Kamis, 30 Desember 2010

PANTAI BARAT SUMATERA UTARA TERUMBU KARANG HANCUR




Ekosistem laut Terumbu Karang yang Makin Menghilang
18 Nopember 2006


Perairan Sibolga bukan hanya memiliki gugusan pulau kecil yang tersebar. Perairan ini juga kaya keanekaragaman hayati dan terumbu karang. Di antaranya bahkan endemik. Demikian halnya gugusan pulau-pulau Batu di Barat Daya Pulau Nias. 

Terumbu karang merupakan habitat ikan-ikan karang maupun ikan permukaan. Terumbu karang di perairan Sibolga dan perairan pulau-pulau Batu merupakan rangkaian di sepanjang Pantai Barat Pulau Sumatera, dari Simeulue (Aceh) hinggga ke Enggano (Bengkulu).
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, maraknya pengeboman ikan dan pembiusan di sekitar perairan Sibolga dan Nias Selatan telah menyebabkan gugusan terumbu karang rusak parah. Sumatera Utara memiliki total 140.000 hektar gugusan terumbu karang di wilayah Pantai Timur dan Pantai Barat. 

Hampir semua gugusan terumbu karang itu di Pantai Barat, di dalamnya termasuk yang ada di perairan Sibolga dan Nias Selatan. Di dua perairan inilah tercatat kerusakan terumbu karang yang terbesar volumenya. 

Pembiusan ikan biasanya dilakukan para pencari ikan hias. Zat yang digunakan menyebabkan pertumbuhan karang terhambat. Selain pengeboman dan pembiusan, terumbu karang di perairan tersebut rusak karena sering diambil untuk dijual sebagai bahan bangunan.
"Total kerusakan terumbu karang di perairan Sumatera Utara mencapai 35 persen luas terumbu karang yang ada. Jadi, hampir 50.000 hektar terumbu karang di perairan Sumatera Utara, terutama di Pantai Barat telah hancur dan membutuhkan konservasi berkelanjutan," ujar Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sumut Yoseph Siswanto. 

Data dari Yayasan Pekat yang pernah mengadakan penelitian tentang tingkat kerusakan terumbu karang di perairan Pantai Barat Sumut menunjukkan, terumbu karang yang utuh tinggal 40 persen saja. "Luas kerusakan akibat pengeboman ikan di Nias Selatan jauh lebih hebat dibandingkan dengan dampak tsunami dan gempa bumi," ujar Ketua Yayasan Pekat Efrizal Adil. 

Di wilayah ini hanya perairan yang mudah diawasi dan kerap dilalui patroli bersama Dinas Perikanan dan Kelautan dan Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Sibolga saja yang masih relatif bagus terumbu karangnya. Dengan mengebom, nelayan dengan mudah mendapat ikan dalam jumlah yang luar biasa. Apalagi, modal membuat bom ikan relatif murah. Belum lagi keterbatasan aparat TNI Angkatan Laut melakukan patroli mengawasi seluruh aktivitas penangkapan ikan di perairan ini. 

Bahan peledak yang biasa dipakai adalah campuran chlorium nitrat dan belerang yang dimasukkan dalam botol minuman lalu diberi sumbu. 

Bahan peledak berupa chlorium nitrat, menurut mantan Komandan Pangkalan AL (Lanal) Sibolga Letnan Kolonel Laut (P) Jaka Sentosa, didatangkan lewat darat dari Lampung. Setelah sampai di Sibolga, bahan peledak tersebut biasanya disimpan para pelaku di tempat-tempat tersembunyi di sekitar Pulau Mursala dan gugusan pulau yang berada di dekatnya. Setiap melakukan pengeboman, biasanya para pelaku berlayar menggunakan kapal nelayan biasa tanpa membawa bom. Mereka kemudian mengambil bahan peledak di pulau-pulau tersebut. 

Sekali meledakkan bom ikan, nelayan bisa memperoleh ratusan kilo ikan dengan mudah karena daya ledak yang luar biasa. Satu botol peledak bisa merusak terumbu karang hingga radius 25 meter persegi. 

"Kerusakan yang timbulkan luar biasa. Padahal, karang memerlukan waktu hingga 10 tahun untuk bisa tumbuh hanya satu sentimeter," ujar Jaka. 

Berdasarkan pengamatan Kompas di sekitar perairan Pulau Mursala yang berjarak 12 mil laut dari Pantai Sibolga, banyak sisa-sisa kerusakan terumbu karang bekas pengeboman. Terumbu karang di perairan ini sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan.
Menurut Yoseph, program coral reef mapping (cormap) atau pemetaan terumbu karang dari Departemen Perikanan dan Kelautan memang membantu program konservasi terumbu karang di Pantai Barat Sumut. 

Untuk Sumut, dana cormap yang dikucurkan pemerintah mencapai Rp 1,95 miliar. Salah satunya digunakan untuk pembuatan terumbu karang. "NAmun, ini pun harus berkelanjutan paling tidak sampai lima tahun ke depan. Itu pun baru terlihat hasilnya sepuluh tahun kemudian," ujar Yoseph. 

Mengandalkan tindakan represif untuk meminimalkan aktivitas pengeboman ikan juga tidak bisa terlalu diharapkan. Keterbasan sumber daya, baik dari Dinas Perikanan dan Kelautan maupun dari TNI Angkatan Laut, hanya bisa meminimalkan aktivitas pengeboman ikan.
Menurut Jaka, operasi rutin yang digelar TNI AL memang cukup efektif untuk memberantas pengeboman ikan. Namun, keterbatasan sarana patroli yang dimiliki Lanal Sibolga diakuinya menjadi kendala. Hingga saat ini Lanal Sibolga hanya memiliki tiga kapal patroli, yakni satu Kapal Angkatan Laut (KAL) berukuran panjang 28 meter, satu kapal patroli keamanan laut (patkamla) ukuran 12 meter, dan satu speed boat ukuran delapan meter. 

"Padahal panjang pantai di Pantai Barat Sumut ini saja mencapai 115 mil laut. Ini belum termasuk pantai-pantai di perairan Pulau Nias dan pulau-pulau lainnya di Pantai Barat," kata Jaka. 

Selain itu, para pelaku pengeboman ikan menurut Jaka juga sangat cerdik untuk menghindari penangkapan. Mereka biasanya melakukan pengeboman di perairan lepas yang bisa melihat kedatangan kapal patroli. "Kami enggak bisa menangkap basah pengebom ikan kalau menggunakan kapal patroli. Biasanya kami menyamar menjadi nelayan untuk bisa menangkap basah pelaku pengeboman," kata Jaka. 

Dihukum ringan
 
Jaka menyayangkan hukuman bagi para pelaku pengeboman ikan yang terlalu ringan. Tujuh orang tersangka yang perkaranya sudah diputus di Pengadilan Negeri Sibolga hanya dihukum satu tahun dua bulan serta denda Rp 2 juta. 

"Padahal, ancaman hukumannya penjara hingga enam tahun dan denda sampai Rp 2 miliar," katanya. Padahal, akibat langsung dari pengeboman ikan ini jelas, yaitu kerusakan terumbu karang yang pada gilirannya semakin membuat nelayan kesulitan memperoleh ikan. Kondisi inilah yang tidak pernah disadari nelayan, bahwa hal itu bisa berakibat jelek dalam jangka panjang. 

Rizal, salah seorang nelayan lokal di Sibolga, menuturkan, hasil tangkapan ikannya jauh merosot dibandingkan dengan 10 tahun lalu. Jika dulu dengan menggunakan perahu kecil dan alat pancing sederhana saja dia bisa memperoleh puluhan kilo ikan dalam sehari, "Sekarang yang bisa mendapat banyak tangkapan cuma nelayan dengan perahu besar. Itu pun bergantung pada musimnya. Kalau musim Barat seperti ini, belum tentu tangkapannya bisa sesuai dengan ongkos yang dikeluarkan," ujarnya. 

Menurut Yoseph, dalam program coremap ada dana pembinaan terhadap nelayan yang sebelumnya terbiasa menggunakan bom ikan. "Kami terus melakukan pembinaan agar mereka tidak lagi meneruskan aktivitas itu. Nelayan juga diberi bekal pengetahuan kalau kerusakan terumbu karang itu berdampak langsung pada mereka," ujarnya. 

Kerusakan lingkungan lebih besar juga mengancam kehidupan nelayan di pesisir Pantai Barat Sumut jika kerusakan terumbu karang ini tidak segera ditangani. Skala kerusakan yang luar biasa luas membuat tak banyak lagi gugusan terumbu karang tersisa di Pantai Barat Sumut. 

"Bukan hanya nelayan bakal kehilangan mata pencaharian, tetapi keseimbangan ekologis juga terganggu. Erosi di daratan dengan mudah terjadi karena kerusakan terumbu karang ini. Kalau tidak ada terumbu karang, tidak ada lagi penahan alami untuk gelombang," kata Efrizal.
Sumber : drz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar