Dalam satu diskusi, warga sadar bahwa modal mereka adalah padi. Bantuan tunai adalah hal yang dibutuhkan. Dalam kesempatan itu, Juli, fasilitator dari program ALIVE mengajak mereka untuk membuka wawasan untuk tidak mengharapkan bantuan hanya dari pemerintah atau lembaga-lembaga dari luar saja. “Kenapa kita tidak mencoba untuk mengumpulkan modal dari anggota kelompok sendiri?”
Pada awalnya, mereka menjawab bahwa tidak bisa. Ada satu peserta pertemuan, yang biasa di panggil dengan sebutan Pak Imam Masjid mengatakan bahwa dulu pernah dibentuk koperasi. Dalam perjalanannya, tidak ada kekompakan dan rasa saling percaya lagi di antara sesama anggota kelompok. Dia mencontohkan, pernah ada yang meminjam uang sebesar 2 juta rupiah. Janjinya akan dikembalikan dalam waktu 1-2 bulan. Tetapi akhirnya si peminjam tidak membayar hutangnya. Hal seperti ini banyak terjadi sehingga modal kelompok habis. Akhirnya bubar. Dalam keadaan peserta yang dirundung rasa pesimistik itu, fasilitator pertemuan ini mencoba membangkitkan semangat dengan mengangkat peribahasa Aceh “male tangan di bawah mulia tangan di atas”, yang artinya masyarakat Aceh memiliki prinsip bahwa lebih mulia menjadi orang yang selalu memberi daripada menjadi orang yang hanya menerima saja. Entah bagaimana, peserta pertemuan mulai tergugah.
Fasilitator kemudian menjelaskan bahwa masyarakat bisa membangun ekonomi dengan kekuatan sendiri dengan cara membuat kelompok usama bersama syariah simpan pinjam (Credit Union). Secara umum model kelompok usaha bersama ini dibahas tentang adanya cara dimana anggotanya lebih mudah dalam hal meminjam uang dalam waktu tenggang yang cukup. Misalnya pinjam 500 ribu rupiah dikembalikan dalam waktu 5 bulan. Bila kelompok usaha bersama ini modalnya sudah kuat dan anggotanya sudah kompak, maka akan dapat menentukan harga hasil produk mereka yang akan dijual ke pasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar