Sabtu, 20 Juli 2013

WILDLIFE CRIME RUGIKAN NEGARA MILYARAN RUPIAH

Oleh : Efrizal Adil Lubis


Sumatera Utara merupakan daerah dengan tingkat keanekaragaman hayati serta tingkat endemisme (keunikan) yang sangat tinggi. Namun demikian Sumatera Utara juga merupakan daerah dengan tingkat keterancaman terhadap kepunahan spesies yang tinggi.  Penyebab utama keterancaman terhadap bahaya kepunahan spesies adalah : a. Kerusakan habitat; dan b. Pemanfaatan (termasuk perdagangan) yang tidak terkendali.
Kerusakan habitat disebabkan oleh pembukaan hutan untuk kepentingan konversi bagi pemanfaatan lahan (land use) selain hutan dengan tidak memperhitungkan keanekaragaman hayati ke dalam variable perencanaannya, sehingga kondisi habitat tinggal dalam keadaan yang miskin dan atau sangat terfragmentasi.
Kondisi kerusakan habitat saat ini telah diperparah dengan illegal logging yang telah merambah ke dalam kawasan-kawasan konservasi, serta kejadian kebakaran hutan yang berlangsung setiap tahun dengan luasan yang sangat besar sehingga keanekaragaman hayati Sumatera Utara sangat terancam. Selain itu, konversi hutan yang merupakan habitat utama jenis-jenis tumbuhan dan satwa, terutama terjadi di dataran-dataran rendah yang pada kenyataannya merupakan daerah yang paling kaya terhadap jenis dan dengan keanekaragaman yang paling tinggi dibanding tipe ekosistem lain.
Sebagian dari masyarakat belum memahami apa, mengapa dan bagaimana konservasi Satwa liar yang dilindungi di Sumatera Utara secara baik dan benar, khususnya dalam hal konservasi kawasan ekosistem sekitarnya. Tutupan hijau semakin hari semakin menipis, dan bencana bagi kehidupan manusia dan satwa liar khususnya. Mulai dari pesisir, dataran rendah hingga dataran tinggi bukan lagi tempat aman dan nyaman bagi satwa liar untuk hidup, keterbatasan ruang untuk berkembang dan mencari makan menyebabkan populasi orangutan menurun, ditambah lagi dengan kelangkaan dan spesifiknya satwa sumatera seperti orangutan, gajah, harimau, beruang dan tapir maupun satwa liar lainnya, sehingga memberikan nilai ekonomi yang menggiurkan untuk diperoleh, dan diperjual belikan oleh sekelompok manusia. Aktivitas dari komunitas perdagangan satwa liar khususnya ini sangatlah unik dan tertutup sehingga sulit untuk diberantas dan ditangkap. Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah terjadinya transaksi dagang satwa liar, namun usaha itu belum mampu memberikan dampak yang positif bagi perkembangan populasi satwa liar dan orangutan yang semakin langka tersebut.
Pada saat ini banyak satwa langka yang terancam punah, dan selama beberapa decade terakhir ini para pemerhati lingkungan menganggap bahwa perdagangan Internasional dari satwa langka ini illegal, yang sebagian tubuh satwa ini digunakan untuk obat-obatan tradisional Asia, dan sebagai koleksi  pribadi.
Dan itu semua sebagai kekuatan utama yang menggiring satwa-satwa tersebut pada kepunahan. Indonesia di garisbawahi sebagai pemasok utama untuk pasar bagian tubuh dan produk satwa tersebut, dimana perdagangan illegal ini masih diterapkan secara relative terbuka.
Sebagai langkah selanjutnya, Yayasan PEKAT Indonesia (Yapekat) dan Sumatran Orangutan Programe-Conservation International Indonesia (SOP-CII) mengadakan penelitian secara luas terhadap pasar di Sumatera, untuk menggambarkan dan mendokumentasikan perdagangan satwa liar illegal saat ini. Studi ini merinci usaha-usaha perlindungan satwa liar yang dilindungi, menyediakan latar belakang dari perdagangan satwa liar yang dilindungi, dan secara bersama-sama menyatukan data dari sumber-sumber lain untuk menganalisa perburuan liar, peranan konflik manusia-satwa liar dan pasar bagian tubuh serta produk satwa yang illegal di Sumatera saat ini.
Populasi satwa liar yang saat ini memasuki memasuki tingkat mendekati kepunahan. Dengan menyediakan penelitian mendalam yang pertama dari perdagangan liar satwa liar di Sumatera. Studi ini juga nantinya untuk memberikan bantuan kepada pemerintah Indonesia dan komunitas pemerhati lingkungan untuk dapat lebih mengupayakan pelarangan pemburuan dan perdagangan serta untuk memastikan bahwa satwa liar tidak mengalami nasib yang sama seperti Harimau Bali dan Harimau Jawa yang saat ini sudah punah, yang penyebab utama dari menurunnya jumlah satwa liar adalah perburuan dan hilangnya tempat tinggal mereka serta terkait dengan hilangnya ketersedian sumber makanan dihutan tersebut.
Semangat akan upaya perlindungan terhadap satwa liar di Sumatera Utara dan habitatnya perlu dipupuk dan ditingkatkan serta diarahkan untuk percepatan pencapaian tujuan dari semangat dan tanggung jawab masyarakat sipil. Kemudian meningkatkan peran serta masyarakat dalam ikut bertanggung jawab atas penyelamatan satwa liar dan orangutan endemic Sumatera dan habitatnya.


Status dan Perlindungan Satwa Liar dan Orangutan Sumatra
Indonesia mengeluarkan Undang-undang Republik Indonesia untuk Perlindungan Sumber Daya Alam (1990), yang juga dikenal sebagai Undang-undang Konservasi (No. 5) tahun 1990. Undang-undang ini digunakan sebagai landasan hukum untuk perlindungan spesies liar, termasuk spesies yang sepenuhnya dilindungi seperti orangutan, harimau, gajah, dan lainnya. Dalam undang-undang ini, setiap pelanggaran yang disengaja dapat dijatuhi hukuman penjara maksimum lima tahun dan/atau denda sampai dengan Rp 100.000.000,-. Pelanggaran yang terjadi karena kelalaian mendapat hukuman penjara sampai dengan satu tahun dan/atau denda sampai dengan Rp 50.000.000,-. Peraturan ini dapat berlaku sebagai pencegah terjadinya perburuan liar dan perdagangan terhadap Harimau Sumatera, jika diterapkan secara proporsional. Dan untuk memperkuat peraturan nasional yang sudah ada, pemerintah Indonesia meminta semua orang yang memiliki satwa langka liar, baik hidup maupun produknya, untuk mendaftarkan kepemilikannya dan mengeluarkan ijin yang hanya berlaku untuk satu kali. Badan yang bertanggung-jawab untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang Koservasi tersebut adalah Departemen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.
Dengan peraturan tersebut, pemerintah berhak untuk menangkap dan menyita spesimen dari satwa dilindungi, untuk setiap pelanggaran yang terjadi. Setiap barang penyitaan akan disimpan dalam gudang, atau digunakan untuk penelitian dan aktifitas pendidikan, atau dimusnahkan. Setiap penyimpanan, baik pemerintah maupun kepemilikan pribadi, ditandai dan didaftarkan.
Namun, pada akhir tahun 2003, keputusan baru dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan (No.: 447/Kpts-II/2003). Pada Bab VII dari keputusan tersebut menyebutkan: Penghapusan dari Penyitaan Spesimen, bagian pertama, pasal 113 menyebutkan bahwa seluruh penyitaan terhadap spesimen dari spesies dilindungi, yang terdaftar dalam CITES Appendix I, akan digunakan untuk kepentingan penelitian dan pendidikan. Jika barang-barang tersebut tidak berharga bagi penelitian dan pendidikan, barang-barang tersebut akan dimusnahkan. Tidak ada kalimat yang menyebutkan spesimen tersebut akan disimpan dalam gudang
Indonesia memiliki banyak polisi hutan (jagawana) yang tersebar disetiap propinsi, mereka bekerja di bawah pengawasan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) dari PHKA. Dan ini termasuk satuan khusus bersama Polisi Kehutanan dan Penyidik, menangani perburuan liar dan bentuk kejahatan sumber daya alam lainnya. Unit lapangan dilengkapi sarana perahu motor cepat, truk terbuka, sepeda motor, senjata laras panjang dan laras pendek. Operasi penyamaran juga diperbolehkan. Karyawan KSDA terlihat menikmati hubungan kerja yang baik dengan aparat kepolisian, bea dan cukai serta tentara. Karyawan KSDA yang berhasil menangkap para pelanggar, diwajibkan untuk menyerahkan para pelanggar tersebut kepada pihak kepolisian, kemudian oleh pihak kepolisian akan di proses untuk peradilan
PHKA adalah badan di Indonesia yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan CITES yang berhubungan dengan satwa liar. Dalam kerjasamanya dengan bea dan cukai Indonesia, seluruh pelaksanaan ekspor CITES harus diperiksa terlebih dahulu.
Meski demikian, penegakan hukum dan eksekusi masih sangat lemah atau bahkan di beberapa wilayah hal itu tidak terlaksana. Ada sejumlah faktor yang membatasi proses penegakan hukum. Keterbatasan sumberdaya, terutama untuk mengeksekusi kasus satwa liar. Kurangnya kapasitas kemampuan aparat penegak hukum yang terlatih, merupakan satu persoalan yang terus dikeluhkan oleh pemerintah dan kelompok pemerhati lingkungan, dimana diperlukan investasi besar untuk proses pelatihan dan dukungan terhadap petugas kehutanan serta polisi. Namun tetap saja, karena korupsi yang merajalela dan kurangnya kemauan politis dan komitmen, membuat tertahannya usaha pengawasan perburuan liar dan perdagangan.

Kerugian akibat Hilangnya Satwa Langka
Masih marak terus perdagangan satwa liar ditingkat internasional terbukti dengan diperolehnya informasi dilapangan dan pemberitaan media cetak tentang perdagangan satwa liar yang dilindungi, baru-baru ini tanggal 30 september 2006, petugas gabungan Polisi Kota Besar Medan Sekitarnya (Poltabes MS) dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sumatera Utara mendapatkan ratusan kulit hewan trenggiling yang akan di kirim ke luar negeri. Seiring itu pula, masih ditemukan pengiriman sirip ikan hiu secara sembunyi-sumbunyi melalui pantai timur sumatera. Diperoleh keterangan harga sirip hiu kering berkisar Rp. 1-3 juta rupiah perkilogram-nya. Dan pengiriman ikan-ikan hias juga terus berlanjut seperti ikan jenis Napoleon, Arwana dan anakan ikan hiu ke Malaysia dan Singapore melalui cargo udara dan laut. Hasil pemantauan dilapangan, diketahui juga bahwa para pedagang satwa liar tersebut bukan hanya mengirim satwa liar keluar negeri tetapi juga menerima kiriman satwa liar (dilindungi CITES) dari luar negeri seperti Kura-kura dari India, Ikan hias, dan lainnya.
Umumnya pengekspor dan pengimpor sangat mahir dan berpengalaman dalam hal ini, pantauan dilapangan bahwa para kolektor/pedagang tersebut memiliki badan usaha yang legal dan memiliki jaringan bisnis dengan pihak-pihak terkait yang sangat ketat dan tertutup rapi. Semua persyaratan administrasi untuk eksport dan import mereka penuhi dengan baik.
Kelemahan yang sangat jelas adalah lemahnya pengawasan dan penindakan dari pihak-pihak terkait, masih dapat dilihat dilapangan bahwa petugas kerap memberi tanda cap atau pengesahan dokumen eksport atau import tanpa melakukan pengecekan langsung ke komoditi yang akan dikirim, seakan-akan semua sudah dilakukan pemeriksaan dan pengecakan. 
PHKA telah mengeluarkan kebijakan tentang tata niaga penangkaran, perburuan dan perdagangan Tanaman dan Satwa Liar. Izin usaha ini dapat diberikan kepada badan usaha, lembaga konservasi, koperasi, ataupun perorangan. Izin usaha penangkaran diterbitkan oleh Direktorat Jenderal perlindungan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA), Departemen Kehutanan.
Untuk memperoleh izin usaha penangkaran permohonan ditujukan kepada Dirjen PHKA dengan tembusan kepada instansi kehutanan di daerah (Dinas Kehutanan dan Balai KSDA), yang dilengkapi dengan : Berita acara pemeriksaan persiapan teknis tempat penangkaran dari Balai/Unit KSDA, rekomendasi dari Kanwil Dept. Kehutanan, proposal usaha penangkaran, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Surat Izin Tempat Usaha (SITU)/HO, tanda daftar perusahaan (TOP), NPWP, Akte Notaris Pendirian Usaha, Biodata tenaga ahli yang diperkerjakan.
Usaha penangkaran yang telah memiliki izin usaha, diwajibkan menyampaikan laporan berkala tentang perkembangan usaha penangkarannya. Laporan berkala terdiri atas laporan bulanan, laporan triwulan dan laporan tahunan.
Namun sebaik apapun sebuah peraturan belum bisa menjamin terlaksananya sebuah proses pengawasan yang baik, dilapangan masih diketemukan beberapa tempat-tempat usaha yang tidak sama sekali memiliki izin usaha, bahkan ada yang mengatakan ²untuk apa repat-repot urus izin usaha, toh petugas datang setiap minggu ambil uang pada kami!²  hal ini dapat dipastikan masih berlangsung di pasar-pasar satwa di kota Medan dan sekitarnya.
Keinginan untuk mendapat untung yang sebesar-besarnya seperti tidak terbendung lagi bagi sejumlah pedagang satwa di Sumatera Utara dan Indonesia umumnya. Masih banyak di peroleh iklan-iklan pedagang terbuka di internet mencari ofsetan satwa liar yang dilindungi.
Permintaan lokal tentang satwa liar yang dilindungi, baik dalam bentuk ofsetan, tulang/kerangka, bagian tubuh tertentu sangat tinggi, dan pasar khusus ini juga menjanjikan harga yang istimewa bagi para sekelompok pedagang. Bagi sebagian komoditas masyarakat di Sumatera Utara ada yang secara turun temurun (budaya) untuk mengkonsumsi bagian dari tubuh satwa liar untuk pengobatan, atau meningkatkan kualitas tubuh sipenggunanya. Bahkan sebagian masyarakat juga masih mempercayai bahwa bagian-bagian khusus tubuh satwa liar seperti harimau, gajah, dan lainnya memberikan khasiat magic bagi pemakainya.

Peran Masyarakat dalam Teknis Operasional Perdagangan Satwa Liar
Sebagian dari masyarakat belum memahami apa, mengapa dan bagaimana konservasi Satwa liar yang dilindungi di Sumatera Utara secara baik dan benar, khususnya dalam hal konservasi kawasan ekosistem dan sekitarnya.
Tutupan hijau semakin hari semakin menipis, dan bencana bagi kehidupan manusia dan satwa orangutan khususnya. Mulai dari pesisir, dataran rendah hingga dataran tinggi bukan lagi tempat aman dan nyaman bagi orangutan untuk hidup, keterbatasan ruang untuk berkembang dan mencari makan menyebabkan populasi orangutan menurun, ditambah lagi dengan kelangkaan dan spesifiknya satwa orangutan, harimau, gajah, beruang, tapir, dan lainnya ini sehingga memberikan nilai ekonomi yang menggiurkan untuk diperoleh, dan diperjual belikan oleh sekelompok manusia. Aktivitas dari komunitas perdagangan satwa liar ini sangatlah unik dan tertutup sehingga sulit untuk diberantas dan ditangkap. Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah terjadinya transaksi dagang satwa liar dan orangutan, namun usaha itu belum mampu memberikan dampak yang positif bagi perkembangan populasi satwa liar dan orangutan yang semakin langka tersebut.
Masyarakat pinggiran hutan, lokasi potensial keberadaan satwa liar dan orangutan merupakan pelaku pemburu. Sedangkan pedagang/pengusaha dari kota, umumnya sebagai pemodal. Umumnya pemburuan dilakukan apabila ada pesanan terlebih dahulu. Baik itu pengusaha/pedagang ataupun masyarakat sekitar hutan. Permintaan biasanya datang dari para penggemar/hobies, rumah makan/restaurant, kolektor, dan lainnya. Pada dasarnya masyarakat termotivasi untuk melakukan pemburuan disebabkan tawaran rupiah yang besar. Pola hidup yang semakin konsumtif dan meterialistis di sekitar masyarakat saat ini merupakan salah satu kunci dilakukannya pemburuan illegal. Tuntutan ingin memiliki pesawat televisi yang bagus, pakaian dan memiliki sepeda motor membuat masyarakat melakukan pemburuan.
Modal dasar untuk melakukan pemburuan tradisional adalah bekal diperjalanan (beras, lauk pauk, minyak tanah, dan uang saku dirumah selama ditinggal pergi). Semua ini akan ditanggung oleh pedagang/pengusaha yang memesan kepada pemburu. Biasanya pemburu terdiri dari 3-5 orang. Dan untuk melakukan pemburuan menghabiskan waktu 2-5 hari di hutan, mereka tidak berani berlama-lama karena hal ini memungkinkan akan tertangkap oleh petugas.
Apabila buruan telah berhasil diperoleh, maka hasil buruan akan diserahkan kepada pedagang yang memesan. Hasil buruan yang diserahkan ada dua type, pertama sipedagang menunggu di pinggiran hutan atau pemburu akan membawa hasil buruan ke kota asal pedagang yang memesan.
Perdagangan satwa liar, umumnya sudah menjadi rahasia bersama masyarakat disekitar lokasi hutan, mulai dari petugas, aparat, supir angkutan, dan sebagainya memahami dan saling keterkaitan. Contoh, hasil buruan akan dibawa melalui jasa angkutan penumpang umum, bersamaan penumpang dan barang-barang lainnya ke kota tujuan. Apabila hasil buruan hidup dan berbadan besar, umumnya mempergunakan jasa angkutan barang (pickup atau truk) yang dikombinasi dengan produk-produk pertanian atau lainnya, sebagaimana diupayakan agar tidak terlihat dan terpantau. Apabila diperjalanan ada pos pengawasan, biasanya tidak sebegitu ketat pemeriksaan, cukup dengan menyodorkan rupiah kepada petugas maka perjalanan bisa berlangsung terus.
Itu itu perlu seluruh pihak, komponen dan stakeholder yang berkaitan dengan  perlindungan dan perdagangan satwa liar untuk kembali mensimulasi sebuah formula kantor satu atap dalam pengamanan dan pengawasan perdagangan satwa liar lokal dan internasional, sehingga memudahkan dalam melakukan pengawasan dan monitoring keluar – masuk satwa. Juga perlu dilakukan kegiatan penyadaran dan pengembangan potensi ekonomi masyarakat sekitar hutan untuk menjadi pengaman, pelindung dan perawat satwa liar disekitarnya. Dan memotivasi  pemerintahan daerah untuk membuat sebuah peraturan daerah yang berkaitan kepada pengamanan, pengawetan dan pengawasan perdagangan satwa liar, sehingga tidak seperti saat ini yang tidak memiliki kepastian dan ketegasan hukum di setiap Kabupaten disekitar hutan yang berpotensi memiliki satwa liar. Dan dilakukan pendidikan transparansi dan akutanbilitas kepada masyarakat dan petugas lapangan, sehingga mampu menurunkan budaya suap, pungli dan korupsi di berbagai pihak. Karena dari keseluruhan masalah yang ditemukan di lapangan bermuara kepada praktik korupsi yang kerap akan mengakibatkan kerugian bangsa, negara dan masyarakat.





KAWASAN EKOSISTEM YANG HARUS DIPERTAHANKAN



Sampai sejauh ini, kawasan yang ingin dipertahankan dan dijaga serta dilestarikan fungsinya antara lain:

(1) Kawasan Gambut, yaitu kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu lama. Perlindungan terhadap kawasan gambut dilakukan untuk mengendalikan hidrologi wilayah yang berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir maupun kebakaran, serta melindungi sistem ekonomi yang khas di kawasan yang bersangkutan. Kriteria kawasan gambut yang dilindungi itu adalah tanah gambut dengan ketebalan tiga meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa (Pasal 10 Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung) 

(2) Kawasan Resapan Air, yaitu daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air. Perlindungan terhadap kawasan resapan air dilakukan untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu untuk keperluan penyediaan kebutuhan kawasan yang bersangkutan. Kriteria kawasan resapan air adalah curah hujan yang tinggi, struktur tanah yang mudah meresapkan air bentuk geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran (Pasal 12 Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung); 

(3) Sempadan Sungai, yaitu kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai. Kriteria sempadan sungai yaitu: 

(a) Sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan50 meter di kiri kanan sungai yang berada di luar pemukiman (Pasal 16 butir a Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung jo PP No. 35 tahun 1991 tentang Sungai) 

(b) Untuk sungai di kawasan pemukiman lebar sempadan sungai seharusnya cukup untuk membangun jalan inspeksi yaitu antara 10 sampai dengan 15 meter (Pasal 16 Butir b Keppres No. 32 Tahun 1990 jo PP No. 35 Tahun 1991); 


(4) Sempadan Pantai, adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan dan melindungi kelestarian fungsi pantai dari gangguan berbagai kegiatan dan proses alam. Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat (Pasal 14 Keppres No. 32 Tahun 1990); 

(5) Kawasan Sekitar Danau/Waduk, adalah kawasan tertentu di sekeltiling danau/waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau/waduk Perlindungan terhadap kawasan sekitar danau/waduk dilakukan untuk melindungi danau/waduk dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu kelestariaan fungsi danau/waduk. Kriteria kawasan sekitar danau/waduk adalah sepanjang tepian danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau/waduk antara 50-100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat (Pasal 18 Keppres No. 32 Tahun 1990); 

(6) Kawasan Pantai Berhutan Bakau, yaitu kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan. Perlindungan terhadap kawasan ini dilakukan untuk melestarikan hutan bakau sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat berkembang-biaknya berbagai biota laut disamping sebagai pelindung usaha budidaya di belakangnya. Kriteria kawasan ini adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat (Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Jo Pasal 27 Keppres No. 32 Tahun 1990);

(7) Rawa yang merupakan lLahan genangan air secara alamiah yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat  serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik, kimiawi, atau bilogis.
Konservasi rawa adalah pengelolaan rawa sebagai sumber air yang  berdasarkan pertimbangan teknis, sosial ekonomis dan lingkungan, bertujuan untuk mempertahankan dan sebagai sumber air serta  meningkatkan fungsi dan manfaatnya, dengan memperhatikan faktor -faktor sebagai berikut (Pasal 9 PP No. 27 Tahun 1991 tentang Rawa) : (a) kemampuan meningkatkanrawa sebagai ekosistem sumber air; (b) kelestarian rawa; (c) kemampuan meningkatkan perekonomian masyarakat dan (d) kelestarian lingkungan hidup. 

2.1.1 Ekosistem Hutan “Bakau” (Zonasi I)
Ekosistem ini terdiri dan formasi bakau, nipah, serta formasi Acrosticum. Formasi hutan mangrove atau “bakau” ditandai dengan kehadiran jenis tanah aluvial, sebagai hasil dari sedimentasi dan akumutasi lumpur yang dibawa oleh air sungai. Formasi ini begitu dinamis dengan adanya peran dari tumbuhan pemul, umumnya berupa tumbuhan Api-api (Avicennia sp.) dan Pedada (Sonneratia sp.), dan jika kondisi lahan menjadi stabil, maka akan ditemui jenis Bakau (Rizophora spp.) dan Nyireh (Xylocarpus sp.). Jenis-jenis ini diketahui sangat baik beradaptasi pada tanah bersalinitas tinggi sebagai pengaruh dan pasang air laut.
Pada ekosistem ini formasi Rhizophora sp., Avicennia sp., dan Sonneratia marina menduduki formasi terdepan sedangkan agak kebelakang dijumpai jenis tumu atau bakau tomak (Bruguirea hexangula), Xylocarpus muluccensis dan Sonneratia ovata. Formasi hutan “bakau” ini diketahui sangat penting peranannya sebagai habitat pijah-asuh berbagai jenis ikan dan udang. Di sisi lain, formasi Acrostichum juga dominan dan berfungsi sebagai penutup tanah hutan mangrove hingga ketinggian 3-4 meter. Bersamaan dengan itu terdapat pula assosiasi dengan Nipa. Jenis tumbuhan Nipa membutuhkan air selama hidupnya.Ini terlihat dan seringnya Nipa diketemukan di sepanjang tepi sungai dengan aliran yang tenang. Jenis ini dapat hidup sebagai pioner di sedimen berlapis. Reptilia yang hidup di habitat ini adalah biawak ( Varanus salvator), buaya (Crocodylus porosus), ular cincin emas (Boiga sp.), sedangkan mamalia yang umum ditemukan adalah babi hutan (Sus scoria), kera (Macaca sp.), kucing hutan (Felix sp.), Napu (Tragulus napu), dan kelompok burung yang banyak ditemukan merupakan kelompok cemar laut (wader) dan bangau, serta kuntul.


2.1.2 Ekosistem Hutan Raya Payau (Zona I)
Merupakan formasi hutan rawa campuran air asin dan air tawar, dan umumnya terdapat di belakang hutan magrove atau di sepanjang tepi sungai. Tumbuhan pada formasi ini didominasi oleh Terentang (Camnosperma), Putai (Alstonia), dan Rengas (Gluta rengas). Formasi ini berperan sebagai pembatas terhadap ekosistem hutan bakau dengan kehadiran formasi Nibung. Formasi ini merupakan pembatas antara hutan mangrove dan hutan lainnya di belakang mangrove, baik hutan rawa maupun hutan gambut. Kelebatan formasi ini berkisar antara 100-500 meter. Fauna yang ditemukan di habitat ini pada umumnya fauna yang hidup di daerah mangrove maupun di hutan rawa air tawar.


2.1.3 Ekosistem Hutan Rawa Air Tawar (Zona II)
Formasi hutan rawa air tawar terletak di bagian belakang hutan rawa payau. Salah satu indikator formasi hutan ini adalah hadirnya tanaman pandan (Pandanus sp.) dan rumput yang terapung (kumpai) di perairan. Tumbuhan lain yang juga sering ditemukan adalah Comnosperma dan Alstonia. Selain itu terdapat familia Dipterocarpaceae dari Genera Shorea, Dipterocarpus, Marsawa, dan Cotilelobium.
Pada habitat ini biasa ditemukan fauna yang tergolong reptilia, yaitu buaya senjolong (Tomastoma schlegelii), dan kelompok mamalia antara lain : gajah (Elephas maximus), tapir (Tapirus indicus), badak (Dicerorhinus sumatrensis), beruang (Herartos malayensis), kancil (Tragulus javanicus), babi (Sus barbatus), dan lain-lain.


2.1.4 Ekosistem Hutan Rawa Gambut (Zona III)
Di daerah delta yang biasanya banyak mendapat pengaruh air asin dan payau, beberapa jenis tumbuhan dominan adalah jenis terentang abang (Camnosperma macrophylla). Hutan pelawan beriang (Tristania abovata) dan Ploiarium alternifolium ditemukan pada lapisan gambut yang tebal, sedangkan pada lapisan gambut yang tipis ditemukan tegakan nibung (Oncosperma filamentosa). Di dekat sungai-sungai besar, pada tempat tempat yang kurang tergenang ditumbuhi oleh jenis perepat (Combretocarpus motleyi) yang bercampur dengan Camnosperma macrophylla dan meranti paya (Shorea spp.). 

Hutan rawa gambut yang tidak dipengaruhi oleh air asin memiliki jenis tumbuhan yang lebih kaya. Hutan ini merupakan formasi transisi dan hutan gambut ke hutan rawa (mixed peat swamp forest). Di dalam formasi ini terdapat lapisan bergambut dengan ketebalan sekitar 20 cm. Komposisi floristik pada formasi ini mirip dengan komposisi di hutan rawa air tawar. Komposisi tumbuhannya terdiri dan tiga zona yang secara horizontal adalah berturut-turut : zona pertama didominasi oleh jenis durian payau (Durio carrinatus), meranti (Shorea sp.), merawan bunga (Hopea mangerawan), simang (Diospyros sp.), dan jenis-jenis yang termasuk ke dalam familii Anacardiaceae. Zona kedua terdiri atas tumbuhan Sindai (Knema spp.), Blumeodendron sp., Prunus sp., dan beberapa jenis dan familia Poligalaceae serta Euphorbiacece. Di bagian zona terutama didominasi oleh tipe semak dan rumputan. Ketebalan gambut di daerah ini mencapai 2 sampai 3 meter dengan dominasi jenis palem yang merupakan indikator bahwa formasi di daerah ini merupakan formasi transisi antara tipe rawa dan gambut (hutan campuran rawa dan gambut atau mixed peat swamp forest).
 


 
Kelima faktor mutu lahan yang diindikasikan pada Tabel 2-1 tersebut penting diperhatikan dalam penentuan kesesuaian lahan untuk kegiatan pertanian. Adapun faktor No. 1,4 , dan 5 merupakan hal yang patut dipertimbangkan dalam menentukan lokasi proyek pembangunan non pertanian.