lava yang menyembul di paras
danau, dari sejumlah kubah lava di sini yang terbentuk pasca letusan sangat
dahsyat dalam kurun 74.000 tahun silam. Sumber: Sutawidjaja, 2008 dalam Warta
Geologi, 2008.
Magma di bawah danau itu dijumpai secara tak
langsung lewat analisis gelombang gempa-gempa tektonik kecil yang rutin terjadi
di kawasan ini seiring eksistensi patahan besar Sumatra dan cabang-cabangnya.
Tim peneliti memusatkan perhatian pada gelombang permukaan, yakni gelombang Rayleigh
dan gelombang Love, dengan melacak perbedaan kecepatannya. Mereka
menemukan gelombang Rayleigh yang melintas di bawah Danau Toba (periode
5 dan 15 detik) memiliki kecepatan lebih rendah dibanding yang melewati area
lain disekitarnya. Hal sejenis juga dijumpai pada gelombang Love namun
hanya pada periode kecil (5 detik) dan pada kedalaman lebih rendah. Guna
menafsirkan perbedaan antara perilaku gelombang Rayleigh dan Love
di bawah Danau Toba, tim peneliti memutuskan untuk ‘melihat’ melalui gelombang
sekunder terpolarisasi baik secara horizontal (SH) maupun vertikal (SV). Mereka
juga kembali menjumpai keanehan lagi, gelombang sekunder SV pada kedalaman
antara 7 hingga 20 kilometer dpl di bawah Danau Toba memiliki kecepatan lebih
rendah. Sebaliknya gelombang sekunder SH berkecepatan lebih rendah hanya pada
kedalaman lebih dangkal dari 7 kilometer dpl.
Pada dasarnya gelombang gempa akan melaju lebih
cepat jika melintasi media yang padat (batuan) ketimbang media yang
cair/setengah cair (magma). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada kerak
bumi di bawah Danau Toba terdapat magma, yang tersekap dalam kantung magma.
Namun tak puas jika hanya menyimpulkan seperti itu. Mereka mencoba melangkah
lebih jauh untuk mengetahui strukturnya. Setelah melakukan serangkaian
perhitungan dan pemodelan matematis yang rumit dan meninjau juga hasil-hasil
penelitian sebelumnya, mereka berani menyimpulkan bahwa magma di bawah Danau
Toba tersimpan dalam sejumlah lapisan mendatar (sill) yang bertumpuk
mirip kue lapis, tertata pada kedalaman antara 7 hingga 20 kilometer dpl. Pada
kedalaman lebih besar dari 20 kilometer dpl pun diduga masih seperti itu yang
menerus hingga kedalaman sekitar 30 kilometer dpl, tempat kerak bumi setempat
berbatasan dengan selubung atas. Sebaliknya pada kedalaman yang lebih dangkal
dari 7 kilometer dpl magmanya tidak tertata seperti itu, melainkan menyelusup
di sela-sela kerak bumi dengan geometri yang kacau-balau. Tim menyimpulkan
kawasan kacau-balau ini adalah pertanda jelas dari masa silam, dari sebuah
letusan gunung berapi yang sangat dahsyat.
Gambar 7. Penampang melintang kerak bumi
di bawah Danau Toba dalam dua dimensi, dengan perkiraan kantung magma
raksasanya berdasarkan penelitian gabungan Rusia, Perancis dan Jerman.
Terdapat lapisan-lapisan mendatar berisi
magma (sill) mulai dari kedalaman 7 hingga 20 kilometer dpl dan kemungkinan
menerus hingga 30 kilometer dpl. Pada kedalaman lebih dangkal dari 7 kilometer
dpl terdapat zona kacau-balau, yakni bagian kerak bumi di bawah Danau Toba yang
terimbas langsung letusan sangat dahsyat 74.000 tahun silam. Sumber:
Jaxybulatov dkk, 2014.
Apa pentingnya penelitian ini? Tak lain dan tak
bukan ia menegaskan bahwa Danau Toba sejatinya adalah sebuah gunung berapi. Dan
dengan struktur kantung magmanya yang demikian, ia bukanlah gunung berapi
biasa. Ya. Danau Toba adalah sebuah gunung berapi super (supervolcano),
yang aksinya di masa silam sanggup membuat bulu kuduk kita meremang.
Letusan Toba Muda
Danau Toba. Rasanya tak ada manusia Indonesia,
terlebih yang pernah mengenyam bangku sekolah, yang tak pernah mendengar
namanya. Inilah perairan tawar terbesar se-Indonesia bahkan seantero Asia
Tenggara. Danau ini memiliki luas 1.130 kilometer persegi yang menampung air
hingga sebanyak 240 kilometer kubik, bersumber dari aneka mata air
disekelilingnya seiring curah hujan tahunan lebih dari 2.100 mm/tahun
(rata-rata). Paras air danau terletak di ketinggian 906 meter dpl dengan
kedalaman maksimum 530 meter dari paras. Ini menjadikannya sebagai danau
terdalam ke-2 di Indonesia (setelah Danau Matano di Sulawesi) dan juga danau
terdalam keempatbelas di seantero Bumi.
Perairan luas ini dipagari oleh tebing-tebing curam
yang ketinggiannya bervariasi antara 400 hingga 1.200 meter dari paras danau,
dengan puncak tertinggi menyembul 1.700 meter di atas paras danau. Air danau
ini mengalir di sudut tenggara sebagai Sungai Asahan dengan debit rata-rata 155
meter kubik/detik. Besarnya debit air dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik
lewat dibangunnya waduk Sigura–gura (tinggi bendungan 47 meter) dan waduk
Tangga (tinggi bendungan 82 meter) dengan total produksi 426 megawatt listrik.
Gambar 8. Topografi Danau Toba dan
lingkungan sekelilingnya beserta kedalaman perairannya. Tersaji pula
lubang-lubang letusan yang dibentuk oleh keempat letusan sangat dahsyat Gunung
Toba di masa silam. Sumber: Chesner, 2011 dengan labelisasi oleh Sudibyo, 2014.
Di tengah-tengah danau terdapat Pulau Samosir
(panjang 45 kilometer, lebar 20 kilometer), yang sejatinya bukan pulau. Dahulu
Samosir tersambung langsung dengan daratan Sumatra lewat jembatan alamiah
(tanah genting) di sisi barat. Namun romantisme era Hindia Belanda membuat
tanah genting ini dikeruk demikian rupa sehingga Samosir pun akhirnya benar-benar
terpisah dan menjadi pulau yang berdiri sendiri.
Di pulau terdapat dua danau kecil yakni Danau
Sidihoni dan Danau Aek Natonang, membuatnya kerap disebut sebagai danau di atas
danau. Selain keunikan ini, pemandangan indah di sekujur Danau Toba juga disokong
oleh sejumlah air terjun seperti air terjun Sipiso-piso maupun air terjun
Sigura-gura. Sigura-gura adalah air terjun setinggi 250 meter, menjadikannya
air terjun tertinggi se-Indonesia. Panorama yang indah dan udara yang sejuk
menjadikan danau raksasa yang juga jantung masyarakat Batak ini menjadi tujuan
wisata yang populer.
Di balik keindahannya, ada misteri yang tersembunyi
di danau ini semenjak awal peradaban umat manusia. Misteri yang menggetarkan
itu baru terkuak kurang dari seabad silam. Ternyata danau raksasa ini adalah
sebuah gunung berapi. Adalah RW van Bemmelen, geolog legendaris era Hindia
Belanda, yang mengungkapnya pada masa antara 1930 hingga 1939 TU.
Geolog yang sangat populer dengan opus magnumnya
The Geology of Indonesia, buku yang wajib dibaca dalam pembelajaran
geologi Indonesia, awalnya curiga dengan kehadiran ignimbrit yang tersebar pada
area luas di Sumatra bagian utara. Ignimbrit adalah campuran antara debu
vulkanik yang mengeras (tuff) dengan butir-butir batuapung yang bersifat
asam (kaya silikat) demikian rupa hingga membatu. Ignimbrit hanya bisa hadir
kala terjadi letusan gunung berapi yang eksplosif dan berskala besar sehingga
menghempaskan awan panas dalam jumlah besar.
Kian mendekat ke Danau Toba, ignimbrit yang
dijumpai kian menebal saja. Bahkan dijumpai pula tuff yang terlaskan (welded
tuff) yang berlimpah, lagi-lagi petunjuk terjadinya letusan berskala besar
di masa silam.
Gambar 9. Singkapan ignimbrit tepat di
tepi jalan di pinggiran Danau Toba. Ignimbrit ini kaya akan besi dan telah
teroksidasi sehingga berwarna kemerah-merahan mirip karat. Ignimbrit inilah
jejak dari letusan gunung berapi yang dahsyat di masa silam, yang menghasilkan
kaldera raksasa dan kini digenangi air menjadi Danau Toba. Diabadikan oleh
Ridwan Hutagalung dalam rangka Geotrek Danau Toba 2-4 November 2012 TU. Sumber:
Hutagalung, 2012.
Ignimbrit yang tebal di sekitar Danau Toba namun
menipis begitu jaraknya lebih jauh mengesankan bahwa batuan vulkanik itu
bersumber dari tempat yang kini menjadi Danau Toba. Jelas sudah. Danau Toba
adalah perairan tawar raksasa yang menempati sebuah cekungan sangat besar
produk letusan gunung berapi yang sangat dahsyat. Dengan luas cekungan 2.270
kilometer persegi (panjang sekitar 100 kilometer dan lebar sekitar 30
kilometer), maka jelaslah bahwa ia berkualifikasi kaldera.
Danau Toba merupakan perairan tawar yang menempati
kaldera tersebut meski genangannya tak sampai mencakup separuh luas kaldera.
Sehingga Danau Toba adalah danau vulkanik. Ukuran Kaldera Toba yang demikian
raksasa membuat kaldera-kaldera produk letusan dahsyat gunung berapi dalam era
sejarah di Indonesia seperti kaldera Rinjani, Tambora
dan Krakatau
menjadi terasa kerdil. Andaikata kaldera raksasa Toba ditempatkan di pulau Jawa
bagian tengah, maka ia akan membentang mulai dari Gunung Slamet di barat hingga
Gunung Sumbing-Sindoro di timur.
Gambar 10. Bagaimana jika kaldera raksasa
Toba dengan Danau Toba di tengah-tengahnya ditempatkan di pulau Jawa bagian
tengah dan disejajarkan dengan orientasi pulau. Nampak jelas kaldera raksasa
itu membentang dari Gunung Slamet di barat hingga Gunung Sumbing di timur.
Sumber: Sudibyo, 2014 berbasis Google Maps.
Van Bemmelen pula yang memopulerkan istilah Tumor
Batak, yakni gundukan sangat besar tempat dimana Danau Toba berada yang
terpisah dari Pegunungan Bukit Barisan. Dengan Danau Toba sebagai perairan di
dalam kaldera, maka Tumor Batak yang menopangnya pada hakikatnya adalah gunung
berapi yang disebut Gunung Toba.
Gunung Toba menjadi salah satu gunung berapi yang
berdekatan/berdiri di atas sistem patahan besar Sumatra. Patahan besar ini,
yang secara kasat mata nampak sebagai Pegunungan Bukit Barisan, terbentuk
seiring tunjaman miring lempeng India dan Australia yang oseanik terhadap
lempeng Sunda yang kontinental dan menjadi alas berdirinya pulau Sumatra.
Patahan ini sekaligus adalah zona lemah di kerak bumi Sumatra yang memudahkan
magma produk pelelehan sebagian di bidang kontak tunjaman merangsek ke atas.
Di kemudian hari kita kian mengetahui bagaimana
lasaknya Gunung Toba ini yang menjadikannya sebagai gunung berapi super. Dalam
kurun 1,2 juta tahun terakhir telah terjadi empat letusan dahsyat. Letusan
terakhir sekaligus yang paling dahsyat sepanjang sejarahnya adalah Letusan Toba
Muda, yang terjadi 74.000 tahun silam. Letusan Toba Muda juga adalah letusan
terdahsyat yang pernah terjadi di Bumi dalam kurun 27,8 juta tahun terakhir.
Ia memuntahkan tak kurang dari 2.800 kilometer
kubik material vulkanik, lewat letusan dahsyat sedahsyat-dahsyatnya yang
berlangsung selama sekitar dua minggu berturut–turut tanpa hentu. Dapat
dikatakan setiap detiknya Gunung Toba menyemburkan tak kurang dari 4,6 juta
meter kubik material vulkanik. Jika suhu magmanya saat tepat keluar dari lubang
letusan berkisar 700 hingga 780 derajat Celcius, maka energi termal yang
dilepaskannya mencapai 500 ribu megaton TNT. Ini setara dengan 21 juta butir
bom nuklir Hiroshima diledakkan secara bersama-sama di satu titik.
Andaikata seluruh material vulkanik ini dituang
demikian rupa mengubur wilayah DKI Jakarta, propinsi yang juga ibukota
Indonesia itu akan terbenam di bawah timbunan batu, pasir dan debu vulkanik
setebal 4,2 kilometer. Letusan yang sedemikian dahsyat dengan muntahan material
vulkanik sedemikian besar membuat sejumlah letusan dahsyat gunung berapi
Indonesia di era sejarah seperti Letusan Tambora 1815 maupun Letusan Krakatau
1883 menjadi terasa kerdil. Bahkan Letusan Kelud
2014 yang terasa demikian menghentak di tahun 2014 TU ini ibarat
semut disandingkan dengan gajah bila dibandingkan dengan kedahsyatan Gunung
Toba saat itu.
Dari 2.800 kilometer kubik material vulkanik yang
diletuskannya, 1.000 kilometer kubik diantaranya meluncur deras sebagai awan
panas yang mengalir ke barat dan timur. Awan panas Toba membanjiri kawasan
sangat luas yang membentang dari pantai Selat Malaka di timur hingga pesisir
Samudera Hindia di barat. Meski sudah menjalar jauh dari kaldera, suhunya masih
tinggi, mungkin hingga 500 derajat Celcius. Akibatnya daratan Sumatra bagian
utara pun diubah menjadi segersang Bulan.
Segala kehidupan yang ada tersapu pun terpanggang
dan musnah. Endapan awan panas gigantis inilah yang kini tersingkap sebagai
ignimbrit di area seluas 20.000 kilometer persegi. Ketebalan rata-ratanya 50
meter, namun sesungguhnya bervariasi tergantung jauh dekatnya dengan Gunung
Toba. Di tepi Danau Toba, ketebalan ignimbritnya mencapai 400 meter. Awan panas
yang mengalir jauh tersebut dipastikan juga ada yang terjun ke Selat Malaka dan
Samudera Hindia, memicu tsunami di kedua perairan itu. Namun seberapa besar
tsunaminya belum diketahui, seiring volume awan panas yang masuk ke dalam kedua
perairan tersebut pun belum diketahui.
Letusan Toba Muda yang dahsyat itu membentuk
kaldera raksasa dengan kedalaman sekitar 2 kilometer dpl akibat kosongnya
kantung magma raksasa Toba, sehingga tak sanggup lagi menahan bobot tubuh
gunung. Namun kaldera sedalam ini segera ditimbuni kembali oleh 1.000 kilometer
kubik material vulkanik lainnya, yang terlalu berat baik untuk mengalir jauh
maupun membumbung tinggi ke udara. Di dasar kaldera ini ketebalan ignimbritnya
diperkirakan mencapai 600 meter.
Dan 800 kilometer kubik material vulkanik sisanya
berupa debu vulkanik halus yang terlontar sangat tinggi ke udara hingga
menembus ketinggian 70 kilometer dpl. Sebagian debu vulkanik tersebut lantas
tertiup angin ke barat dan berjatuhan menyelimuti area seluas lebih dari 4 juta
kilometer persegi. Kawasan tersebut meliputi India, Semenanjung Malaya, Teluk
Benggala, Samudera Hindia bagian utara, Laut Arab dan Semenanjung Arabia.
Ketebalan endapan debu vulkanik di sini mencapai 10
cm (rata-rata), atau setara dengan 400 kilometer kubik material. Sisanya
terbawa oleh sirkulasi angin di dalam lapisan stratosfer hingga tersebar ke
segenap penjuru. Tanpa bisa dipengaruhi oleh proses-proses cuaca, debu vulkanik
ini bertahan hingga bertahun-tahun di dalam lapisan stratosfer sebelum jatuh
kembali ke permukaan Bumi di bawah pengaruh gravitasi. Sepanjang waktu itu ia
menimbulkan efek lanjutan yang mencekik kehidupan di permukaan Bumi hingga ke
titik yang paling kritis.
Musim Dingin Vulkanik
Masalah terbesar akibat Letusan Toba Muda terletak
pada tebaran debu vulkaniknya ke dalam lapisan stratosfer. Umumnya 10 hingga 30
% dari material vulkanik yang disemburkan gunung berapi dalam sebuah letusan
dahsyat, terlebih jika tinggi kolom semburannya melebihi 30 kilometer dpl, akan
tetap bertahan di udara karena sudah terlanjur masuk jauh ke dalam lapisan
stratosfer, khususnya jika berupa debu halus. Di saat yang sama, belerang yang
turut terbawa sebagai gas sulfurdioksida akan bereaksi dengan butir–butir air
di udara hingga membentuk tetes–tetes asam sullfat dalam rupa aerosol. Apa yang
selanjutnya terjadi baru bisa kita pahami setelah dunia memasuki era nuklir
lebih dari setengah abad silam.
Di tengah kancah perang urat-syaraf yang dikenal sebagai
Perang Dingin, dua negara adidaya yang terlibat yakni Amerika Serikat dan Uni
Soviet berlomba–lomba memproduksi senjata nuklir dalam beragam ukuran dan
kekuatan. Untuk menyimulasikan dampaknya dalam berbagai kondisi, rangkaian
eksperimen peledakan nuklir pun diselenggarakan. Selama masa ujicoba nuklir
yang riuh itu diketahui bila senjata nuklir diledakkan di permukaan tanah
ataupun bawah tanah dangkal, ledakannya akan menghembuskan material ledakan
berupa debu dan batu beragam ukuran ke atmosfer.
Ketinggian semburan material ledakan bergantung
pada kekuatan ledakan, semakin semakin besar ledakan nuklirnya maka semakin
berlimpah material ledakannya dan semakin tinggi pula mereka dihembuskan ke
langit bahkan bisa memasuki lapisan stratosfer. Tebaran material ledakan
sanggup memblokir cahaya Matahari selama waktu tertentu sehingga permukaan Bumi
di sekitar lokasi ledakan berubah menjadi remang–remang atau bahkan gelap
gulita. Apalagi jika kekuatan ledakan nuklir itu juga mengenai benda–benda
mudah terbakar seperti minyak, kayu, gas, kertas dan batubara sekaligus. Asap
hasil pembakaran besar–besaran akan melimpahkan jelaga ke udara yang malah kian
memperparah situasi.
Dengan memanfaatkan data–data hasil ujicoba nuklir
itu maka pada dekade 1980–an lima serangkai cendekiawan dengan latar belakang
keilmuan berbeda mencoba merumuskan model matematika komprehensif dan
serangkaian persamaan matematika kompleks yang memprediksikan bagaimana
perilaku sebaran debu dan tetes–tetes asam sulfat dalam jumlah besar di lapisan
stratosfer.
Model ini disebut model TTAPS, berdasarkan
pada huruf depan dari lima cendekiawan penyusunnya masing-masing Turco, Toon,
Pollack, Ackerman dan Sagan. Model TTAPS memperlihatkan, karena berada di dalam
lapisan stratosfer maka butuh waktu bertahun–tahun bagi debu dan tetes–tetes
asam sulfat itu untuk turun kembali ke permukaan Bumi di bawah pengaruh
gravitasi Bumi.
Selagi masih melayang di lapisan stratosfer, pada
dasarnya debu halus dan tetes–tetes asam sulfat itu menjadi tabir surya, terutama
karena asam sulfat sangat efektif dalam menyerap cahaya Matahari. Di samping
itu tabir surya juga bisa memantulkan kembali sebagian cahaya Matahari ke
langit. Akibatnya albedo Bumi bakal meningkat dan cahaya Matahari yang
diteruskan ke permukaan Bumi berkurang.
Akibatnya sungguh pelik mengingat cahaya Matahari
membawa energi Matahari yang adalah motor penggerak utama sistem cuaca dan
iklim Bumi sekaligus sumber energi utama makhluk hidup. Berkurangnya intensitas
pencahayaan Matahari akan menimbulkan anomali suhu permukaan, dimana suhu
rata–rata permukaan Bumi bakal merosot dibawah nilai normalnya. Sehingga Bumi
akan lebih dingin, fenomena yang disebut sebagai musim dingin nuklir. Es meluas
dimana-mana, baik di laut maupun di sungai/danau yang berada di kawasan
subtropis. Konsekuensinya tingkat penguapan pun menurun yang bakal berlanjut
pada kacau-balaunya sistem cuaca.
Salah satu dampaknya adalah penurunan jumlah hujan.
Ada cukup banyak tanaman bahan pangan yang sangat sensitif terhadap perubahan
suhu dimana penurunan suhu 1 derajat Celcius saja bisa menyebabkan penurunan
produksi atau malah bahkan bisa gagal panen. Ditambah penurunan jumlah hujan,
maka eksistensi tabir surya di lapisan stratosfer itu bakal berdampak pada
kekurangan bahan pangan yang akan menimbulkan bencana kelaparan massal dengan
segala dampak berantainya.
Gambar 11. Ilustrasi saat-saat Gunung Toba
meletus dengan dahsyatnya di hari pertamanya pada 74.000 tahun silam, yang
menghembuskan debu vulkanik hingga setinggi 70 kilometer dpl sembari
menghempaskan awan panas ke segenap Sumatra bagian utara. Arah pandang adalah
ke tenggara. Sumber: Anynobody, 2009 dalam Wikipedia, 2009.
Bagaimana jika skenario musim dingin nuklir ala
model TTAPS diterapkan pada Letusan Toba Muda?
Letusan Toba Muda menyemburkan tak kurang dari 6
milyar ton gas sulfurdioksida ke atmosfer. Begitu bertemu dengan uap air di
udara, gas tersebut berubah menjadi 3 milyar ton aerosol asam sulfat. Koalisi
tetes-tetes asam sulfat ini dengan debu vulkanik di dalam lapisan stratosfer
membentuk tabir surya vulkanik yang cukup tebal, hingga setebal paling tidak
500 meter.
Tabir surya ini diperhitungkan memblokir cahaya
Matahari demikian rupa sehingga jumlah cahaya Matahari yang berhasil diteruskan
ke permukaan Bumi kurang dari 1 % terhadap normalnya. Akibatnya di siang hari
bolong pun situasi tetap meremang. Matahari akan nampak memerah seperti situasi
dalam setengah jam jelang terbenam, meski di tengah hari yang seharusnya terik.
Intensitas pencahayaannya juga anjlok drastis
hingga 120 watt per meter persegi di bawah normalnya. Albedo Bumi pun meroket
ke posisi 70 % dari normalnya 30 % dan bertahan hingga sedikitnya 10 tahun
pasca letusan. Dalam situasi tersebut, model TTAPS memperlihatkan suhu
rata-rata permukaan Bumi anjlok hingga bisa mencapai 17 derajat Celcius di
bawah normal. Musim dingin pun berkecamuk, yang bisa disebut sebagai musim
dingin vulkanik.
Suhu dingin ini memang hanya bertahan selama
sekitar 1.000 tahun pasca letusan. Namun kombinasinya dengan siklus
Milankovitch dan faktor–faktor tak menguntungkan lainnya menyebabkan Bumi
seisinya terseret ke dalam zaman es Wurm utama, meski Bumi baru saja keluar
dari zaman es Wurm awal 20.000 tahun sebelumnya. Zaman es Wurm utama berkecamuk
selama sekitar 50.000 tahun kemudian dan baru berakhir pada sekitar 20.000
tahun yang lalu.
Kurangnya cahaya Matahari juga menyebabkan tingkat
penguapan global terjun bebas hingga 45 % di bawah normal. Konsekuensinya
jumlah uap di atmosfer pun anjlok hingga 50 % dibawah normal untuk lapisan
troposfer dan hingga 25 % di bawah normal di lapisan stratosfer. Maka curah
hujan pun merosot, yang dalam puncaknya sampai merosot drastis hingga 44
cm/tahun di bawah normal. Berkurangnya hujan amat menyengsarakan
kawasan–kawasan yang dalam keadaan normal pun curah hujannya sudah kecil.
Bahkan hal ini turut mendorong anjloknya paras air laut hingga 40 meter di
bawah paras sebelumnya dan bertahan selama 7.000 tahun kemudian.
Musim dingin vulkanik akibat Letusan Toba Muda
berimbas sangat buruk bagi kehidupan. Dengan intensitas cahaya Matahari kurang
dari 1 % terhadap normalnya, praktis mayoritas tumbuh-tumbuhan berhenti
menyelenggarakan fotosintesis. Ditambah dengan suhu yang teramat dingin, mereka
pun mati perlahan-lahan.
Bencana segera menjalar melalui rantai makanan.
Mayoritas binatang juga kelaparan dan pada akhirnya mati bertumbangan.
Anjloknya populasi hewan pun terjadilah, seperti diperlihatkan dalam analisis
genetik yang menimpa populasi simpanse Afrika timur, orangutan Kalimantan, kera
India, harimau dan cheetah. Manusia, khususnya populasi Homo sapiens arkhaik,
turut terkena dampaknya jua. Analisis genetik memperlihatkan sekitar 60 % dari
mereka tewas dalam bencana ini dan hanya tersisa sekitar 15.000 populasi saja
yang terus berjuang untuk bertahan hidup.
Gambar 12. Bagaimana letusan dahsyat
gunung berapi berdampak ke lingkungan sekitar dengan memicu musim dingin
vulkanik dalam lingkup regional hingga global. Sumber: Max Planck Institute fur
Meteorologie, 2014 dengan labelisasi oleh Sudibyo, 2014.
Masihkah Aktif?
Pasca Letusan Toba Muda, kaldera raksasanya mulai
tergenangi air. Dengan curah hujan tahunan masa kini 2.100 mm/tahun dan tingkat
penguapan tahunan masa kini 1.350 mm/tahun, butuh waktu sekitar 1.500 tahun
saja untuk menggenangi kaldera ini sebagai Danau Toba. Namun jika
memperhitungkan air bawah tanah dan aliran permukaan dari kawasan sekitarnya,
waktu terbentuknya Danau Toba mungkin saja berlangsung lebih cepat ketimbang
1.500 tahun pasca Letusan Toba Muda.
Di perutbuminya, kantung magma raksasa Toba hingga
kedalaman 7 kilometer dpl nyaris kosong setelah isinya nyaris dikuras habis
dalam Letusan Toba Muda. Namun secara perlahan-lahan magma segar kembali
mengalir ke sini dari dalam lapisan selubung, kemungkinan dari bidang kontak
tunjaman antarlempeng tektonik, dan mengisinya. Lama-kelamaan jumlah magma segarnya
telah cukup signifikan untuk yang mengalir dari bidang kontak tunjaman.
Pengisian magma secara terus–menerus menyebabkan lapisan-lapisan kantung magma
raksasa mulai menggelembung kembali dan mengangkat massa batuan diatasnya.
Proses vulkano–tektonik pun terjadilah. Lantai kaldera terangkat naik secara
asimetris mulai sekitar 33.000 tahun silam pada kecepatan sekitar 1,8/cm.
Sehingga lantai kaldera sisi barat akhirnya menyembul di atas paras danau
menjadi Pulau Samosir. Karena itu di Pulau Samosir masih dijumpai
lapisan-lapisan endapan khas dasar danau. Pengangkatan asimetris ini membuat
lapisan-lapisan endapan tersebut berkedudukan miring antara 5 hingga 8 derajat
ke arah barat. Pengangkatan sejenis juga terjadi di lantai kaldera sisi timur,
membentuk blok Uluan.
Namun kecepatan pengangkatannya lebih rendah, yakni
hanya 0,5 cm/tahun sehingga ia tidaklah setinggi Pulau Samosir meski tetap
menyembul di atas paras danau. Kemiringan lapisan-lapisan endapan di blok Uluan
pun berlawanan dengan Pulau Samosir, yakni miring ke timur. Sebagai akibat dari
pengangkatan Pulau Samosir dan blok Uluan maka lantai kaldera di antara
keduanya berubah menjadi lembah sangat curam yang tetap tergenang air. Kini
lembah itu dikenal sebagai Selat Latung.
Gambar 13. Bagaimana dampak Letusan Toba
Muda terhadap tumbuh-tumbuhan hutan hujan tropis terlihat dalam simulasi ini.
Bila semula hutan hujan tropis masih cukup rapat di kawasan Amerika selatan,
Afrika, Asia selatan dan Asia tenggara sebelum letusan (atas), maka hanya dalam
empat tahun pasca letusan hampir semuanya telah musnah (bawah). Sumber: Robock
dll, 2008.
Selain mengangkat lantai kaldera hingga membentuk
Pulau Samosir dan blok Uluan, magma segar yang mengisi kembali kantung magma
raksasa Toba juga sempat keluar ke permukaan Bumi di beberapa titik. Di tepi
kaldera sisi barat magma itu membentuk Gunung Pusukbukit (1.982 meter dpl) yang
kini diklasifikasikan ke dalam gunung berapi aktif tipe B seiring adanya sumber
uap air (fumarol), sumber gas sulfurdioksida (solfatara) dan mata air panas di
lereng utaranya. Sementara di tepi sebelah utara terbentuk Gunung Tandukbenua
(1.860 meter dpl) yang juga digolongkan ke dalam gunung berapi tipe B.
Sedangkan di tepi selatan terbentuk kompleks kubahlava Pardepur yang terdiri
dari sedikitnya empat kubah lava. Mata air panas juga dijumpai di sini. Dan di
Pulau Samosir sisi barat, tepanya di antara Gunung Pusukbukit dan kompleks
Pardepur, dijumpai bagian-bagian yang membumbung sedikit, mengindikasikan
adanya kubah lava tersembunyi (cryptodome). Sementara di sisi timurnya
khususnya di Semenanjung Tuktuk dan sebelah utaranya juga dijumpai kubah lava.
Apakah saat ini Gunung Toba masih aktif?
Antara ya dan tidak. Pada satu sisi Gunung Toba
dikategorikan masih aktif. Hal itu ditegaskan lagi oleh hasil penelitian
gabungan Rusia, Inggris dan Jerman barusan. Ia masih menyimpan magma di
kantung-kantung magma raksasanya. Namun di sisi lain, Gunung Toba tidaklah
seagresif gunung berapi super lainnya seperti Yellowstone (Amerika Serikat).
Kaldera Yellowstone telah berkali-kali diguncang
rentetan gempa dan naiknya lantai kaldera, indikasi dari pergerakan fluida di
perutbuminya entah berupa magma ataupun cairan hidrotermal lainnya. Sementara
kaldera raksasa Danau Toba tidaklah seperti itu. Dan jika mengacu kepada
sejarah letusan dahsyatnya, Gunung Toba membutuhkan waktu paling tidak antara
340.000 hingga 765.000 tahun untuk beristirahat dan menghimpun tenaga sebelum
meletus sangat dahsyat kembali. Dengan Letusan Toba Muda terjadi pada 74.000
tahun silam, letusan dahsyat Gunung Toba yang selanjutnya barangkali akan
terjadi 266.000 hingga 691.000 tahun dari sekarang.
Dimana Sinabung di Danau Toba
Meletusnya SInabung beberapa tahun lalu cukup
mengagetkan, ya karena Gunung ini sebelumnya masuk klasifikasi gunung yang
tidak aktif dipantau (gunungapi Tipe B). Gunung Sinabung sebelum meletus
tahun2010 tidak menunjukkan keatifannya selama 400 tahun sebelumnya. Silahkan
baca ulang disini Gunung
Sinabung, bangun setelah tidur 400 tahun.
Gunung Sinabung ini menunjukkan aktifitasnya
kembali pada Oktober-November tahuin 2013.
Lokasi Gunung Sinabung dan Kompleks
Kaldera Toba
Perhatiklan luasan atau besarnya dimensi dari
Kaldera Toba dan ukuran “Gunung Toba”. Model pembentukan Kaldera Toba yang
terbentuk akibat amblasnya puncak “Gunung Toba”.Cerita serta dongengan besarnya
letusan Toba ini diceritakan oleh banyak penulis.
Menurut model yang dibuat oleh Van Bamellen ini
Gunung Sibayak merupakan bagian dari volkanisme kompleks “Tobanian”.
Program dan proyek mitigasi Gunung Api sekitar Toba
ini tentunya tidak dapat mengabaikan peran-peran fenomena geologi disekitarnya.
Termasuk Patahan Sumatera yang memotong tentunya.
Letusan Toba yang terakhir tercatat 700 000 tahun
lalu diceritakan oleh Marufin dibawah ini
Letusan Toba 71 – 75 ribu tahun silam memang
sungguh luar biasa.
Gunung ini melepaskan energi 1.000 megaton TNT atau
50 ribu kali lipat ledakan bom Hiroshima dan menyemburkan tephra 2.800 km kubik
berupa ignimbrit, yakni batuan beku sangat asam yang memang menjadi ciri khas
bagi letusan-letusan besar. 800 km kubik tephra diantaranya dihembuskan ke
atmosfer sebagai debu vulkanis, yang kemudian terbang mengarah ke barat akibat
pengaruh rotasi Bumi sebelum kemudian turun mengendap sebagai hujan abu.
Sebagai pembanding, erupsi paroksimal Tambora 1815
(yang dinyatakan terdahsyat dalam sejarah modern) ‘hanya’ menyemburkan 100 km
kubik debu dan itupun sudah sanggup mengubah pola cuaca di Bumi selama
bertahun-tahun kemudian, yang salah satunya menghasilkan hujan lebat yang salah
musim di Eropa dan berujung pada kekalahan Napoleon pada pertempuran besar
Waterloo.
Genersa terbentuknya Kaldera Toba menurut
Van Bammelen. Perhatikan kompleks gunungapi ini, serta unung-gunung
disekitarnya.
Kerikil (lapili) produk letusan Toba ditemukan
hingga di India, yang berjarak 3.000 km dari pusat letusan. Keseluruhan
permukaan anak benua India ditimbuni abu letusan dengan ketebalan rata-rata 15
cm. Bahkan di salah satu tempat di India tengah, ketebalan abu letusan Toba
mencapai 6 meter.
Debu vulkanik dan sulfur yang disemburkan ke langit
dalam letusan dahsyat selama 2 minggu tanpa henti itu membentuk tirai
penghalang cahaya Matahari yang luar biasa tebalnya di lapisan stratosfer,
hingga intensitas cahaya Matahari yang jatuh ke permukaan Bumi menurun drastis
tinggal 1 % dari nilai normalnya. Kurangnya cahaya Matahari juga menyebabkan
suhu global menurun drastis hingga 3 – 3,5º C dari normal dan memicu
terjadinya salah satu zaman es. Rendahnya intensitas cahaya Matahari membuat
tumbuh2an berhenti berfotosintesis untuk beberapa lama dan tak sedikit yang
bahkan malah mati, seperti terekam di lembaran2 es Greenland.
Bagaimana dengan manusia? Ambrose (1998) berdasar
jejak DNA manusia purba menyebut saat itu terjadi situasi “genetic bottleneck”
yang ditandai dengan berkurangnya kelimpahan genetik dan populasi manusia.
Bahkan dikatakan jumlah individu manusia saat itu (tentunya dari generasi homo
sapiens awal seperti homo sapiens neanderthalensis dan rekan-rekannya) merosot
drastis hingga tinggal 10 % saja dari populasi semula.
Perhatikan ketinggian topografinya dan
ukuran panjang dan lebar kaldera Toba, serta seberapa besar “Kompleks Gunung
Toba” ini.
Bencana lingkungan akibat erupsi Toba ini diduga
membuat homo neanderthalensis berevolusi menghasilkan individu yang lebih
lemah. Sehingga ketika katastrofik berikutnya terjadi, yakni pada 12.900 tahun
silam di ujung zaman es tatkala asteroid/komet berdiameter 5 km jatuh ke Bumi
dari ketinggian awal yang rendah (mendekati horizon) sehingga benda ini meledak
pada ketinggian 60 km di atas Eropa – Amerika sembari melepaskan energi 10 juta
megaton TNT, neanderthal tak sanggup lagi bertahan dan punahlah ia bersama
kawanan mammoth sang gajah raksasa zaman es.
Danau Toba sekarang ini, apakah masih aktif? Ya.
Bekas letusan berskala kecil dan kubah lava baru pasca erupsi hebat itu masih
dapat dijumpai di kerucut Pusukbukit di sebelah barat dan kerucut Tandukbenua
di sebelah utara. Terangkatnya Pulau Samosir hingga 450 meter dari elevasi
semula (yang dapat dilihat dari lapisan2 sedimen danau di pulau ini) juga
menunjukkan bahwa reservoir magma Toba telah terisi kembali, secara parsial.
Studi seismik menunjukkan di bawah danau Toba terdapat sedikitnya dua reservoir
magma di kedalaman 40-an km dengan ketebalan 6-10 km.
Kapan Toba akan kembali meletus dahsyat? Kita tidak
tahu. Namun dilihat dari historinya butuh waktu sedikitnya 300 ribu tahun pasca
letusan besar Toba untuk kembali menghasilkan letusan katastrofik. Memang
sempat muncul kekhawatiran Toba akan kembali menggeliat pasca guncangan gempa
megathrust Sumatra Andaman 2004 yang mencapai 9,15 Mw itu dengan episenter
hanya 300 km di sebelah barat danau, namun sejauh ini belum terbukti.
Kekhawatiran ini bukannya tanpa alasan. Krakatau bangkit dari tidur panjangnya
selama 200-an tahun tatkala gempa besar mengguncang kawasan Selat Sunda di awal
1883 dimana getarannya terasakan hingga ke Australia.
Referensi :
Chesner. 2011. The Toba Caldera Complex. Quaternary
International (2011) pp 1–14.
Petraglia dkk. 2007. Middle Paleolithic Assemblages from the Indian
Subcontinent Before and After the Toba Super–eruption. Science vol. 137
(2007) pp 114–116.
Chesner dkk. 1991. Eruptive History of Earth’s Largest Quaternary
Caldera (Toba, Indonesia) Clarified. Geology vol. 19 (1991), pp. 200–203.
Hendrasto dkk. 2012. Evaluation of Volcanic Activity at Sinabung
Volcano, After More Than 400 Years of Quiet. Journal of Disaster Research
vol. 7 no. 1 (2012).
Rampino & Self. 1992. Volcanic Winter and Accelerated Glaciation
Following the Toba Super–eruption. Nature, vol 359 (1992), pp. 50–52.
Rampino & Self. 1993. Climate–Volcanism Feedback and the Toba
Eruption of ~74.000 Years Ago. Quaternary Research vol 40 (1993), pp.
269–280.
Rose & Chesner. 1987. Dispersal of Ash in the Great Toba
Eruption, 75 ka. Geology, vol 15 (1987), pp. 913–917.
Schulz dkk. 1998. Correlation Between Arabian Sea and Greenland
Climate Oscillation of the Past 110.000 Years. Nature, vol. 393 (1998), pp.
54–57.
Rampino. 2002. Super–eruptions as a Threat to Civilizations on
Earth–like Planet. Icarus, vol. 156 (2002), pp. 562–569.
Robock dkk. 2008. Did the Toba Volcanic Eruption of ~74 k BP Produce
Widespread Glaciation? Journal of Geophysical Research, submitted.
Sutawidjaja. 2008. Kaldera “Supervolcano” Toba. Majalah Warta
Geologi vol. 3 no. 4 (2008) halaman 20–25.
Sutawidjaja dkk. 2013. The August 2010 Phreatic Eruption of Mount
Sinabung, North Sumatra. Jurnal Geologi Indonesia vol. 8 no. 1 (Maret 2013)
hal. 55-61.
Jaxybulatov dkk. 2014. A Large Magmatic Sill Complex Beneath the
Toba Caldera. Science, vol 346 no. 6209 (31 October 2014), pp. 617-619.
Wahyudin, 2012. Vulkanisme dan Prakiraan Bahaya Gunung Api Anak
Ranakah, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi vol. 3
no. 2 (Agustus 2012) hal. 89-108.
Wittiri. 2009. Indikasi Munculnya Kubah Lava Berdasarkan Rekaman
Seismik. Jurnal Geologi Indonesia vol. 4 no. 2 (Juni 2009) hal. 93-101.
Wittiri. 2010. Gunung Sinabung Naik Kelas. Majalah Warta Geologi
vol. 5 no. 3 (September 2010) hal. 36-39.
Tulisan ini diambil dari berbagai sumber.