Kamis, 30 Desember 2010

PUNAHNYA SATWA LIAR YANG DILINDUNGI

Sebuah Pengalaman dan Pelajaran di Lapangan
PUNAHNYA SATWA LIAR YANG DILINDUNG[1]

Oleh : Efrizal Adil Lubis[2]

Pendahuluan

Masih marak terus perdagangan satwa liar ditingkat nasional dan internasional terbukti dengan diperolehnya informasi dilapangan dan pemberitaan media cetak tentang perdagangan satwa liar yang dilindungi, baru-baru ini tanggal 30 september 2006, petugas gabungan Polisi Kota Besar Medan Sekitarnya (Poltabes MS) dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sumatera Utara mendapatkan ratusan kulit hewan trenggiling yang akan di kirim ke luar negeri. Seiring itu pula, masih ditemukan pengiriman sirip ikan hiu secara sembunyi-sumbunyi melalui pantai timur sumatera. Diperoleh keterangan harga sirip hiu kering berkisar Rp. 1-3 juta rupiah perkilogram-nya. Dan pengiriman ikan-ikan hias juga terus berlanjut seperti ikan jenis Napoleon, Arwana dan anakan ikan hiu ke Malaysia dan Singapore melalui cargo udara dan laut. Hasil pemantauan dilapangan, diketahui juga bahwa para pedagang satwa liar tersebut bukan hanya mengirim satwa liar keluar negeri tetapi juga menerima kiriman satwa liar (dilindungi CITES) dari luar negeri seperti Kura-kura dari India, Ikan hias, dan lainnya.

Umumnya pengekspor dan pengimpor sangat mahir dan berpengalaman dalam hal ini, pantauan dilapangan bahwa para kolektor/pedagang tersebut memiliki badan usaha yang legal dan memiliki jaringan bisnis dengan pihak-pihak terkait yang sangat ketat dan tertutup rapi. Semua persyaratan administrasi untuk eksport dan import mereka penuhi dengan baik.

Kelemahan yang sangat jelas adalah lemahnya pengawasan dan penindakan dari pihak-pihak terkait, masih dapat dilihat dilapangan bahwa petugas kerap memberi tanda cap atau pengesahan dokumen eksport atau import tanpa melakukan pengecekan langsung ke komoditi yang akan dikirim, seakan-akan semua sudah dilakukan pemeriksaan dan pengecakan.

PHKA telah mengeluarkan kebijakan tentang tata niaga penangkaran, perburuan dan perdagangan tanaman dan satwa liar. Izin usaha ini dapat diberikan kepada badan usaha, lembaga konservasi, koperasi, ataupun perorangan. Izin usaha penangkaran diterbitkan oleh Direktorat Jenderal perlindungan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA), Departemen Kehutanan.

Untuk memperoleh izin usaha penangkaran permohonan ditujukan kepada Dirjen PHKA dengan tembusan kepada instansi kehutanan di daerah (Dinas Kehutanan dan Balai KSDA), yang dilengkapi dengan : Berita acara pemeriksaan persiapan teknis tempat penangkaran dari Balai/Unit KSDA, rekomendasi dari Kanwil Dept. Kehutanan, proposal usaha penangkaran, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Surat Izin Tempat Usaha (SITU)/HO, tanda daftar perusahaan (TOP), NPWP, Akte Notaris Pendirian Usaha, Biodata tenaga ahli yang diperkerjakan.
Usaha penangkaran yang telah memiliki izin usaha, diwajibkan menyampaikan laporan berkala tentang perkembangan usaha penangkarannya. Laporan berkala terdiri atas laporan bulanan, laporan triwulan dan laporan tahunan.

Namun sebaik apapun sebuah peraturan belum bisa menjamin terlaksananya sebuah proses pengawasan yang baik, dilapangan masih diketemukan beberapa tempat-tempat usaha yang tidak sama sekali memiliki izin usaha, bahkan ada yang mengatakan ²untuk apa repat-repot urus izin usaha, toh petugas datang setiap minggu ambil uang pada kami!² hal ini dapat dipastikan masih berlangsung di pasar-pasar satwa di kota Medan dan sekitarnya.

Keinginan untuk mendapat untung yang sebesar-besarnya seperti tidak terbendung lagi bagi sejumlah pedagang satwa di Sumatera Utara dan Indonesia umumnya. Masih banyak kami peroleh iklan-iklan pedagang di internet mencari ofsetan satwa liar yang dilindungi.

Permintaan lokal tentang satwa liar yang dilindungi, baik dalam bentuk ofsetan, tulang/kerangka, bagian tubuh tertentu sangat tinggi, dan pasar khusus ini juga menjanjikan harga yang istimewa bagi para sekelompok pedagang. Bagi sebagian komoditas masyarakat di Sumatera Utara ada yang secara turun temurun (budaya) untuk mengkonsumsi bagian dari tubuh satwa liar untuk pengobatan, atau meningkatkan kualitas tubuh sipenggunanya. Bahkan sebagian masyarakat juga masih mempercayai bahwa bagian-bagian khusus tubuh satwa liar seperti harimau, gajah, dan lainnya memberikan khasiat magic bagi pemakainya.


Bagaimana Dengan Masyarakat?

Sebagian dari masyarakat belum memahami apa, mengapa dan bagaimana konservasi Orangutan dan Satwa liar yang dilindungi di Sumatera Utara secara baik dan benar, khususnya dalam hal konservasi kawasan ekosistem dan sekitarnya. Tutupan hijau semakin hari semakin menipis, dan bencana bagi kehidupan manusia dan satwa orangutan khususnya. Mulai dari pesisir, dataran rendah hingga dataran tinggi bukan lagi tempat aman dan nyaman bagi orangutan untuk hidup, keterbatasan ruang untuk berkembang dan mencari makan menyebabkan populasi orangutan menurun, ditambah lagi dengan kelangkaan dan spesifiknya satwa orangutan, harimau, gajah, beruang, tapir, dan lainnya ini sehingga memberikan nilai ekonomi yang menggiurkan untuk diperoleh, dan diperjual belikan oleh sekelompok manusia.

Aktivitas dari komunitas perdagangan satwa liar ini sangatlah unik dan tertutup sehingga sulit untuk diberantas dan ditangkap. Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah terjadinya transaksi dagang satwa liar dan orangutan, namun usaha itu belum mampu memberikan dampak yang positif bagi perkembangan populasi satwa liar dan orangutan yang semakin langka tersebut.

Masyarakat pinggiran hutan, lokasi potensial keberadaan satwa liar dan orangutan merupakan pelaku pemburu. Sedangkan pedagang/pengusaha dari kota, umumnya sebagai pemodal. Umumnya pemburuan dilakukan apabila ada pesanan terlebih dahulu. Baik itu pengusaha/pedagang ataupun masyarakat sekitar hutan. Permintaan biasanya datang dari para penggemar/hobies, rumah makan/restaurant, kolektor, dan lainnya. Pada dasarnya masyarakat termotivasi untuk melakukan pemburuan disebabkan tawaran rupiah yang besar.

Pola hidup yang semakin konsumtif dan meterialistis di sekitar masyarakat saat ini merupakan salah satu kunci dilakukannya pemburuan illegal. Tuntutan ingin memiliki pesawat televisi yang bagus, pakaian dan memiliki sepeda motor membuat masyarakat melakukan pemburuan.

Modal dasar untuk melakukan pemburuan tradisional adalah bekal diperjalanan (beras, lauk pauk, minyak tanah, dan uang saku dirumah selama ditinggal pergi). Semua ini akan ditanggung oleh pedagang/pengusaha yang memesan kepada pemburu. Biasanya pemburu terdiri dari 3-5 orang. Dan untuk melakukan pemburuan menghabiskan waktu 5-7 hari di hutan, mereka tidak berani berlama-lama karena hal ini memungkinkan akan tertangkap oleh petugas.

Apabila buruan telah berhasil diperoleh, maka hasil buruan akan diserahkan kepada pedagang yang memesan. Hasil buruan yang diserahkan ada dua type, pertama sipedagang menunggu di pinggiran hutan atau pemburu akan membawa hasil buruan ke kota asal pedagang yang memesan.

Perdagangan satwa liar, umumnya sudah menjadi rahasia bersama masyarakat disekitar lokasi hutan, mulai dari petugas, aparat, supir angkutan, dan sebagainya memahami dan saling keterkaitan. Contoh, hasil buruan akan dibawa melalui jasa angkutan penumpang umum, bersamaan penumpang dan barang-barang lainnya ke kota tujuan. Apabila hasil buruan hidup dan berbadan besar, umumnya mempergunakan jasa angkutan barang (pickup atau truk) yang dikombinasi dengan produk-produk pertanian atau lainnya, sebagaimana diupayakan agar tidak terlihat dan terpantau. Apabila diperjalanan ada pos pengawasan, biasanya tidak sebegitu ketat pemeriksaan, cukup dengan menyodorkan rupiah kepada petugas maka perjalanan bisa berlangsung terus.

Analisis Permasalahan dan Alternatif Pemecahan Masalah

Analisis permasalahan dan alternatif pemecahan dilakukan dengan mengambil kesimpulan dari persepsi, pola dan jaringan perdagangan satwa liar dan orangutan dilindungi

Masih lemahnya lembaga pengawasan ditingkat kabupaten dan kota terhadap perdagangan satwa liar. Dan begitu juga halnya di tingkat nasional (pelabuhan udara dan laut) sebagai jalur keluar masuk ke luar negeri. Umumnya perlakukan pengawasan yang ketat dilakukan apabila ada laporan atau bocoran dari masyarakat ke petugas, atau ada program razia gabungan yang telah terprogram anggarannya di APBD dan APBN maka pengawasanpun dilakukan seketat-ketatnya. Dan dijumpai ketidak kompak dan sinkronnya antara beberapa lembaga dan instansi terkait pengawasan perdagangan satwa liar dilapangan. Saling lempar masalah dan mengelak akan tanggungjawab. Contoh, pihak karantina telah menangkap beberapa jenis satwa, kemudian dititipkan kepada pihak terkait yang berkompoten sesuai Undang-undang Negara. Kemudian bagi pihak yang berkompoten dipertanyakan kembali oleh pihak karatina dimana satwa yang diserahkan, namun jawabnya panjang dan tidak menunjukkan kepastian dan tanggungjawab penuh.

Masih dijumpai dilapangan ketidak mengertian dan ketidaktahuan petugas akan jenis-jenis satwa yang dilindungi atau tidak dilindungi. Dan minimalnya perlengkapan pendekteksian yang moderat, petugas hanya mengandalkan informasi masyarakat, visual dan naluri perorangan akan pendekteksian keberadaan satwa liar. Form-form yang disyaratkan untuk di isi oleh pengimport atau pengeksport hanya di isi syarat saja tanpa ada pemeriksaan yang akurat kelapangan. Kesannya, seakan-akan semua sudah beres dan tidak perlu ada recheck lapangan/ulang petugas. Walau ada kecurigaan terhadap dokumen maupun komoditi yang akan dikirim tidak diteruskan pemeriksaan oleh petugas disebabkan hampir seluruh importir maupun eksportir memakai jasa ekspedisi/cargo yang petugasnya kerap berada disana dan siap melayani petugas dalam upaya meluruskan dan mempercepat proses pengiriman atau pengeluaran barang-barang dari pelabuhan udara/laut. Perlu dibentuk sebuah pengawasan satu atap, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan lempar masalah. Bagi negara akan lebih menguntungkan dalam mengontrol dan mengawasi dan bagi pengusaha lebih gampang murah dan cepat.

Dilapangan dilakukan wawancara informal dengan praktik hukum di Kabupaten, dan diperoleh informasi bahwa kasus perdagangan satwa belum dianggap sebuah kasus penting dan membahayakan bagi kelangsungan dan kehidupan di ditingkat kabupaten. Dalam arti tidak seksi dan bukan menghasilkan rupiah yang besar. Dan cukup ditanggapi dan diaminkan saja. Walau undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah dan lainnya sudah banyak yang dikeluarkan berkaitan dengan perlindungan dan perdagangan satwa liar, itu belum menjadi perhatian bagi penegak hukum, praktisi hukum dan masyarakat.

Di tiga lokasi penelitian (Tapsel, Taput, Kota Medan), tidak ditemukan peraturan daerah yang memihak kepada perlindungan dan pengawasan atau tentang perdagangan satwa liar. Dan hanya di dapat pada peraturan pemerintah, undang-undang, dan keputusan menteri.

Penutup
²Jangan ragu untuk ikut serta dalam memerangi Perdagangan satwa Liar Orangutan“, membangun koalisi adalah langkah pertama yang harus dilakukan. Dengan Syarat tanamkan dan perteguh nilai-nilai HARKAT dan MARTABAT untuk sebuah KEPERCAYAAN maka untuk membangun kepercayaan antara masyarakat sipil, swasta, pemerintah, legislatif, dan politisi jujur dibutuhkan kerjasama dan kesungguhan.



[1] Disampaikan dalam Acara Pelatihan Unit Perlindungan Orangutan (OPU) dalam Perlindungan Orangutan dan Habitatnya di Daerah ALiran Sungai (DAS) Batang Toru, Wisma Bumi Asih Jaya, Tapteng, 21-24 November 2006
[2] Executive Chairman, Pekat Indonesia Foundation (Yayasan Pekat Indonesia)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar