Sumatera
Utara merupakan daerah dengan tingkat keanekaragaman hayati serta tingkat
endemisme (keunikan) yang sangat
tinggi. Namun demikian Sumatera Utara juga merupakan daerah dengan tingkat
keterancaman terhadap kepunahan spesies yang tinggi. Penyebab utama keterancaman terhadap bahaya
kepunahan spesies adalah : a. Kerusakan habitat; dan b. Pemanfaatan (termasuk perdagangan) yang tidak
terkendali.
Kerusakan
habitat disebabkan oleh pembukaan hutan untuk kepentingan konversi bagi
pemanfaatan lahan (land use) selain
hutan dengan tidak memperhitungkan keanekaragaman hayati ke dalam variable
perencanaannya, sehingga kondisi habitat tinggal dalam keadaan yang miskin dan
atau sangat terfragmentasi.
Kondisi
kerusakan habitat saat ini telah diperparah dengan illegal logging yang telah
merambah ke dalam kawasan-kawasan konservasi, serta kejadian kebakaran hutan
yang berlangsung setiap tahun dengan luasan yang sangat besar sehingga
keanekaragaman hayati Sumatera Utara sangat terancam. Selain itu, konversi
hutan yang merupakan habitat utama jenis-jenis tumbuhan dan satwa, terutama
terjadi di dataran-dataran rendah yang pada kenyataannya merupakan daerah yang
paling kaya terhadap jenis dan dengan keanekaragaman yang paling tinggi
dibanding tipe ekosistem lain.
Sebagian dari masyarakat belum
memahami apa, mengapa dan bagaimana konservasi Satwa liar yang dilindungi di
Sumatera Utara secara baik dan benar, khususnya dalam hal konservasi kawasan
ekosistem sekitarnya. Tutupan hijau semakin hari semakin menipis, dan bencana
bagi kehidupan manusia dan satwa liar khususnya. Mulai dari pesisir, dataran
rendah hingga dataran tinggi bukan lagi tempat aman dan nyaman bagi satwa liar untuk
hidup, keterbatasan ruang untuk berkembang dan mencari makan menyebabkan
populasi orangutan menurun, ditambah lagi dengan kelangkaan dan spesifiknya
satwa sumatera seperti orangutan, gajah, harimau, beruang dan tapir maupun
satwa liar lainnya, sehingga memberikan nilai ekonomi yang menggiurkan untuk
diperoleh, dan diperjual belikan oleh sekelompok manusia. Aktivitas dari
komunitas perdagangan satwa liar khususnya ini sangatlah unik dan tertutup
sehingga sulit untuk diberantas dan ditangkap. Berbagai upaya dilakukan untuk
mencegah terjadinya transaksi dagang satwa liar, namun usaha itu belum mampu
memberikan dampak yang positif bagi perkembangan populasi satwa liar dan
orangutan yang semakin langka tersebut.
Pada saat ini banyak satwa
langka yang terancam punah, dan selama beberapa decade terakhir ini para
pemerhati lingkungan menganggap bahwa perdagangan Internasional dari satwa
langka ini illegal, yang sebagian tubuh satwa ini digunakan untuk obat-obatan
tradisional Asia, dan sebagai koleksi
pribadi.
Dan itu semua sebagai kekuatan
utama yang menggiring satwa-satwa tersebut pada kepunahan. Indonesia di garisbawahi sebagai
pemasok utama untuk pasar bagian tubuh dan produk satwa tersebut, dimana
perdagangan illegal ini masih diterapkan secara relative terbuka.
Sebagai langkah selanjutnya, Yayasan
PEKAT Indonesia (Yapekat) dan
Sumatran Orangutan Programe-Conservation International Indonesia (SOP-CII) mengadakan
penelitian secara luas terhadap pasar di Sumatera, untuk menggambarkan dan
mendokumentasikan perdagangan satwa liar illegal saat ini. Studi ini merinci
usaha-usaha perlindungan satwa liar yang dilindungi, menyediakan latar belakang
dari perdagangan satwa liar yang dilindungi, dan secara bersama-sama menyatukan
data dari sumber-sumber lain untuk menganalisa perburuan liar, peranan konflik
manusia-satwa liar dan pasar bagian tubuh serta produk satwa yang illegal di
Sumatera saat ini.
Populasi satwa liar yang saat
ini memasuki memasuki tingkat mendekati kepunahan. Dengan
menyediakan penelitian mendalam yang pertama dari perdagangan liar satwa liar
di Sumatera. Studi ini juga nantinya untuk memberikan bantuan kepada pemerintah
Indonesia dan komunitas pemerhati lingkungan untuk dapat lebih mengupayakan
pelarangan pemburuan dan perdagangan serta untuk memastikan bahwa satwa liar
tidak mengalami nasib yang sama seperti Harimau Bali dan Harimau Jawa yang saat
ini sudah punah, yang penyebab utama dari menurunnya jumlah satwa liar adalah
perburuan dan hilangnya tempat tinggal mereka serta terkait dengan hilangnya
ketersedian sumber makanan dihutan tersebut.
Semangat
akan upaya perlindungan terhadap satwa liar di Sumatera Utara dan habitatnya
perlu dipupuk dan ditingkatkan serta diarahkan untuk percepatan pencapaian
tujuan dari semangat dan tanggung jawab masyarakat sipil. Kemudian meningkatkan peran
serta masyarakat dalam ikut bertanggung jawab atas penyelamatan satwa liar dan
orangutan endemic Sumatera dan habitatnya.
Status dan Perlindungan Satwa Liar dan Orangutan Sumatra
Indonesia mengeluarkan
Undang-undang Republik Indonesia untuk Perlindungan Sumber Daya Alam (1990),
yang juga dikenal sebagai Undang-undang Konservasi (No. 5) tahun 1990.
Undang-undang ini digunakan sebagai landasan hukum untuk perlindungan spesies
liar, termasuk spesies yang sepenuhnya dilindungi seperti orangutan, harimau,
gajah, dan lainnya. Dalam undang-undang ini, setiap pelanggaran yang disengaja
dapat dijatuhi hukuman penjara maksimum lima tahun dan/atau denda sampai dengan
Rp 100.000.000,-. Pelanggaran yang terjadi karena kelalaian mendapat hukuman
penjara sampai dengan satu tahun dan/atau denda sampai dengan Rp 50.000.000,-.
Peraturan ini dapat berlaku sebagai pencegah terjadinya perburuan liar dan
perdagangan terhadap Harimau Sumatera, jika diterapkan secara proporsional. Dan
untuk memperkuat peraturan nasional yang sudah ada, pemerintah Indonesia
meminta semua orang yang memiliki satwa langka liar, baik hidup maupun
produknya, untuk mendaftarkan kepemilikannya dan mengeluarkan ijin yang hanya
berlaku untuk satu kali. Badan yang bertanggung-jawab untuk mengawasi pelaksanaan
Undang-undang Koservasi tersebut adalah Departemen Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam (PHKA), Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.
Dengan peraturan
tersebut, pemerintah berhak untuk menangkap dan menyita spesimen dari satwa
dilindungi, untuk setiap pelanggaran yang terjadi. Setiap barang penyitaan akan
disimpan dalam gudang, atau digunakan untuk penelitian dan aktifitas
pendidikan, atau dimusnahkan. Setiap penyimpanan, baik pemerintah maupun
kepemilikan pribadi, ditandai dan didaftarkan.
Namun, pada akhir
tahun 2003, keputusan baru dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan (No.:
447/Kpts-II/2003). Pada Bab VII dari keputusan tersebut menyebutkan:
Penghapusan dari Penyitaan Spesimen, bagian pertama, pasal 113 menyebutkan
bahwa seluruh penyitaan terhadap spesimen dari spesies dilindungi, yang
terdaftar dalam CITES Appendix I, akan digunakan untuk kepentingan penelitian
dan pendidikan. Jika barang-barang tersebut tidak berharga bagi penelitian dan
pendidikan, barang-barang tersebut akan dimusnahkan. Tidak ada kalimat yang
menyebutkan spesimen tersebut akan disimpan dalam gudang
Indonesia memiliki
banyak polisi hutan (jagawana) yang tersebar disetiap propinsi, mereka bekerja
di bawah pengawasan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) dari PHKA. Dan ini
termasuk satuan khusus bersama Polisi Kehutanan dan Penyidik, menangani
perburuan liar dan bentuk kejahatan sumber daya alam lainnya. Unit
lapangan dilengkapi sarana perahu motor cepat, truk terbuka, sepeda motor,
senjata laras panjang dan laras pendek. Operasi penyamaran juga diperbolehkan.
Karyawan KSDA terlihat menikmati hubungan kerja yang baik dengan aparat
kepolisian, bea dan cukai serta tentara. Karyawan KSDA yang berhasil menangkap
para pelanggar, diwajibkan untuk menyerahkan para pelanggar tersebut kepada
pihak kepolisian, kemudian oleh pihak kepolisian akan di proses untuk peradilan
PHKA adalah badan di Indonesia yang
bertanggungjawab untuk pelaksanaan CITES yang berhubungan dengan satwa liar.
Dalam kerjasamanya dengan bea dan cukai Indonesia, seluruh pelaksanaan
ekspor CITES harus diperiksa terlebih dahulu.
Meski demikian, penegakan hukum dan
eksekusi masih sangat lemah atau bahkan di beberapa wilayah hal itu tidak
terlaksana. Ada
sejumlah faktor yang membatasi proses penegakan hukum. Keterbatasan sumberdaya,
terutama untuk mengeksekusi kasus satwa liar. Kurangnya kapasitas kemampuan
aparat penegak hukum yang terlatih, merupakan satu persoalan yang terus
dikeluhkan oleh pemerintah dan kelompok pemerhati lingkungan, dimana diperlukan
investasi besar untuk proses pelatihan dan dukungan terhadap petugas kehutanan
serta polisi. Namun tetap saja, karena korupsi yang merajalela dan kurangnya
kemauan politis dan komitmen, membuat tertahannya usaha pengawasan perburuan
liar dan perdagangan.
Masih marak terus perdagangan satwa liar ditingkat
internasional terbukti dengan diperolehnya informasi dilapangan dan pemberitaan
media cetak tentang perdagangan satwa liar yang dilindungi, baru-baru ini
tanggal 30 september 2006, petugas gabungan Polisi Kota Besar Medan Sekitarnya
(Poltabes MS) dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sumatera Utara
mendapatkan ratusan kulit hewan trenggiling yang akan di kirim ke luar negeri. Seiring
itu pula, masih ditemukan pengiriman sirip ikan hiu secara sembunyi-sumbunyi
melalui pantai timur sumatera. Diperoleh keterangan harga sirip hiu kering
berkisar Rp. 1-3 juta rupiah perkilogram-nya. Dan pengiriman ikan-ikan hias
juga terus berlanjut seperti ikan jenis Napoleon, Arwana dan anakan ikan hiu ke
Malaysia
dan Singapore
melalui cargo udara dan laut. Hasil pemantauan dilapangan, diketahui juga bahwa
para pedagang satwa liar tersebut bukan hanya mengirim satwa liar keluar negeri
tetapi juga menerima kiriman satwa liar (dilindungi CITES) dari luar negeri
seperti Kura-kura dari India,
Ikan hias, dan lainnya.
Umumnya
pengekspor dan pengimpor sangat mahir dan berpengalaman dalam hal ini, pantauan
dilapangan bahwa para kolektor/pedagang tersebut memiliki badan usaha yang
legal dan memiliki jaringan bisnis dengan pihak-pihak terkait yang sangat ketat
dan tertutup rapi. Semua persyaratan administrasi untuk eksport dan import
mereka penuhi dengan baik.
Kelemahan
yang sangat jelas adalah lemahnya pengawasan dan penindakan dari pihak-pihak
terkait, masih dapat dilihat dilapangan bahwa petugas kerap memberi tanda cap
atau pengesahan dokumen eksport atau import tanpa melakukan pengecekan langsung
ke komoditi yang akan dikirim, seakan-akan semua sudah dilakukan pemeriksaan
dan pengecakan.
PHKA telah mengeluarkan kebijakan tentang tata niaga
penangkaran, perburuan dan perdagangan Tanaman dan Satwa Liar. Izin usaha ini
dapat diberikan kepada badan usaha, lembaga konservasi, koperasi, ataupun
perorangan. Izin usaha penangkaran diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
perlindungan dan Konservasi Alam (Dirjen
PHKA), Departemen Kehutanan.
Untuk memperoleh izin usaha penangkaran permohonan
ditujukan kepada Dirjen PHKA dengan tembusan kepada instansi kehutanan di
daerah (Dinas Kehutanan dan Balai KSDA),
yang dilengkapi dengan : Berita acara
pemeriksaan persiapan teknis tempat penangkaran dari Balai/Unit KSDA,
rekomendasi dari Kanwil Dept. Kehutanan, proposal usaha penangkaran, Surat Izin
Usaha Perdagangan (SIUP), Surat Izin Tempat Usaha (SITU)/HO, tanda daftar
perusahaan (TOP), NPWP, Akte Notaris Pendirian Usaha, Biodata tenaga ahli yang
diperkerjakan.
Usaha penangkaran yang telah memiliki izin usaha,
diwajibkan menyampaikan laporan berkala tentang perkembangan usaha
penangkarannya. Laporan berkala terdiri atas laporan bulanan, laporan triwulan
dan laporan tahunan.
Namun sebaik apapun sebuah peraturan belum bisa menjamin
terlaksananya sebuah proses pengawasan yang baik, dilapangan masih diketemukan
beberapa tempat-tempat usaha yang tidak sama sekali memiliki izin usaha, bahkan
ada yang mengatakan ²untuk apa repat-repot urus
izin usaha, toh petugas datang setiap minggu ambil uang pada kami!² hal ini dapat dipastikan masih berlangsung di
pasar-pasar satwa di kota Medan dan sekitarnya.
Keinginan untuk mendapat untung yang sebesar-besarnya
seperti tidak terbendung lagi bagi sejumlah pedagang satwa di Sumatera Utara
dan Indonesia umumnya. Masih banyak di peroleh iklan-iklan pedagang terbuka di
internet mencari ofsetan satwa liar yang dilindungi.
Permintaan lokal tentang satwa liar yang dilindungi, baik
dalam bentuk ofsetan, tulang/kerangka, bagian tubuh tertentu sangat tinggi, dan
pasar khusus ini juga menjanjikan harga yang istimewa bagi para sekelompok
pedagang. Bagi sebagian komoditas masyarakat di Sumatera Utara ada yang secara
turun temurun (budaya) untuk mengkonsumsi bagian dari tubuh satwa liar untuk
pengobatan, atau meningkatkan kualitas tubuh sipenggunanya. Bahkan sebagian
masyarakat juga masih mempercayai bahwa bagian-bagian khusus tubuh satwa liar
seperti harimau, gajah, dan lainnya memberikan khasiat magic bagi pemakainya.
Sebagian
dari masyarakat belum memahami apa, mengapa dan bagaimana konservasi Satwa liar
yang dilindungi di Sumatera Utara secara baik dan benar, khususnya dalam hal
konservasi kawasan ekosistem dan sekitarnya.
Tutupan
hijau semakin hari semakin menipis, dan bencana bagi kehidupan manusia dan
satwa orangutan khususnya. Mulai dari pesisir, dataran rendah hingga dataran
tinggi bukan lagi tempat aman dan nyaman bagi orangutan untuk hidup,
keterbatasan ruang untuk berkembang dan mencari makan menyebabkan populasi
orangutan menurun, ditambah lagi dengan kelangkaan dan spesifiknya satwa
orangutan, harimau, gajah, beruang, tapir, dan lainnya ini sehingga memberikan
nilai ekonomi yang menggiurkan untuk diperoleh, dan diperjual belikan oleh
sekelompok manusia. Aktivitas dari komunitas perdagangan satwa liar ini
sangatlah unik dan tertutup sehingga sulit untuk diberantas dan ditangkap.
Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah terjadinya transaksi dagang satwa liar
dan orangutan, namun usaha itu belum mampu memberikan dampak yang positif bagi
perkembangan populasi satwa liar dan orangutan yang semakin langka tersebut.
Masyarakat
pinggiran hutan, lokasi potensial keberadaan satwa liar dan orangutan merupakan
pelaku pemburu. Sedangkan pedagang/pengusaha dari kota, umumnya sebagai
pemodal. Umumnya pemburuan dilakukan apabila ada pesanan terlebih dahulu. Baik
itu pengusaha/pedagang ataupun masyarakat sekitar hutan. Permintaan biasanya
datang dari para penggemar/hobies, rumah makan/restaurant, kolektor, dan
lainnya. Pada dasarnya masyarakat termotivasi untuk melakukan pemburuan
disebabkan tawaran rupiah yang besar. Pola hidup yang semakin konsumtif dan
meterialistis di sekitar masyarakat saat ini merupakan salah satu kunci
dilakukannya pemburuan illegal. Tuntutan ingin memiliki pesawat televisi yang
bagus, pakaian dan memiliki sepeda motor membuat masyarakat melakukan
pemburuan.
Modal
dasar untuk melakukan pemburuan tradisional adalah bekal diperjalanan (beras,
lauk pauk, minyak tanah, dan uang saku dirumah selama ditinggal pergi). Semua
ini akan ditanggung oleh pedagang/pengusaha yang memesan kepada pemburu.
Biasanya pemburu terdiri dari 3-5 orang. Dan untuk melakukan pemburuan
menghabiskan waktu 2-5 hari di hutan, mereka tidak berani berlama-lama karena
hal ini memungkinkan akan tertangkap oleh petugas.
Apabila
buruan telah berhasil diperoleh, maka hasil buruan akan diserahkan kepada
pedagang yang memesan. Hasil buruan yang diserahkan ada dua type, pertama
sipedagang menunggu di pinggiran hutan atau pemburu akan membawa hasil buruan
ke kota asal pedagang yang memesan.
Perdagangan
satwa liar, umumnya sudah menjadi rahasia bersama masyarakat disekitar lokasi
hutan, mulai dari petugas, aparat, supir angkutan, dan sebagainya memahami dan
saling keterkaitan. Contoh, hasil buruan akan dibawa melalui jasa angkutan
penumpang umum, bersamaan penumpang dan barang-barang lainnya ke kota tujuan.
Apabila hasil buruan hidup dan berbadan besar, umumnya mempergunakan jasa
angkutan barang (pickup atau truk) yang dikombinasi dengan produk-produk
pertanian atau lainnya, sebagaimana diupayakan agar tidak terlihat dan
terpantau. Apabila diperjalanan ada pos pengawasan, biasanya tidak sebegitu
ketat pemeriksaan, cukup dengan menyodorkan rupiah kepada petugas maka
perjalanan bisa berlangsung terus.
Itu itu perlu seluruh pihak, komponen dan
stakeholder yang berkaitan dengan
perlindungan dan perdagangan satwa liar untuk kembali mensimulasi sebuah
formula kantor satu atap dalam pengamanan dan pengawasan perdagangan satwa liar
lokal dan internasional, sehingga memudahkan dalam melakukan pengawasan dan
monitoring keluar – masuk satwa. Juga perlu
dilakukan kegiatan penyadaran dan pengembangan potensi ekonomi masyarakat
sekitar hutan untuk menjadi pengaman, pelindung dan perawat satwa liar
disekitarnya. Dan memotivasi
pemerintahan daerah untuk membuat sebuah peraturan daerah yang berkaitan
kepada pengamanan, pengawetan dan pengawasan perdagangan satwa liar, sehingga
tidak seperti saat ini yang tidak memiliki kepastian dan ketegasan hukum di
setiap Kabupaten disekitar hutan yang berpotensi memiliki satwa liar. Dan
dilakukan pendidikan transparansi dan akutanbilitas kepada masyarakat dan
petugas lapangan, sehingga mampu menurunkan budaya suap, pungli dan korupsi di
berbagai pihak. Karena dari keseluruhan masalah yang ditemukan di lapangan
bermuara kepada praktik korupsi yang kerap akan mengakibatkan kerugian bangsa,
negara dan masyarakat.