Sampai sejauh ini, kawasan yang ingin
dipertahankan dan dijaga serta dilestarikan fungsinya antara lain:
(1) Kawasan Gambut, yaitu kawasan yang unsur
pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun
dalam waktu lama. Perlindungan terhadap kawasan gambut dilakukan untuk
mengendalikan hidrologi wilayah yang berfungsi sebagai penambat air dan
pencegah banjir maupun kebakaran, serta melindungi sistem ekonomi yang khas di kawasan
yang bersangkutan. Kriteria kawasan gambut yang dilindungi itu adalah tanah
gambut dengan ketebalan tiga meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu
sungai dan rawa (Pasal 10 Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung)
(2) Kawasan Resapan Air, yaitu
daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga
merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air.
Perlindungan terhadap kawasan resapan air dilakukan untuk memberikan ruang yang
cukup bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu untuk keperluan penyediaan
kebutuhan kawasan yang bersangkutan. Kriteria kawasan resapan air adalah curah
hujan yang tinggi, struktur tanah yang mudah meresapkan air bentuk geomorfologi
yang mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran (Pasal 12 Keppres No. 32
Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung);
(3) Sempadan Sungai, yaitu
kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran
irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian
fungsi sungai. Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi
dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai,
kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai.
Kriteria sempadan sungai yaitu:
(a) Sekurang-kurangnya 100
meter di kiri kanan sungai besar dan50 meter di kiri kanan sungai yang berada
di luar pemukiman (Pasal 16 butir a Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung jo PP No. 35 tahun 1991 tentang Sungai)
(b) Untuk sungai di kawasan
pemukiman lebar sempadan sungai seharusnya cukup untuk membangun jalan inspeksi
yaitu antara 10 sampai dengan 15 meter (Pasal 16 Butir b Keppres No. 32 Tahun
1990 jo PP No. 35 Tahun 1991);
(4) Sempadan Pantai, adalah
kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan dan melindungi kelestarian fungsi pantai dari gangguan berbagai
kegiatan dan proses alam. Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang
tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai
minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat (Pasal 14 Keppres
No. 32 Tahun 1990);
(5) Kawasan Sekitar
Danau/Waduk, adalah kawasan tertentu di sekeltiling danau/waduk yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau/waduk
Perlindungan terhadap kawasan sekitar danau/waduk dilakukan untuk melindungi
danau/waduk dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu kelestariaan fungsi
danau/waduk. Kriteria kawasan sekitar danau/waduk adalah sepanjang tepian
danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik
danau/waduk antara 50-100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat
(Pasal 18 Keppres No. 32 Tahun 1990);
(6) Kawasan Pantai Berhutan Bakau,
yaitu kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove)
yang berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan.
Perlindungan terhadap kawasan ini dilakukan untuk melestarikan hutan bakau
sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat berkembang-biaknya berbagai
biota laut disamping sebagai pelindung usaha budidaya di belakangnya. Kriteria
kawasan ini adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang
tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah
darat (Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya Jo Pasal 27 Keppres No. 32 Tahun 1990);
(7) Rawa yang merupakan lLahan genangan air
secara alamiah yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik, kimiawi, atau bilogis.
Konservasi rawa adalah pengelolaan rawa sebagai sumber air yang berdasarkan pertimbangan teknis, sosial ekonomis dan lingkungan, bertujuan untuk mempertahankan dan sebagai sumber air serta meningkatkan fungsi dan manfaatnya, dengan memperhatikan faktor -faktor sebagai berikut (Pasal 9 PP No. 27 Tahun 1991 tentang Rawa) : (a) kemampuan meningkatkanrawa sebagai ekosistem sumber air; (b) kelestarian rawa; (c) kemampuan meningkatkan perekonomian masyarakat dan (d) kelestarian lingkungan hidup.
Konservasi rawa adalah pengelolaan rawa sebagai sumber air yang berdasarkan pertimbangan teknis, sosial ekonomis dan lingkungan, bertujuan untuk mempertahankan dan sebagai sumber air serta meningkatkan fungsi dan manfaatnya, dengan memperhatikan faktor -faktor sebagai berikut (Pasal 9 PP No. 27 Tahun 1991 tentang Rawa) : (a) kemampuan meningkatkanrawa sebagai ekosistem sumber air; (b) kelestarian rawa; (c) kemampuan meningkatkan perekonomian masyarakat dan (d) kelestarian lingkungan hidup.
2.1.1 Ekosistem Hutan “Bakau” (Zonasi I)
Ekosistem ini terdiri dan formasi bakau, nipah, serta formasi
Acrosticum. Formasi hutan mangrove atau “bakau” ditandai dengan kehadiran jenis
tanah aluvial, sebagai hasil dari sedimentasi dan akumutasi lumpur yang dibawa
oleh air sungai. Formasi ini begitu dinamis dengan adanya peran dari tumbuhan
pemul, umumnya berupa tumbuhan Api-api (Avicennia sp.) dan Pedada (Sonneratia
sp.), dan jika kondisi lahan menjadi stabil, maka akan ditemui jenis Bakau
(Rizophora spp.) dan Nyireh (Xylocarpus sp.). Jenis-jenis ini diketahui sangat
baik beradaptasi pada tanah bersalinitas tinggi sebagai pengaruh dan pasang air
laut.
Pada ekosistem ini formasi Rhizophora sp.,
Avicennia sp., dan Sonneratia marina menduduki formasi terdepan sedangkan agak
kebelakang dijumpai jenis tumu atau bakau tomak (Bruguirea hexangula),
Xylocarpus muluccensis dan Sonneratia ovata. Formasi hutan “bakau” ini
diketahui sangat penting peranannya sebagai habitat pijah-asuh berbagai jenis
ikan dan udang. Di sisi lain, formasi Acrostichum juga dominan dan berfungsi
sebagai penutup tanah hutan mangrove hingga ketinggian 3-4 meter. Bersamaan
dengan itu terdapat pula assosiasi dengan Nipa. Jenis tumbuhan Nipa membutuhkan
air selama hidupnya.Ini terlihat dan seringnya Nipa diketemukan di sepanjang
tepi sungai dengan aliran yang tenang. Jenis ini dapat hidup sebagai pioner di
sedimen berlapis. Reptilia yang hidup di habitat ini adalah biawak ( Varanus
salvator), buaya (Crocodylus porosus), ular cincin emas (Boiga sp.), sedangkan
mamalia yang umum ditemukan adalah babi hutan (Sus scoria), kera (Macaca sp.),
kucing hutan (Felix sp.), Napu (Tragulus napu), dan kelompok burung yang banyak
ditemukan merupakan kelompok cemar laut (wader) dan bangau, serta kuntul.
2.1.2
Ekosistem Hutan Raya Payau (Zona I)
Merupakan formasi hutan rawa campuran air asin dan air
tawar, dan umumnya terdapat di belakang hutan magrove atau di sepanjang tepi
sungai. Tumbuhan pada formasi ini didominasi oleh Terentang (Camnosperma),
Putai (Alstonia), dan Rengas (Gluta rengas). Formasi ini berperan sebagai
pembatas terhadap ekosistem hutan bakau dengan kehadiran formasi Nibung.
Formasi ini merupakan pembatas antara hutan mangrove dan hutan lainnya di
belakang mangrove, baik hutan rawa maupun hutan gambut. Kelebatan formasi ini
berkisar antara 100-500 meter. Fauna yang ditemukan di habitat ini pada umumnya
fauna yang hidup di daerah mangrove maupun di hutan rawa air tawar.
2.1.3
Ekosistem Hutan Rawa Air Tawar (Zona II)
Formasi
hutan rawa air tawar terletak di bagian belakang hutan rawa payau. Salah satu
indikator formasi hutan ini adalah hadirnya tanaman pandan (Pandanus sp.) dan
rumput yang terapung (kumpai) di perairan. Tumbuhan lain yang juga sering
ditemukan adalah Comnosperma dan Alstonia. Selain itu terdapat familia
Dipterocarpaceae dari Genera Shorea, Dipterocarpus, Marsawa, dan Cotilelobium.
Pada habitat ini biasa ditemukan fauna yang tergolong
reptilia, yaitu buaya senjolong (Tomastoma schlegelii), dan kelompok mamalia
antara lain : gajah (Elephas maximus), tapir (Tapirus indicus), badak
(Dicerorhinus sumatrensis), beruang (Herartos malayensis), kancil (Tragulus
javanicus), babi (Sus barbatus), dan lain-lain.
2.1.4
Ekosistem Hutan Rawa Gambut (Zona III)
Di daerah delta yang biasanya banyak mendapat pengaruh
air asin dan payau, beberapa jenis tumbuhan dominan adalah jenis terentang
abang (Camnosperma macrophylla). Hutan pelawan beriang (Tristania abovata) dan
Ploiarium alternifolium ditemukan pada lapisan gambut yang tebal, sedangkan
pada lapisan gambut yang tipis ditemukan tegakan nibung (Oncosperma
filamentosa). Di dekat sungai-sungai besar, pada tempat tempat yang kurang
tergenang ditumbuhi oleh jenis perepat (Combretocarpus motleyi) yang bercampur
dengan Camnosperma macrophylla dan meranti paya (Shorea spp.).
Hutan rawa gambut yang tidak
dipengaruhi oleh air asin memiliki jenis tumbuhan yang lebih kaya. Hutan ini
merupakan formasi transisi dan hutan gambut ke hutan rawa (mixed peat swamp
forest). Di dalam formasi ini terdapat lapisan bergambut dengan ketebalan
sekitar 20 cm. Komposisi floristik pada formasi ini mirip dengan komposisi di
hutan rawa air tawar. Komposisi tumbuhannya terdiri dan tiga zona yang secara
horizontal adalah berturut-turut : zona pertama didominasi oleh jenis durian
payau (Durio carrinatus), meranti (Shorea sp.), merawan bunga (Hopea
mangerawan), simang (Diospyros sp.), dan jenis-jenis yang termasuk ke dalam
familii Anacardiaceae. Zona kedua terdiri atas tumbuhan Sindai (Knema spp.),
Blumeodendron sp., Prunus sp., dan beberapa jenis dan familia Poligalaceae
serta Euphorbiacece. Di bagian zona terutama didominasi oleh tipe semak dan
rumputan. Ketebalan gambut di daerah ini mencapai 2 sampai 3 meter dengan
dominasi jenis palem yang merupakan indikator bahwa formasi di daerah ini
merupakan formasi transisi antara tipe rawa dan gambut (hutan campuran rawa dan
gambut atau mixed peat swamp forest).
Kelima faktor mutu lahan yang diindikasikan pada Tabel
2-1 tersebut penting diperhatikan dalam penentuan kesesuaian lahan untuk
kegiatan pertanian. Adapun faktor No. 1,4 , dan 5 merupakan hal yang patut
dipertimbangkan dalam menentukan lokasi proyek pembangunan non pertanian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar