Sabtu, 20 Juli 2013

KAWASAN EKOSISTEM YANG HARUS DIPERTAHANKAN



Sampai sejauh ini, kawasan yang ingin dipertahankan dan dijaga serta dilestarikan fungsinya antara lain:

(1) Kawasan Gambut, yaitu kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu lama. Perlindungan terhadap kawasan gambut dilakukan untuk mengendalikan hidrologi wilayah yang berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir maupun kebakaran, serta melindungi sistem ekonomi yang khas di kawasan yang bersangkutan. Kriteria kawasan gambut yang dilindungi itu adalah tanah gambut dengan ketebalan tiga meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa (Pasal 10 Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung) 

(2) Kawasan Resapan Air, yaitu daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air. Perlindungan terhadap kawasan resapan air dilakukan untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu untuk keperluan penyediaan kebutuhan kawasan yang bersangkutan. Kriteria kawasan resapan air adalah curah hujan yang tinggi, struktur tanah yang mudah meresapkan air bentuk geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran (Pasal 12 Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung); 

(3) Sempadan Sungai, yaitu kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai. Kriteria sempadan sungai yaitu: 

(a) Sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan50 meter di kiri kanan sungai yang berada di luar pemukiman (Pasal 16 butir a Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung jo PP No. 35 tahun 1991 tentang Sungai) 

(b) Untuk sungai di kawasan pemukiman lebar sempadan sungai seharusnya cukup untuk membangun jalan inspeksi yaitu antara 10 sampai dengan 15 meter (Pasal 16 Butir b Keppres No. 32 Tahun 1990 jo PP No. 35 Tahun 1991); 


(4) Sempadan Pantai, adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan dan melindungi kelestarian fungsi pantai dari gangguan berbagai kegiatan dan proses alam. Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat (Pasal 14 Keppres No. 32 Tahun 1990); 

(5) Kawasan Sekitar Danau/Waduk, adalah kawasan tertentu di sekeltiling danau/waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau/waduk Perlindungan terhadap kawasan sekitar danau/waduk dilakukan untuk melindungi danau/waduk dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu kelestariaan fungsi danau/waduk. Kriteria kawasan sekitar danau/waduk adalah sepanjang tepian danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau/waduk antara 50-100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat (Pasal 18 Keppres No. 32 Tahun 1990); 

(6) Kawasan Pantai Berhutan Bakau, yaitu kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan. Perlindungan terhadap kawasan ini dilakukan untuk melestarikan hutan bakau sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat berkembang-biaknya berbagai biota laut disamping sebagai pelindung usaha budidaya di belakangnya. Kriteria kawasan ini adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat (Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Jo Pasal 27 Keppres No. 32 Tahun 1990);

(7) Rawa yang merupakan lLahan genangan air secara alamiah yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat  serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik, kimiawi, atau bilogis.
Konservasi rawa adalah pengelolaan rawa sebagai sumber air yang  berdasarkan pertimbangan teknis, sosial ekonomis dan lingkungan, bertujuan untuk mempertahankan dan sebagai sumber air serta  meningkatkan fungsi dan manfaatnya, dengan memperhatikan faktor -faktor sebagai berikut (Pasal 9 PP No. 27 Tahun 1991 tentang Rawa) : (a) kemampuan meningkatkanrawa sebagai ekosistem sumber air; (b) kelestarian rawa; (c) kemampuan meningkatkan perekonomian masyarakat dan (d) kelestarian lingkungan hidup. 

2.1.1 Ekosistem Hutan “Bakau” (Zonasi I)
Ekosistem ini terdiri dan formasi bakau, nipah, serta formasi Acrosticum. Formasi hutan mangrove atau “bakau” ditandai dengan kehadiran jenis tanah aluvial, sebagai hasil dari sedimentasi dan akumutasi lumpur yang dibawa oleh air sungai. Formasi ini begitu dinamis dengan adanya peran dari tumbuhan pemul, umumnya berupa tumbuhan Api-api (Avicennia sp.) dan Pedada (Sonneratia sp.), dan jika kondisi lahan menjadi stabil, maka akan ditemui jenis Bakau (Rizophora spp.) dan Nyireh (Xylocarpus sp.). Jenis-jenis ini diketahui sangat baik beradaptasi pada tanah bersalinitas tinggi sebagai pengaruh dan pasang air laut.
Pada ekosistem ini formasi Rhizophora sp., Avicennia sp., dan Sonneratia marina menduduki formasi terdepan sedangkan agak kebelakang dijumpai jenis tumu atau bakau tomak (Bruguirea hexangula), Xylocarpus muluccensis dan Sonneratia ovata. Formasi hutan “bakau” ini diketahui sangat penting peranannya sebagai habitat pijah-asuh berbagai jenis ikan dan udang. Di sisi lain, formasi Acrostichum juga dominan dan berfungsi sebagai penutup tanah hutan mangrove hingga ketinggian 3-4 meter. Bersamaan dengan itu terdapat pula assosiasi dengan Nipa. Jenis tumbuhan Nipa membutuhkan air selama hidupnya.Ini terlihat dan seringnya Nipa diketemukan di sepanjang tepi sungai dengan aliran yang tenang. Jenis ini dapat hidup sebagai pioner di sedimen berlapis. Reptilia yang hidup di habitat ini adalah biawak ( Varanus salvator), buaya (Crocodylus porosus), ular cincin emas (Boiga sp.), sedangkan mamalia yang umum ditemukan adalah babi hutan (Sus scoria), kera (Macaca sp.), kucing hutan (Felix sp.), Napu (Tragulus napu), dan kelompok burung yang banyak ditemukan merupakan kelompok cemar laut (wader) dan bangau, serta kuntul.


2.1.2 Ekosistem Hutan Raya Payau (Zona I)
Merupakan formasi hutan rawa campuran air asin dan air tawar, dan umumnya terdapat di belakang hutan magrove atau di sepanjang tepi sungai. Tumbuhan pada formasi ini didominasi oleh Terentang (Camnosperma), Putai (Alstonia), dan Rengas (Gluta rengas). Formasi ini berperan sebagai pembatas terhadap ekosistem hutan bakau dengan kehadiran formasi Nibung. Formasi ini merupakan pembatas antara hutan mangrove dan hutan lainnya di belakang mangrove, baik hutan rawa maupun hutan gambut. Kelebatan formasi ini berkisar antara 100-500 meter. Fauna yang ditemukan di habitat ini pada umumnya fauna yang hidup di daerah mangrove maupun di hutan rawa air tawar.


2.1.3 Ekosistem Hutan Rawa Air Tawar (Zona II)
Formasi hutan rawa air tawar terletak di bagian belakang hutan rawa payau. Salah satu indikator formasi hutan ini adalah hadirnya tanaman pandan (Pandanus sp.) dan rumput yang terapung (kumpai) di perairan. Tumbuhan lain yang juga sering ditemukan adalah Comnosperma dan Alstonia. Selain itu terdapat familia Dipterocarpaceae dari Genera Shorea, Dipterocarpus, Marsawa, dan Cotilelobium.
Pada habitat ini biasa ditemukan fauna yang tergolong reptilia, yaitu buaya senjolong (Tomastoma schlegelii), dan kelompok mamalia antara lain : gajah (Elephas maximus), tapir (Tapirus indicus), badak (Dicerorhinus sumatrensis), beruang (Herartos malayensis), kancil (Tragulus javanicus), babi (Sus barbatus), dan lain-lain.


2.1.4 Ekosistem Hutan Rawa Gambut (Zona III)
Di daerah delta yang biasanya banyak mendapat pengaruh air asin dan payau, beberapa jenis tumbuhan dominan adalah jenis terentang abang (Camnosperma macrophylla). Hutan pelawan beriang (Tristania abovata) dan Ploiarium alternifolium ditemukan pada lapisan gambut yang tebal, sedangkan pada lapisan gambut yang tipis ditemukan tegakan nibung (Oncosperma filamentosa). Di dekat sungai-sungai besar, pada tempat tempat yang kurang tergenang ditumbuhi oleh jenis perepat (Combretocarpus motleyi) yang bercampur dengan Camnosperma macrophylla dan meranti paya (Shorea spp.). 

Hutan rawa gambut yang tidak dipengaruhi oleh air asin memiliki jenis tumbuhan yang lebih kaya. Hutan ini merupakan formasi transisi dan hutan gambut ke hutan rawa (mixed peat swamp forest). Di dalam formasi ini terdapat lapisan bergambut dengan ketebalan sekitar 20 cm. Komposisi floristik pada formasi ini mirip dengan komposisi di hutan rawa air tawar. Komposisi tumbuhannya terdiri dan tiga zona yang secara horizontal adalah berturut-turut : zona pertama didominasi oleh jenis durian payau (Durio carrinatus), meranti (Shorea sp.), merawan bunga (Hopea mangerawan), simang (Diospyros sp.), dan jenis-jenis yang termasuk ke dalam familii Anacardiaceae. Zona kedua terdiri atas tumbuhan Sindai (Knema spp.), Blumeodendron sp., Prunus sp., dan beberapa jenis dan familia Poligalaceae serta Euphorbiacece. Di bagian zona terutama didominasi oleh tipe semak dan rumputan. Ketebalan gambut di daerah ini mencapai 2 sampai 3 meter dengan dominasi jenis palem yang merupakan indikator bahwa formasi di daerah ini merupakan formasi transisi antara tipe rawa dan gambut (hutan campuran rawa dan gambut atau mixed peat swamp forest).
 


 
Kelima faktor mutu lahan yang diindikasikan pada Tabel 2-1 tersebut penting diperhatikan dalam penentuan kesesuaian lahan untuk kegiatan pertanian. Adapun faktor No. 1,4 , dan 5 merupakan hal yang patut dipertimbangkan dalam menentukan lokasi proyek pembangunan non pertanian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar