Selasa, 24 Juli 2012

PENDIDIKAN KRITIS YANG MEMBEBASKAN: LSM ADA DI MANA?




Judul di atas adalah hasil renungan pertanyaan setelah mengikuti diskusi rutin setiap Jumat sore di kantor FIELD Indonesia, tentang sejarah perkembangan LSM di Indonesia dengan narasumber dan praktisi LSM senior Helmi Ali. Sebagai pembahas dalam diskusi tersebut adalah Simon HT. Diskusi dengan narasumber tertentu semacam ini rutin diselenggarakan untuk staf FIELD Indonesia, yang kadang juga diikuti oleh beberapa rekan aktivis muda dari lembaga lain.

Dijelaskan oleh Helmi Ali bahwa, LSM di Indonesia yang awalnya dinamakan Ornop atau ornanisasi non pemerintah, pada tahun 70-an berkembang seiring dengan masuknya proyek-proyek pembangunan atau modernisasi di Indonesia. Pada zaman itu Ornop (LSM) berjalan seiring dengan organisasi-organisasi pemerintah dalam menjalankan idenya. Saat itu, program-program pembangunan dilaksanakan bersama-sama antara pemerintah dan ornop-ornop yang ada. Bila pemerintah membangun sarana fisik(infrastruktur), LSM membangun mental dan motivasi masyarakat.

Kalo kita pernah mendengar istilah Achievement, Motivation, dan Training (AMT), itulah lingkup pekerjaan LSM kala itu. Negara-negara dunia ketiga, istilah saat itu, tertinggal dalam proses pembangunan adalah karena persoalan mental dan motivasi. Diilustrasikan oleh Helmi Ali bahwa, zaman itu muncul juga selain istilah ornop yaitu organisasi sosial. Sekilas keduanya sama, tetapi nyatanya berbeda. Kalau ornop melakukan pemberdayaan masyarakat di bidang-bidang sosial dan ekonomi, sehingga pada saat itu muncullah LSM-LSM besar seperti LP3ES, Bina Swadaya, Bina Desa, dan lain-lain yang melakukan hal tersebut, sementara organisasi sosial lebih ditujukan bagi lembaga-lembaga seperti panti asuhan dan sejenisnya.

Di era 80-an, muncul kritik tajam terhadap pembangunan yang berjalan saat itu, yang mana pemerintah saat itu menganggap sistem yang dikembangkannya sudah mapan dari segi sosial dan politik. Sementara para pengritik menganggap spirit pembangunan saat itu dianggap sebagai kepanjangtanganan dari kolonialisme. Salah satu kritik datang dari tokoh bernama Paolo Fraire yang menyangkut persoalan sistem pembangunan, yang selanjutnya mengilhami munculnya LSM-LSM yang kritis terhadap sistem yang sudah mapan. Oleh karenanya tidak mengherankan pada saat itu muncul demonstrasi-demonstrasi menentang berbagai kebijakan pembangunan dari pemerintah yang diorganisir oleh LSM-LSM kritis.

Pada tahun 1990-an, muncul LSM-LSM yang pro modernisasi atau lazim disebut LSM developmentalis. LSM-LSM ini bergerak dalam pembangunan ekonomi seperti mengembangkan kelompok-kelompok kredit (ekonomi) dan ketrampilan seperti jahit-menjahit, dan sebagainya di pedesaan. Di sisi lain, berkembang pula LSM-LSM yang ‘liberal’, artinya tidak terpengaruh oleh sistem politik yang berkembang saat itu seperti lembaga-lembaga bantuan hukum. Muncul juga LSM-LSM ‘radikal’ yang melakukan gerakan pendidikan kritis dan pembebasan, seperti LSM buruh yang menggunakan teater rakyat sebagai pendekatannya. Salah satu tokoh dalam teater rakyat ini adalah Simon HT. Juga muncul LSM-LSM perempuan.

Ada satu hal yang unik pada periode zaman ini, menurut Helmi Ali, yaitu munculnya pendidikan kritis dan pembebasan bagi petani yang diselenggarakan oleh Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu (PHT)-FAO pada tahun 1990. Tidak hanya petani, aparat pemerintah pun seperti petugas Pengamat Hama dan Penyakit (PHP) pun menjadi sasaran pendidikan kritis ini. Walaupun ini programnya pemerintah Republik Indonesia, namun rancangan yang dikembangkan oleh tim bantuan teknis saat itu –- saat ini menjadi tim senior dari LSM FIELD Indonesia –- namun hal itu adalah bentuk-bentuk spirit LSM yang melakukan pendidikan kritis dan pembebasan itu. Dan melalui metode sekolah lapangan, gerakan ini juga diadopsi dan dikembangkan oleh LSM-LSM sejenis yang bergerak dalam pendidikan petani.

Pada akhir tahun 1990-an Presiden Suharto jatuh dan era reformasi dan demokrasi berkembang di Indonesia. Kalau mau lebih jeli lagi, terkait berkembangnya demokrasi ini, program PHT sebenarnya sudah lebih dahulu meletakkan sendi-sendi demokrasi di masyarakat, khususnya masyarakat tani di pedesaan melalui sekolah lapangan. Pernah dituturkan oleh Mochtar Lubis, tokoh pers dan wartawan senior Indonesia yang pada awal tahun 1990 sempat berkunjung dan mengamati proses belajar di sekolah lapangan PHT. Dia pun kemudian mengatakan sesuatu yang mngejutkan bahwa, dia sedang melihat berkembangnya sebuah demokrasi justru dari proyek tentang hama.


BAGAIMANA LSM PADA ERA MENDATANG?

Salah satu visi di era globalisasi ini adalah tidak adanya lagi batas-batas negara bukan dalam arti geografi. Kebijakan politik dan ekonomi suatu negara dapat ditentukan atau diatur oleh negara lain yang lebih kuat. Oleh karenanya, beberapa negara maju dan kuat (developed country) mencoba menerapkan paradigma kerjasama baru yang lebih elok kepada negara-negara sedang berkembang (developing country) dan belum maju (under-developed country). Salah satu bentuk kerjasama ini adalah berupa beasiswa-beasiswa pendidikan bagi pelajar maupun tentara dan bantuan-bantuan pembangunan yang ’agak’ tidak mengikat. Tentara yang sebelumnya hanya dididik untuk perang, dengan adanya beasiswa tersebut mereka juga dididik dalam masalah sosial-politik.

Di Indonesia, pada jaman orde baru, negara memiliki kewenangan yang sangat luas mengatur berbagai sektor. Sementara era globalisasi yang mulai kentara pada era Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher dan Preseiden AS Ronald Reagen, justru dirancang untuk mengurangi keterlibatan negara dengan sistem investasi dan deregulasi.

Funding atau lembaga donor besar dari negara maju pun mulai berubah. Bila dulu lembaga ini semata-mata berperan sebagai pemberi atau penyandang dana saja, kemudian berubah menjadi implementor program-program. Beberapa proyek dengan bantuan dana dari USAID atau Oxfam misalnya, dilaksanakan sendiri oleh mereka.

Globalisasi juga menyebabkan arus komunikasi dan informasi menjadi amat deras bergulung hingga ke wilayah-wilayah terpencil dan pribadi. Nyaris tidak ada lagi wilayah yang tertutup. Sementara peran negara yang dikurangi menjadi tidak lagi mampu mengimbangi dan mengatur arus komunikasi dan informasi yang bergerak ke segala penjuru. Negara kemudian lebih sibuk melayani pihak-pihak yang memberikan keuntungan sesaat daripada melindungi masyarakat. Tidak ada cara lagi dalam situasi ini untuk mengontrol negara kecuali dilakukan oleh masyarakat sendiri. Untuk itu yang diperlukan adalah masyarakat yang kuat, kritis, dan terorganisir. Walaupun negara memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun masih jauh dari ideal.

LSM pun kembali mendapatkan tantangan untuk kembali melakukan pendidikan kritis bagi masyarakat. Namun saat ini tidak cukup hanya itu. Diperlukan langkah-langkah dan kemauan dari LSM untuk membangun organisasi masyarakat yang kuat. Tidaklah efektif dan strategis lagi LSM menjadi ujung tombak yang mengatasnamakan atau mewakili rakyat untuk melakukan gerakan perubahan. Masyarakat lah yang di depan untuk mengontrol negara. Peran LSM ’hanyalah’ menjadi penyedia informasi, metodologi, dan fasilitator dalam menganalisa masalah dan pengambilan keputusan oleh masyarakat.


Tripa11032011Jkt
http://www.facebook.com/triyanto.pa

Narasumber: Helmi Ali
http://www.facebook.com/profile.php?id=1090130998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar