Kamis, 28 April 2011

SPANDUK KEDAI MEMPERKANALKAN SLOGAN

Spanduk ini disebarkan khusus untuk daerah Pesisir Laut Pantai Barat Mandailing Natal

Spanduk ini disebarkan di kawasan Pegunungan Sorik Merapi, Muara Soma, Batang Natal, Mandailing Natal

Ini spanduk selamat datang di RUMAH BELAJAR NELAYAN (RBN) Desa Panggautan, Kecamatan Natal, 

papan penunjuk arah ke RBN

Minggu, 27 Maret 2011

NONTON BARENG IKAN LAUT DI RUMAH BELAJAR NELAYAN

Nonton bareng bersama warga dan anak anak di sekitar Rumah Belajar Nelayan (RBN) merupakan sebuah sarana komunikasi dan informasi yang menghibur. Kita mampu mengkomunikasikan kepada warga dan anak-anak akan penting dan besar manfaat dari hutan bakau dan terumbu karang disekitar kampung mereka, kalau hutan dan terumbu karang rusak, maka menjadi kerugian besar bagi kehidupan masyarakat di kampung.

Dialog antara fasilitator dan penonton yang merupakan warga dan anak-anak disekitar Kawasan Pesisir Pantai Barat Panggautan, Kecamatan Natal, Kabupaten Mandailing Natal ini terjadi secara spontan, bahkan yang tadinya ada beberapa warga yang terlihat sungkan atau malu untuk mendekati Rumah Belajar Nelayan yang baru di dirikan terlihat hadir dan ikutan nonton disana.

Tanya jawab antara penonton dan fasilitator terlihat hidup, dan kadang-kadang pertanyaan sangat begitu mendasar dan benar-benar terkesan menunjukkan keluguan. Ini menandakan bagi kami bahwa benar warga masih minim pengetahuan mereka terhadap sumberdaya alam disekitar mereka. Mereka hanya tahu hutan dan terumbu karang itu ada di tempatnya karena memang sudah begitu adanya.

Tidak semua pertanyaan yang seperti itu, ada juga pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab, sebab pertanyaan tersebut begitu teknis dan sangat rinci. Tetapi, namanya dialog, maka sipenanya umumnya akan menjawab sendiri pertanyaan yang dilontarkan, inilah peran fasilitator dalam memandu nonton bareng ini, fasililator cukup menjadi mediator dengan terlebih dahulu memaparkan pengetahuan dasar saja.

Rumah Belajar Nelayan malam hari ini begitu riuah dan ramai dikunjungi, beberapa tokoh masyarakat dan aparat desa secara spontan meminta kepada fasilitator untuk secara kontinyu memutar film dan nonton bareng seperti ini. Tutur kata salah seorang tokoh masyarakat disana, mengatakan "daripada nonton sinetron di TV, atau berita politik yang memuakkan itu!, lebih baik kita buat nonton bareng seperti ini, kita bisa kumpul semua, dan dapat pengetahuan pula!..."








Minggu, 13 Maret 2011

PENDIDIKAN KRITIS YANG MEMBEBASKAN: LSM ADA DI MANA?


Judul di atas adalah hasil renungan pertanyaan setelah mengikuti diskusi rutin setiap Jumat sore di kantor FIELD Indonesia, tentang sejarah perkembangan LSM di Indonesia dengan narasumber dan praktisi LSM senior Helmi Ali. Sebagai pembahas dalam diskusi tersebut adalah Simon HT. Diskusi dengan narasumber tertentu semacam ini rutin diselenggarakan untuk staf FIELD Indonesia, yang kadang juga diikuti oleh beberapa rekan aktivis muda dari lembaga lain.

Dijelaskan oleh Helmi Ali bahwa, LSM di Indonesia yang awalnya dinamakan Ornop atau ornanisasi non pemerintah, pada tahun 70-an berkembang seiring dengan masuknya proyek-proyek pembangunan atau modernisasi di Indonesia. Pada zaman itu Ornop (LSM) berjalan seiring dengan organisasi-organisasi pemerintah dalam menjalankan idenya. Saat itu, program-program pembangunan dilaksanakan bersama-sama antara pemerintah dan ornop-ornop yang ada. Bila pemerintah membangun sarana fisik(infrastruktur), LSM membangun mental dan motivasi masyarakat.

Kalo kita pernah mendengar istilah Achievement, Motivation, dan Training (AMT), itulah lingkup pekerjaan LSM kala itu. Negara-negara dunia ketiga, istilah saat itu, tertinggal dalam proses pembangunan adalah karena persoalan mental dan motivasi. Diilustrasikan oleh Helmi Ali bahwa, zaman itu muncul juga selain istilah ornop yaitu organisasi sosial. Sekilas keduanya sama, tetapi nyatanya berbeda. Kalau ornop melakukan pemberdayaan masyarakat di bidang-bidang sosial dan ekonomi, sehingga pada saat itu muncullah LSM-LSM besar seperti LP3ES, Bina Swadaya, Bina Desa, dan lain-lain yang melakukan hal tersebut, sementara organisasi sosial lebih ditujukan bagi lembaga-lembaga seperti panti asuhan dan sejenisnya.

Di era 80-an, muncul kritik tajam terhadap pembangunan yang berjalan saat itu, yang mana pemerintah saat itu menganggap sistem yang dikembangkannya sudah mapan dari segi sosial dan politik. Sementara para pengritik menganggap spirit pembangunan saat itu dianggap sebagai kepanjangtanganan dari kolonialisme. Salah satu kritik datang dari tokoh bernama Paolo Fraire yang menyangkut persoalan sistem pembangunan, yang selanjutnya mengilhami munculnya LSM-LSM yang kritis terhadap sistem yang sudah mapan. Oleh karenanya tidak mengherankan pada saat itu muncul demonstrasi-demonstrasi menentang berbagai kebijakan pembangunan dari pemerintah yang diorganisir oleh LSM-LSM kritis.

Pada tahun 1990-an, muncul LSM-LSM yang pro modernisasi atau lazim disebut LSM developmentalis. LSM-LSM ini bergerak dalam pembangunan ekonomi seperti mengembangkan kelompok-kelompok kredit (ekonomi) dan ketrampilan seperti jahit-menjahit, dan sebagainya di pedesaan. Di sisi lain, berkembang pula LSM-LSM yang ‘liberal’, artinya tidak terpengaruh oleh sistem politik yang berkembang saat itu seperti lembaga-lembaga bantuan hukum. Muncul juga LSM-LSM ‘radikal’ yang melakukan gerakan pendidikan kritis dan pembebasan, seperti LSM buruh yang menggunakan teater rakyat sebagai pendekatannya. Salah satu tokoh dalam teater rakyat ini adalah Simon HT. Juga muncul LSM-LSM perempuan.

Ada satu hal yang unik pada periode zaman ini, menurut Helmi Ali, yaitu munculnya pendidikan kritis dan pembebasan bagi petani yang diselenggarakan oleh Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu (PHT)-FAO pada tahun 1990. Tidak hanya petani, aparat pemerintah pun seperti petugas Pengamat Hama dan Penyakit (PHP) pun menjadi sasaran pendidikan kritis ini. Walaupun ini programnya pemerintah Republik Indonesia, namun rancangan yang dikembangkan oleh tim bantuan teknis saat itu –- saat ini menjadi tim senior dari LSM FIELD Indonesia –- namun hal itu adalah bentuk-bentuk spirit LSM yang melakukan pendidikan kritis dan pembebasan itu. Dan melalui metode sekolah lapangan, gerakan ini juga diadopsi dan dikembangkan oleh LSM-LSM sejenis yang bergerak dalam pendidikan petani.

Pada akhir tahun 1990-an Presiden Suharto jatuh dan era reformasi dan demokrasi berkembang di Indonesia. Kalau mau lebih jeli lagi, terkait berkembangnya demokrasi ini, program PHT sebenarnya sudah lebih dahulu meletakkan sendi-sendi demokrasi di masyarakat, khususnya masyarakat tani di pedesaan melalui sekolah lapangan. Pernah dituturkan oleh Mochtar Lubis, tokoh pers dan wartawan senior Indonesia yang pada awal tahun 1990 sempat berkunjung dan mengamati proses belajar di sekolah lapangan PHT. Dia pun kemudian mengatakan sesuatu yang mngejutkan bahwa, dia sedang melihat berkembangnya sebuah demokrasi justru dari proyek tentang hama.


BAGAIMANA LSM PADA ERA MENDATANG?

Salah satu visi di era globalisasi ini adalah tidak adanya lagi batas-batas negara bukan dalam arti geografi. Kebijakan politik dan ekonomi suatu negara dapat ditentukan atau diatur oleh negara lain yang lebih kuat. Oleh karenanya, beberapa negara maju dan kuat (developed country) mencoba menerapkan paradigma kerjasama baru yang lebih elok kepada negara-negara sedang berkembang (developing country) dan belum maju (under-developed country). Salah satu bentuk kerjasama ini adalah berupa beasiswa-beasiswa pendidikan bagi pelajar maupun tentara dan bantuan-bantuan pembangunan yang ’agak’ tidak mengikat. Tentara yang sebelumnya hanya dididik untuk perang, dengan adanya beasiswa tersebut mereka juga dididik dalam masalah sosial-politik.

Di Indonesia, pada jaman orde baru, negara memiliki kewenangan yang sangat luas mengatur berbagai sektor. Sementara era globalisasi yang mulai kentara pada era Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher dan Preseiden AS Ronald Reagen, justru dirancang untuk mengurangi keterlibatan negara dengan sistem investasi dan deregulasi.

Funding atau lembaga donor besar dari negara maju pun mulai berubah. Bila dulu lembaga ini semata-mata berperan sebagai pemberi atau penyandang dana saja, kemudian berubah menjadi implementor program-program. Beberapa proyek dengan bantuan dana dari USAID atau Oxfam misalnya, dilaksanakan sendiri oleh mereka.

Globalisasi juga menyebabkan arus komunikasi dan informasi menjadi amat deras bergulung hingga ke wilayah-wilayah terpencil dan pribadi. Nyaris tidak ada lagi wilayah yang tertutup. Sementara peran negara yang dikurangi menjadi tidak lagi mampu mengimbangi dan mengatur arus komunikasi dan informasi yang bergerak ke segala penjuru. Negara kemudian lebih sibuk melayani pihak-pihak yang memberikan keuntungan sesaat daripada melindungi masyarakat. Tidak ada cara lagi dalam situasi ini untuk mengontrol negara kecuali dilakukan oleh masyarakat sendiri. Untuk itu yang diperlukan adalah masyarakat yang kuat, kritis, dan terorganisir. Walaupun negara memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun masih jauh dari ideal.

LSM pun kembali mendapatkan tantangan untuk kembali melakukan pendidikan kritis bagi masyarakat. Namun saat ini tidak cukup hanya itu. Diperlukan langkah-langkah dan kemauan dari LSM untuk membangun organisasi masyarakat yang kuat. Tidaklah efektif dan strategis lagi LSM menjadi ujung tombak yang mengatasnamakan atau mewakili rakyat untuk melakukan gerakan perubahan. Masyarakat lah yang di depan untuk mengontrol negara. Peran LSM ’hanyalah’ menjadi penyedia informasi, metodologi, dan fasilitator dalam menganalisa masalah dan pengambilan keputusan oleh masyarakat.


Tripa11032011Jkt
http://www.facebook.com/triyanto.pa

Narasumber: Helmi Ali
http://www.facebook.com/profile.php?id=1090130998

Sabtu, 12 Maret 2011

“UANG KAMI SUDAH DIPINJAMKAN...”



Kelompok Suka Maju dan Mawar Harapan

Pada pertemuan bulanan pertama yang diselenggarakan Juli 2008 ini, kegiatan anggota masih sebatas membayar iuran saja. Oleh fasilitator dipersiapkan kertas yang harus diisi anggota kelompok tentang nama, tempat/tanggal lahir, alamat, jumlah simpanan pokok, simpanan wajib, dan simpanan sukarela. Cara ini digunakan untuk memudahkan pengurus dalam mengisi data di buku anggota dan menghindari coretan di buku. Jadi pengurus hanya bertugas memindahkan data yang telah ditulis anggota di kertas tadi. Ini akan dilakukan setiap bulannya. Peran fasilitator pada pertemuan kelompok ini adalah mendorong dan memberikan teknik-teknik sederhana dalam melakukan pekerjaan administratif.

Selanjutnya, fasilitator menanyakan kepada ibu-ibu yang hadir apakah ada yang ingin meminjam. Ada satu orang yang mengajukan diri tetapi anggota yang lain tidak setuju. Alasannya selain karena uang yang terkumpul belum cukup banyak, juga khawatir peminjam tidak dapat atau tidak mau membayar cicilan. Dengan kasus tersebut, fasilitator mencoba mengingatkan kembali tentang prinsip usaha bersama syariah ini, yaitu keterbukaan, kepercayaan, dan kebersamaan. Tetapi kelompok tetap tidak setuju. Kedua kelompok ini memutuskan untuk menyimpan uang yang terkumpul di Bank BRI.

Fasilitator kemudian menyarankan kalau uang disimpan di bank agar dibuatkan tabungan atas nama kelompok, bukan pribadi. Bila yang menandatangani buku tabungan kelompok adalah ketua dan bendahara, maka yang memegang buku tabungannya adalah sekretaris. Bila yang menandatangani ketua dan sekretaris, maka yang memegang buku adalah bendahara. Hal ini dilakukan untuk menghindari rasa curiga dari anggota kelompok. Semua anggota pun menyetujui hal ini. Perlu juga dibuat kesepakatan tentang ongkos untuk pergi ke Bank, apakah akan dipotongkan dari uang yang terkumpul atau ditarik iuran dari setiap anggota. Kelompok harus membicarakannya terlebih dahulu.

Pada pertemuan kedua Agustus 2008, fasilitator membuka pertemuan dengan mengadakan kegiatan tanya-jawab dan diskusi. Tanya-jawab tersebut seputar apakah ada kendala setelah dua bulan kegiatan usaha bersama ini berjalan. Salah satu peserta menyatakan bahwa uang simpanan anggota sudah dipinjamkan. “Uang kami sudah dipinjamkan, bu. Jadi bagaimana dengan cicilannya, bunganya, dan sebagainya?”

Fasiltator kemudian meresponnya bahwa berarti kegiatan ini sudah ada kemajuan karena sudah ada yang meminjam, sambil berharap mudah-mudahan uangnya dapat digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Kemudian fasilitator menjelaskan beberapa aturan tentang peminjaman yang nantinya akan disepakati bersama bagaimana baiknya. Yang dijelaskannya adalah seputar aturan-aturan dalam usaha bersama syariah ini, seperti penetapan jangka waktu angsuran, besar angsuran, besar bunga (tetap dan menurun), denda, dan aturan tambahan yang dianggap kelompok perlu untuk dilakukan.

Ada pertanyaa dari peserta bagaimana bila ada yang meminjam tapi jangka waktunya cuma 1 minggu atau kurang dari itu. Pertimbangan si peserta penanya itu adalah kadang pinjaman itu 3 hari sudah dilunasi. Kalau dicicil si peminjam takut nanti uangnya habis. Menjawab pertanyaan tadi fasilitator menyerahkannya ke kelompok masing-masing, apakah jangka waktu peminjaman tetap didasarkan seperti aturan yang sudah dibuat atau karena hanya meminjam selama 1 minggu maka dikenakan jasa pelayanan saja. Fasilitator juga mengilustrasikan bahwa misalnya seharusnya dia lunas dalam waktu 5 bulan tetapi dia sudah melunasinya dalam waktu 2 bulan, maka yang dihitung jasa pelayanan dan bunga selama 2 bulan saja. Bunga pada bulan selebihnya tidak usah dibayar lagi. Karena dia sudah melunasinya dan uangnya dapat dipinjamkan kepada anggota yang lain lagi. “Jadi saya serahkan ke ibu-ibu saja. Silahkan dirembukkan dengan kelompoknya masing-masing.”

Kelompok Suka Maju dan Mawar Harapan membuat aturan untuk peminjaman sebagai berikut: Jasa pelayanan ditetapkan 3% dari uang yang dipinjam, jasa pinjaman sebesar 2% (tetap), jangka waktu atau lama pinjaman uang sebesar 100 ribu-500 ribu rupiah selama 5 bulan, 500 ribu-1 juta rupiah selama 10 bulan, dan denda sebesar 5%. Bila peminjam tidak membayar cicilan dalam waktu 3 bulan berturut-turut maka akan dikeluarkan dari kelompok.

Di kedua kelompok usaha bersama syariah ini telah terjadi kegiatan simpan pinjam. Walaupun belum semua peminjam memanfaatkan uang tersebut untuk usaha, tapi minimal di dalam kelompok sudah mulai tumbuh 3 prinsip yang ada dalam usaha bersama syariah, yaitu keterbukaan, kepercayaan, dan kebersamaan. Dalam pertemuan ini selain agendanya mendiskusikan tentang kemajuan kegiatan kelompok usaha bersama syariahnya, juga pada kesempatan itu para ibu yang hadir berkesempatan belajar tentang cara pembuataan tempe dan pembuatan manisan buah. Ibu-ibu sangat senang menerima kegiatan baru ini.

Pertemuan ketiga dilaksanakan Bulan September 2008. Pada pertemuan ini kelompok mencoba untuk menghitung modal yang sudah terkumpul sejak Bulan Juli sampai dengan September 2008. Selain itu, peserta juga masih mengajak diskusi fasilitator tentang berbagai hal terkait manajemen keuangan, seperti bagaimana kalau ada yang belum melunasi tetapi akan meminjam lagi, tentang peserta yang tidak hadir dalam pertemuan sementara dalam pertemuan ini harus menyicil angsuran, dan beberapa hal lain terkait upaya-upaya agar anggota bisa lebih disiplin.

Dalam belajar melakukan pembukuan, anggota masih belum terbiasa dalam mencatat uang masuk dan keluar dalam kegiatan menabung dan membayar pinjaman serta bunganya. Pada seluruh Buku Anggota Kelompok dan Buku Pengurus masih ditemukan kesalahan dalam pengisian buku, seperti dalam hal mengisi kolom-kolom, anggota yang mempunyai pinjaman tapi belum tercatat, dan ada kesalahan pencatatan pada buku uang masuk. Untuk menanggulangi hal ini, fasilitator menawarkan pelatihan khusus tentang pembukuan dalam Credit Union. Pelatihan ini sebenarnya dilakukan khusus untuk pengurus. Tapi bila ada anggota yang ingin belajar juga bisa dilakukan. Dan pelatihan disepakati pada malam hari selama 4 malam berturut-turut, dari setelah isya’sampai jam 10.

Isu lain yang dibahas adalah masalah kebersihan dan kesehatan seperti kebersihan air yang dicontohkan dengan air wudhu di kamar mandi perempuan yang kotor oleh karena lumut. Padahal ibu-ibu di sini menggunakannya untuk mandi, nyuci, terlebih lagi berwudhu. Peserta menngatakan bahwa, itu sudah sering dibersihkan. Tapi memang cepat sekali kotornya. Belum seminggu nanti sudah kotor lagi. Masalahnya yang sering nyuci dan mandi di sini pun malas untuk membersihkannya. Mereka lebih suka bayar lima puluh ribu untuk orang yang mau membersihkannya.

Menanggapi ini fasilitator menyarankan agar yangg hadir dalam pertemuan ini memulainya terlebih dahulu. Dengan begitu orang lain akan melihat bahwa suatu pekerjaan bila dikerjakan bersama-sama akan lebih mudah. Salah satu peserta pun bercerita:

“Dulu kami ini tidak begini. Dulu untuk membangun jalan saja kami menjunjung batu di atas kepala kami. Itu tanpa harus disuruh. Semua kerja dengan sukarela. Tapi sekarang, hidup sudah lebih baik dari yang dulu tetapi semua lupa diri. Saat ini sudah banyak yang hidupnya senang tapi kami ini terlalu sombong. Dulu semuanya dilakukan secara gotong- royong. Kebersamaannya itu tinggi tetapi sekarang tidak.”

Pertemuan ini diperkaya juga dengan diskusi dan pembahasan masalah-masalah pertanian yang dapat dikaitkan dengan usaha bersama kelompok mereka seperti penanaman sayur-sayuran dan apotik hidup di halaman. Juga membahas tentang keberadaan tanaman kelapa sawit di desa mereka yang banyak dilakukan dan dikuasai oleh investor luar (asing) terkait dengan keuntungan dan kerugian, dampak positif dan negatifnya bagi masyarakat setempat.

Pada tanggal 31 Oktober 2008, Kelompok Suka Maju tidak jadi menanam di halaman gedung pertemuan karena tanahnya terlalu banyak batu. Jadi mereka memutuskan untuk memindahkan lahan ke kebun milik Pak Haji. Mereka telah membersihkan lahan seluas 1 rantai untuk dijadikan kebun sayur organik dan apotik hidup. Anggota kelompok juga mulai mengumpulkan bahan-bahan untuk membuat kompos seperti rumput yang dipotong dikumpulkan di satu tempat. Kelompok juga mulai mengumpulkan sampah kebun seperti sampah nilam, kulit coklat, kulit pinang, dan kulit kemiri. Selain itu anggota kelompok mengumpulkan bahan untuk membuat mokro-organisme lokal seperti air cucian beras, air kelapa, dan lain-lain. Kelompok menyelesaikan kegiatan pada pukul 16.30 dan akan melanjutkan tiga hari kemudian. Adapun jenis sayuran yang akan ditanam adalah bayam, sawi, terong, tomat, cabe, dan kacang panjang. Sedangkan kebun apotik hidup adalah jahe, kunyit, dedingin, tapak kuda, kencur, ciwawo, lengkuas, dilah jawi, cerango, dan sepulih. Sedangkan Kelompok Mawar Harapan melakukannya pada pertemuan kelima Bulan November 2008. Sedangkan pada pertemuan bulanan bulan-bulan selanjutnya, anggota dan pengurus kelompok usaha bersama syariah di Desa Durian Kawan belajar pembukuan dengan setiap anggota kelompok mengerjakan pembukuan kelompok masing-masing.


Sumber: Juli Yanti, Asisten Lapangan Kabupaten Aceh Selatan
Ditulis oleh : Triyanto Purnama Adi

WARGA DUSUN MEMBENTUK KELOMPOK USAHA BERSAMA




Dalam kesempatan pertemuan lanjutan di Dusun Tanah Munggu, ibu-ibu warga dusun ini bersepakat untuk membangun kelompok usaha bersama syariah. Pertemuan ini menitikberatkan pada pembentukan kelompok, pengurus, dan penentuan iuran bulanan. Selain itu tim fasilitator dari program ALIVE juga menjelaskan contoh-contoh tentang pembayaran iuran, pinjaman, lama waktu pembayaran pinjaman, jasa, maupun denda, dimana jumlahnya adalah hasil kesepakatan anggota kelompok. Lebih lanjut fasilitator mengatakan:

“Anggota kelompok harus memperhatikan 3 prinsip, yaitu keterbukaan, kepercayaan, dan kebersamaan. Dengan keterbukaan segala hal yang berhubungan dengan masalah, baik secara individu maupun kelompok dapat diketahui oleh semua anggota kelompok. Apalagi dalam masalah keuangan nanti setelah adanya iuran atau modal yang terkumpul. Keterbukaan, selain untuk membangun kepercayaan juga dapat mempererat tali silaturrahmi antar anggota kelompok. Kepercayaan juga sangat diperlukan dalam membangun sebuah kelompok. Bila tidak ada kepercayaan baik antar sesama anggota kelompok maupun antara anggota kelompok dengan pengurus kelompok, kelompok tidak akan bertahan lama...”

Berikut adalah sepenggal tanya-jawab dalam proses diskusi tentang prinsip yang dipakai dalam usaha bersama syariah simpan pinjam antara peserta pertemuan dengan fasilitator.

Peserta (P): Jika meminjam, sampai berapa lama kita membayar cicilan? Berapa bunganya?

Fasilitator (F): Lama pembayaran disepakati bersama oleh anggota kelompok. Contohnya pinjaman 100 -500 ribu rupiah dicicil selama 5 bulan dan pinjaman 500 ribu-1 juta rupiah dicicil selama 10 bulan. Bila modal sudah kuat, lama cicilan bisa dipercepat.

P: Apakah uang kita di simpanan sukarela juga dapat dipinjamkan kepada anggota yang ingin meminjam?

F: Tentu saja. Pada prinsipnya simpanan seluruh anggota lah yang akan dipinjamkan kepada anggota kelompok. Inilah salah satu keuntungan bentuk usaha bersama ini. Anggota kelompok yang memiliki simpanan lebih banyak otomatis akan sangat membantu anggota yang lain. Keuntungan yang lain adalah baik yang menyimpan dan yang meminjam akan memperoleh jasa. Jasa ini akan dibagi kepada seluruh anggota kelompok di akhir tahun. Semakin banyak dia menyimpan maka semakin banyak jasa yang diperolehnya. Dan orang yang meminjam pun akan memberi keuntungan kepada kelompok.

P: Bunga itu untuk siapa? Apakah hanya untuk orang yang meminjamkan uangnya untuk anggota yang lain?

F: Semua orang dalam kelompok akan memperoleh keuntungan tersebut. Orang yang menyimpan akan memperoleh keuntungan. Begitu juga dengan orang yang meminjam, dia akan memberi keuntungan untuk dirinya dan anggota kelompok lainnya dengan membayar bunga pinjaman.

P: Berapa besar iuran yang harus dibayarkan setiap bulan?

F: Kembali kepada kesepakatan kelompok. Kita bisa ambil dasar penentuan dari penghasilan anggota yang paling rendah sehingga semua anggota kelompok mampu membayar iuran.

P: Apakah denda itu harus 5%?

F: Tidak. Yang ibu lihat di depan hanya sebagai contoh. Kita akan sepakati bersama berapa persen untuk jasa adminintrasi, jasa pinjaman, denda, dan sebagainya.

Selesai diskusi, ibu-ibu dari Dusun Tanah Munggu dan Labah Rambung memutuskan untuk membentuk dua kelompok usaha bersama syariah simpan pinjam, yaitu: “Kelompok Tani Suka Maju” Dusun Tanah Munggu dengan ketua Bu Tarmiati, sekretaris Bu Ariyanti, bendahara Bu Nursam, dan panitia kredit Bu Siti Nailah. Kelompok ini menyepakati uang pangkalnya sebesar Rp. 5.000,- per anggota, simpanan pokok Rp. 20.000,-, simpanan wajib Rp. 5.000,-, simpanan sukarela dengan kelipatan Rp. 1.000,-. Pertemuan bulanan kelompok ini akan dilaksanakan setiap tanggal 28. Kelompok yang kedua adalah “Kelompok Mawar Harapan” Dusun Labah Rampung yang diketuai Bu Ratnawati, sekretaris Bu Zubaidah, bendahara Bu Inah Haji, dan panitia kredit Bu Wirdayanti. Adapun uang pangkal yang disepakati bersama sebesar Rp. 5.000,-, simpanan pokok Rp. 30.000,-, simpanan wajib Rp. 5.000,-, dan simpanan sukarela kelipatan Rp. 1.000,-. Pertemuan bulanan kelompok akan dilaksanakan setiap tanggal 17.

Beberapa hari kemudian, kaum laki-laki pun membentuk kelompok serupa. Diskusi tentang prinsip-prinsip yang dipakai dalam usaha bersama syaraiah inipun berlangsung serius. Selain topik administratif juga didiskusikan masalah-masalah pengorganisasian.

P: Bagaimana kalau ada anggota yang keluar?

F: Tidak apa-apa pak. Bila ada anggota yang keluar dari kelompok, maka dia berhak atas semua simpanannya kecuali simpanan pokok. Simpnan pokok tetap menjadi milik kelompok. Tetapi anggota yang keluar tadi tetap akan mendapatkan keuntungan dari simpanan pokoknya tadi di akhir tahun.

P: Oh, kami sudah sepakat bahwa siapapun yang akan keluar tidak akan mendapatkan uangnya kembali. Ini kami lakukan supaya anggotanya tidak main-main.

F: Seperti yang saya katakan sebelumnya, bila itu sudah menjadi kesepakatan kelompok untuk kebaikan kelompok juga, ya silahkan saja. Oh ya, dalam usaha bersama syaraiah ada namanya pertemuan bulanan. Di pertemuan inilah kita akan melakukan kegiatan menyimpan, meminjam, membayar cicilan, dan mendiskusikan aturan-aturan untuk kelompok, dan membahas kendala yang dihadapi kelompok.

P: Apakah pada bulan pertama uang sudah boleh dipinjamkan?

F: Tentu saja.

P: Tapi pengalaman kami, orang yang meminjam itu sangat sulit untuk mau membayar kembali. Ada saja alasannya.

F: Itulah fungsinya panitia kredit. Panitia kredit lah yang akan menilai apakah si peminjam berhak meminjam dalam jumlah banyak atau kecil. Panitia kredit harus mengetahui untuk kebutuhan apa uang itu dipinjam. Anggota kelompok pun harus menyadari hal ini. Jangan sampai uang yang kita pinjam terlalu banyak atau melebihi kebutuhan yang sebenarnya. Karena akan mempersulit diri kita nantinya.

Berbeda dengan ibu-ibu, pada pertemuan bapak-bapak ini masih terlihat di antara anggota kelompok belum ada rasa saling percaya. Mereka masih ragu terhadap teman-temannya di kelompok dalam hal membayar cicilan pinjaman. Di samping itu ada sebagian yang masih saja berpikir soal adanya dana bantuan. Kelompok laki-laki ini bernama “Surya Utama” . Dalam pertemuan itu dibicarakan juga oleh peserta tentang kesepakatan iuran. Kesepakatan sementara adalah uang pangkal Rp. 5.000,-, simpanan pokok Rp. 50.000,- simpanan wajib Rp. 10.000,-, dan simpanan sukarela kelipatan Rp. 1.000,-. Kepengurusan kelompok belum dibentuk.





Ditulis oleh:
Triyanto Purnama Adi
Sumber: Juli Yanti (Field Staff ALIVE Aceh Selatan)

WARGA MEMPEROLEH GAGASAN BENTUK USAHA BERSAMA

 

Dalam satu kesempatan pertemuan warga yang difasilitasi oleh program ALIVE, tim dari program ini mengajak warga yang hadir pada pertemuan awal ini untuk membahas keadaan kelompok-kelompok mereka. Dari hasil diskusi warga, mereka menyimpulkan bahwa untuk membuat suatu kelompok harus ada swadaya masyarakat atau anggota kelompok. Kelompok membutuhkan pendamping untuk belajar melakukan kegiatan, sehingga harus ada koordinasi yang baik antara anggota kelompok dan pendamping. Poin kesimpulan lain adalah adanya modal (finansial).

Dalam satu diskusi, warga sadar bahwa modal mereka adalah padi. Bantuan tunai adalah hal yang dibutuhkan. Dalam kesempatan itu, Juli, fasilitator dari program ALIVE mengajak mereka untuk membuka wawasan untuk tidak mengharapkan bantuan hanya dari pemerintah atau lembaga-lembaga dari luar saja. “Kenapa kita tidak mencoba untuk mengumpulkan modal dari anggota kelompok sendiri?”

Pada awalnya, mereka menjawab bahwa tidak bisa. Ada satu peserta pertemuan, yang biasa di panggil dengan sebutan Pak Imam Masjid mengatakan bahwa dulu pernah dibentuk koperasi. Dalam perjalanannya, tidak ada kekompakan dan rasa saling percaya lagi di antara sesama anggota kelompok. Dia mencontohkan, pernah ada yang meminjam uang sebesar 2 juta rupiah. Janjinya akan dikembalikan dalam waktu 1-2 bulan. Tetapi akhirnya si peminjam tidak membayar hutangnya. Hal seperti ini banyak terjadi sehingga modal kelompok habis. Akhirnya bubar. Dalam keadaan peserta yang dirundung rasa pesimistik itu, fasilitator pertemuan ini mencoba membangkitkan semangat dengan mengangkat peribahasa Aceh “male tangan di bawah mulia tangan di atas”, yang artinya masyarakat Aceh memiliki prinsip bahwa lebih mulia menjadi orang yang selalu memberi daripada menjadi orang yang hanya menerima saja. Entah bagaimana, peserta pertemuan mulai tergugah.

Fasilitator kemudian menjelaskan bahwa masyarakat bisa membangun ekonomi dengan kekuatan sendiri dengan cara membuat kelompok usama bersama syariah simpan pinjam (Credit Union). Secara umum model kelompok usaha bersama ini dibahas tentang adanya cara dimana anggotanya lebih mudah dalam hal meminjam uang dalam waktu tenggang yang cukup. Misalnya pinjam 500 ribu rupiah dikembalikan dalam waktu 5 bulan. Bila kelompok usaha bersama ini modalnya sudah kuat dan anggotanya sudah kompak, maka akan dapat menentukan harga hasil produk mereka yang akan dijual ke pasar. 









Ditulis Oleh :  
Triyanto Purnama Adi

“MALE TANGAN DI BAWAH MULIA TANGAN DI ATAS...”

 

Pengorganisasian Kelompok Usaha Bersama Syariah Simpan Pinjam di Desa Durian Kawan, Kabupten Aceh Selatan...

Arti peribahasa Aceh di atas adalah lebih mulia menjadi orang yang selalu meberi daripada menjadi orang yang hanya menerima saja. Jauh sebelum adanya program ALIVE, di Dusun Tanah Munggu telah berdiri beberapa kelompok masyarakat. Uniknya, kelompok-kelompok di dusun ini terpisah antara kelompok laki-laki dan perempuan. Ada 3 kelompok laki-laki, yaitu Alur Benteng, Ingin Jaya, dan Lembah Sinenggan. Nama-nama kelompok memiliki cerita masing-masing. Nama Alur Benteng diambil dari nama aliran sungai yang mengairi persawahan mereka, nama Ingin Jaya lahir dari keinginan anggota kelompok yang ingin maju terus, dan Lembah Sinenggan adalah nama bukit yang terdapat di desa tersebut. Sedangkan kelompok perempuan terdiri dari kelompok dasawisma, PKK, dan pengajian.

Menurut masyarakat, kelompok-kelompok ini dibentuk agar mudah mendapatkan bantuan langsung dari dinas pertanian, memudahkan urusan di bidang pertanian dan perkebunan, dan mendapatkan penguatan modal. Yang sudah-sudah, kegiatan kelompok hanya berlangsung beberapa bulan saja. Bahkan ada yang belum pernah memiliki kegiatan sama sekali. Menurut mereka, hal ini disebabkan pertemuan-pertemuan yang dilakukan dirasakan membosankan dan tidak ada tindak lanjutnya. Di samping itu juga karena kurangnya kesadaran dan rasa saling percaya di antara anggota kelompok itu sendiri. Masyarakat hanya semangat bila hanya ada bantuan. Selain itu juga tidak adanya pendampingan yang jelas.

Kelompok dasawisma kaum ibu pernah memperoleh bantuan bibit ikan. Usaha kolam ikan ini berjalan baik sampai saat panen. Tetapi karena tidak adanya perencanaan manajemen yang baik, maka masalah pun muncul. Pembagian hasil yang tidak merata dan sisa dana hasil usaha yang tidak jelas pengelolaannya membuat kelompok ini pasif tanpa kejelasan bagaimana ke depannya.

Menurut warga dusun di sini, penghasilan utama mereka adalah padi, nilam, pinang, kemiri, dan sawit. Tetapi penghasilan yang paling diandalkan adalah padi. Sedangkan yang lain hanya sebagai tambahan saja. Dusun Tanah Munggu ini bahkan dulu sempat menjadi salah satu desa swasembada beras. Tetapi sekarang sudah tidak lagi.

Ditulis oleh : Triyanto Purnama Adi