Abstraksi
Kearifan lokal sebagai suatu
kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup, pandangan hidup, dan
kearifan hidup. Kearifan lokal tidak hanya berlaku secara lokal pada budaya
atau etnik tertentu, tetapi juga bersifat lintas budaya yang kini kita kenal
sebagai konsep Bhineka Tunggal Ika. Di dalam konsep Bhineka Tunggal Ika
terdapat kearifan lokal berupa ajaran hidup gotong royong, toleransi, kerja
keras, dan saling menghormati. Kearifan lokal dapat dijadikan rujukan dalam
penyelesaian masalah di masyarakat. Dalam upaya rekonsiliasi terkait,
diungkapkan bahwa ada keterlibatan tokoh agama dan tokoh adat dalam mendorong
hadirnya peningkatan apresiasi masyarakat terhadap kearifan lokal. Kearifan
lokal yang digiatkan oleh tokoh adat dan tokoh-tokoh panutan lainnya mampu
membantu mendorong upaya penanggulangan konflik, termasuk radikalisme.
Pendekatan multikultural adakah alternatif penting yang dapat dimanfaatkan
untuk meminimalisir konflik di negeri ini. Radikalisme dan terorisme dapat
dilihat terkait dengan persebaran keberagaman yang kemudian menggelorakan
sentiment anti budaya. Mereka (terorisme dan radikalisme) tidak melihat bahwa
kondisi kemajukan bangsa Indonesia merupakan khazanah lokalitas yang telah
terbangun sejak lama. Dengan kembali mengingat serta mengamalkan kearifan lokal
dengan sebaik-baiknya, niscaya kita mampu membangun kekuatan nasional yang
kokoh dalam menghalau radikalisme, apalagi terorisme.
A. PENDAHULUAN
Dari
definisi-definisi itu, kita dapat memahami bahwa kearifan lokal adalah
pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan
hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan
memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi. Beberapa bentuk
pengetahuan tradisional itu muncul lewat cerita-cerita, legenda-legenda,
nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum setempat.
Kearifan lokal
menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi
sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari
kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa
dari budaya lokal. Hal itu dapat dilihat dari ekspresi kearifan lokal dalam
kehidupan setiap hari karena telah terinternalisasi dengan sangat baik. Tiap
bagian dari kehidupan masyarakat lokal diarahkan secara arif berdasarkan sistem
pengetahuan mereka, dimana tidak hanya bermanfaat dalam aktifitas keseharian
dan interaksi dengan sesama saja, tetapi juga dalam situasi-situasi yang tidak
terduga seperti bencana yang datang tiba-tiba.
Jika budaya dan
kearifan lokal itu dapat terpelihara dengan baik, maka radikalisme dan
terorisme dapat dihindari dan ditekan sekecil mungkin. Penulis berpendapat,
kearifan lokal merupakan fenomena yang luas dan komprehensif. Cakupan kearifan
lokal cukup banyak dan beragam sehingga sulit dibatasi oleh ruang. Kearifan
tradisional dan kearifan kini berbeda dengan kearifan lokal.
Kearifan lokal
terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan dan lokal
(local) atau setempat. Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya. Menurut Gobyah nilai terpentingnya adalah kebenaran yang
telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Secara konseptual, kearifan
lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada
filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara
tradisional. Menurut Antariksa (2009), kearifan lokal merupakan unsur bagian
dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian
yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan
(perkotaan) dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa.
Kearifan lokal
merupakan langkah penerapan dari tradisi yang diterjemahkan dalam artefak
fisik. Hal terpenting dari kearifan lokal adalah proses sebelum implementasi
tradisi pada artefak fisik, yaitu nilai-nilai dari alam untuk mengajak dan
mengajarkan tentang bagaimana ‘membaca’ potensi alam dan menuliskannya kembali
sebagai tradisi yang diterima secara universal oleh masyarakat, khususnya dalam
berarsitektur.
Nilai tradisi
untuk menselaraskan kehidupan manusia dengan cara menghargai, memelihara dan
melestarikan alam lingkungan. Hal ini dapat dilihat bahwa semakin adanya
penyempurnaan arti dan saling mendukung, yang intinya adalah memahami bakat dan
potensi alam tempatnya hidup; dan diwujudkannya sebagai tradisi.
Definisi
kearifan lokal secara bebas dapat diartikan nilai-nilai budaya yang baik yang
ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk mengetahui suatu kearifan
lokal di suatu wilayah maka kita harus bisa memahami nilai-nilai budaya yang
baik yang ada di dalam wilayah tersebut. Kalau mau jujur, sebenarnya
nilai-nilai kearifan lokal ini sudah diajarkan secara turun temurun oleh orang
tua kita kepada kita selaku anak-anaknya. Budaya gotong royong, saling
menghormati dan tepa salira merupakan contoh kecil dari kearifan lokal.
Kearifan lokal
lebih menekankan pada tempat dan lokalitas dari kearifan tersebut sehingga
tidak harus merupakan sebuah kearifan yang telah diwariskan dari generasi ke
generasi. Kearifan lokal bisa merupakan kearifan yang belum lama muncul dalam
suatu komunitas sebagai hasil dari interaksinya denganlingkungan alam dan
interaksinya dengan masyarakat serta budaya lain. Oleh karena itu, kearifan
lokal tidak selalu bersifat tradisional karena dia dapat mencakup kearifan masa
kini dan karena itu pula lebih luas maknanya daripada kearifan tradisional.
Dengan kata
lain, jika seluruh lapisan masyarakat, pemerintah, dan aparat hukum menggunakan
kearifan lokal sebagai upaya untuk menangkal terorisme dan radikalisme,
diyakini ini akan menjadi jurus ampuhnya.
Maka dari itu,
kita berharap kepada pemerintah untuk respon terhadap kearifan lokal ini.
Lindungi dan perkuatlah sistem kearifan lokal, sehingga bisa dijadikan sebagai
senjata untuk menangkal ‘serangan’ terorisme dan radikalisme di Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
B. PERMASALAHAN
1.
Mampukah
kearifan lokal mencegah dan menangkal penyebab radikalisme dan terorisme.
Nilai-nilai budaya dan kearifan lokal di sebagian besar daerah di Indonesia
merupakan salah satu strategi untuk mencegah dan menangkal radikalisme dan
terorisme?
2.
Apakah
adanya masalah sosial dan kuktural dalam kearifan lokal dapat meminimalisasikan
dampak radikalisme dan sebagai pemicu pembangunan?
C. PEMBAHASAN
1. Penguatan kearifan Lokal Indonesia
a. Bentuk Kearifan Lokal Indonesia
Kearifan
lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu,
dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu. Mitos, mistik,
kepercayaan dan kearifan lokal. Myths, mystics, believes and wisdoms. Local wisdom (kearifan
lokal/setempat): dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local)
yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik,yang tertanam dan
diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia
terdapat nilai-nilai sosial yang membentuk kearifan lokal (local wisdom)
dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Misalnya,
gotong royong, kekeluargaan, musyawarah untuk mufakat, dan tepa selira (toleransi).
Hadirnya kearifan lokal ini tak bisa dilepaskan dari nilai-nilai religi yang
dianut masyarakat Indonesia sehingga nilai-nilai kearifan lokal ini makin
melekat pada diri mereka. Tak mengherankan, nilai-nilai kearifan lokal ini dijalankan
tak semata-mata untuk menjaga keharmonisan hubungan antar manusia, tetapi juga menjadi
bentuk pengabdian manusia kepada Sang Pencipta. Bagi adat budaya salah satu etnik
yang ada di Indonesia- berbagai pernyataan yang dikenal dengan petuah dapat
dikemukakan untuk mengenal pernyataan verbal terkait dengan kearifan lokal.
Misalnya,
konsep cappa- yang sudah
populer di suku Bugis. Konsep ini menurut penulis terkait dengan hubungan antar
person dalam kehidupan suku, untuk memenuhi eksistensinya baik dalam hubungan
keluarga dan kekuasaan. Cappa yang diartikan “ujung sesuatu benda,
meliputi tiga model: Pertama, Cappa lillah (ujung lidah); Kedua, Cappa
kawali (ujung atau pisau: perisai) dan Ketiga, Cappa la marufe (ujung
kelamin lelaki). Model pertama dimanfaatkan untuk membangun komunikasi verbal
dengan orang perorang dan masyarakat. Komunikasi verbal menurut melayu tidak
hanya sekedar mengeluarkan pernyataan tetapi ia merupakan produk dari proses
berfikir. Dalam proses berfikir ini, terdapat kecakapan yang harus dibangun
misalnya, kemampuan memilih dan memilih kata, kejelian melihat kondisi, serta
motivasi pernyataan. Dalam petuah melayu ditemukan ungkapan aja mualai miccu
pute bicaramu ripadamu rupa tau: Aja mualai miccu pute bicaramu ripadammu
rupa tau. Jangan jadikan pernyataan-pernyataan anda kepada sesama sebagai ludah
yang berwarna putih.
Dalam
tradisi kita, orang tua memiliki dua bentuk warna ludah yakni merah dan putih. Bagi
yang berwarna merah merupakan ludah yang diakibatkan oleh sang pelaku yang
sering mengunyak daun sirih, sedang ludah yang berwarna putih seperti halnya
kebanyakan masyarakat yang tidak terbiasa mengunyah daun sirih. Bagi pengunyah
daun sirih, ludahnya mereka simpan pada wadah khusus. Kondisi ini berbeda
dengan orang yang tak mengunyah daun sirih, ludahnya yang berwarna putih
ditempatkan tanpa wadah khusus. Petuah dimaksud melarang anda secara bebas
mengumbar pernyataan-pernyataan verbal kepada sesama. Nilai-nilai kebersamaan
dan persaudaraan sebagai bagian dari kearifan lokal sudah mulai terkikis di
dalam lingkungan budaya lokal komunitas.
b. Bentuk Kearifan Lokal Sumatera Utara
1) Kearifan Melayu
Sumatera
sangat erta dengan konteks kebudayaan Melayu. Dalam adat Melayu
kearifan-kearifan lokal dalam konteks membentuk kepribadian dan kebangsaan,
sangat lekat dengan konsep adat yang diadatkan. Bahwa orang Melayu
sangatlah menghargai pemimpin seperti sultan, raja, perdana menteri, menteri,
panglima, penghulu, ketua mukim, dan lain-lainnya. Orang Melayu perlu memiliki
pemimpin yang adil, bijaksana, bisa diperaya (amanah), selalu berusaha untuk
benar dalam hidup, dan lain-lainnya.
Dalam
adat Melayu juga dikenal kearifan lokal, bahwa hidup dikandung adat, biar mati
anak asal jangan mati adat. Artinya bahwa orang Melayu sangatlah memperhatikan
kesinambungan dan pendidikkan kebudayaan. Bila adat itu lestari maka akan
lestarilah kebudayaan Melayu. Jika keturunan kita berbuat salah maka kita
jangan segan memberikan hukuman atau sangsi sosial sebagaimana yang berlaku.
2) Kearifan Nias
Kearifan
di Nias dinyatakan sistem penggolongan derajat manusia berasaskan
tingkat-tingkat kehidupan, dimulai dari janin sampai kehidupan akhirat.
Pengertian bosi ini mencakup dua belas tingkat kehidupan. Dalam
konteks ini, bosi nantinya mengarahkan manusia untuk berusaha mencapai
tingkat tertinggi, agar setelah ia mati, akan memperoleh kebahagiaan di dalam teteholi
ana’a (sorga). Adapun pembagian bosi itu adalah: fangaruwusi
(memperlihatkan kandungan); tumbu (lahir); famatoro doi (memberi
nama); famoto (sirkumsisi); falowa (kawin); famadadao omo
(membangun rumah); fa’aniha banua (memasuki persekutuan desa); famaoli
(menjadi anggota adat); fangai toi (mengambil gelar); fa’amokho
(kekayaan); mame’e go banua (menjamu orang se desa) dan mame’e go
nori (menjamu orang satu ori, beberapa desa. Inti dari kearifan
lokal itu adalah, bahwa sebagai sebuah suku dan juga bangsa setiap orang Nias
selalu berinteraksi dan menjadi bahagian komunitas sosial. Dalam hal ini
seorang pemimpin sosial mestilah mampu memberikan rezekinya kepada orang lain.
Seorang pemimpin adalah tangan di atas bukan di bawah.
3) Kearifan Batak
Budaya Dalihan Na Tolu artinya tungku yang berkaki tiga, bukan berkaki
empat atau lima. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang
mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat
digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan
sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat.
Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Inilah yang
dipilih leluhur suku batak sebagai falsafah hidup dalam
tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hulahula dan boru.
Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk
menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan
pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu.
Dalihan Natolu
menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang
mempertalikan satu kelompok. Dalam adat batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan
adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri
dari tiga hal yang menjadi dasar bersama, ketiga hal tersebut:
- Somba
Marhulahula: ada yang menafsirkan pemahaman ini menjadi “menyembah
hul-hula, namun ini tidak tepat. Memang benar kata Somba, yang tekananya
pada som berarti menyembah, akan tetapi kata Somba di sini
tekananya ba yang adalah kata sifat dan berarti hormat. Sehingga
Somba marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula. Hula-hula adalah
kelompok marga istri, mulai
dari istri kita, kelompok marga ibu(istri bapak), kelompok marga istri
opung, dan beberapa generasi; kelompok marga istri anak, kelompok marga
istri cucu, kelompok marga istri saudara dan seterusnya dari kelompok
dongan tubu. Hula-hula ditengarai sebagai sumber berkat. Hulahula sebagai
sumber hagabeon/keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang
berasal dari hulahula. Tanpa hulahula tidak ada istri, tanpa istri tidak
ada keturunan.
- Elek
Marboru/lemah lembut tehadap boru/perempuan. Berarti
rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. Boru adalah
anak perempuan kita, atau kelompok marga yang
mengambil istri dari anak kita(anak perempuan kita). Sikap lemah lembut
terhadap boru perlu, karena dulu borulah yang dapat diharapkan membantu
mengerjakan sawah di ladang. tanpa
boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.
- Manat
mardongan tubu/sabutuha, suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga
untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati–hati
dengan teman semarga. Kata orang tua-tua “hau na jonok do na boi
marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini
menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga
dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan, dan
lain-lain.
Inti ajaran Dalihan Natolu adalah kaidah moral
berisi ajaran saling menghormati (masipasangapon) dengan dukungan kaidah moral:
saling menghargai dan menolong. Dalihan Natolu menjadi media yang memuat asas
hukum yang objektif.
2.
Fenomena Paham Radikalisme
Konsep “Radikalisme” dalam kamus bahasa
Indonesia dijelaskan bahwa radikalisme itu berasal dari kata radikal, yang bermakna “sesuatu yang tidak
stabil”, selalu bergerak tanpa henti. Radikalisme
adalah paham yang menganut cara radikal. Dalam hal ini Radikalisme merupakan
suatu paham yang menginginkan perubahan yang radikal tanpa mengindahkan
pemahaman dan perkembangan pemahaman yang berkembang di sekitarnya.
Fenomena
radikalisme agama sesungguhnya bukan hanya terjadi di Indonesia melainkan juga
terjadi dibagian atau negara lain, negara maju sekalipun. Globalisasi dan
kemajuan teknologi informasi membuat seluruh informasi dari mana pun asalnya
dengan mudah bisa diakses dari dan di manapun orang sedang berada. Maka salah
satu efek atau bahkan bagian dari globalisasi adalah mewabahnya radikalisme
agama. Yang membedakan satu dari tempat lain mungkin adalah tingkat kekerasan
karena di negara-negara maju, misalnya, tradisi anti kekerasan dan perlindungan
terhadap korban sangat kuat, sehingga kekerasan akibat radikalisme bisa ditekan
dengan maksimal. Demikian juga dari mana agama itu berasal. Gerakan radikal
agama yang berasal dari negara maju mungkin lebih menghindari kekerasan, namun
kehadiran mereka yang agresif juga memancing kekerasan dari kelompok agama lain
(ICG, 24 Nov 2010).
Ada beberapa ciri radikalisme yang terjadi sekarang ini. Pertama adalah
sifatnya yang acak dan global. Mark Juergensmeyer (2000), misalnya, berpendapat
ada arah baru radikalisme dan juga kekerasan kini dibanding masa lalu,
katakanlah sebelum globalisasi benar-benar menjadi mewabah seperti sekarang
ini. Yaitu, bahwa dimasa lalu, radikalisme dan kekerasan termasuk yang
bersumber dari keyakinanagama, lebih mudah diidentifikasi kelompok maupun
locusnya. Yaitu merekaumumnya berasal dari kelompok-kelompok masyarakat yang
tersisih dari mainstream kekuasaan atau akibat marjinalisasi. Di samping itu,
radikalisasi dan kekerasan juga muncul dari mereka yang menuntut wilayah
tertentu untuk tidak bergabung atau ingin memisahkan diri dari negara tertentu
dengan berbagai sebab atau separatis. Dengan demikian kelompok-kelompok
tersebut dengan mudah bisa diidentifikasi dan diantisipasi.
Sebenarnya,
terdapat dua makna asosiatif radikalisme, yaitu:
1.
Radikalisme
(negative) mengandung pengertian ifrath (keterlaluan) dan ghuluu (melampui
batas). Jadi radikal di kaitankan dengan keekstriman, golongan sayap kiri,
militant serta ”anti barat”. Muncul tatkala diskriminasi terjadi disuatu
komunitas (negara, agama, dls), kecemburuan sosial, hancurnya tatanan social,
politik dan ekonomi.
Radikalisme
dalam komunitas islam berawal dari terbentuknya ikhwalnul muslimin (IM) sebagai
embrio radikalisme. Banyak informasi media massa melansir organisasi tertua
dari organisasi-organisasi radikal di dunia, khususnya di timur tengah seperti
Mesir, Sudan, Lebanon, Yordania, Kuwait, Arab Saudi, Bahroin dan Qatar. Gerakan
ini merupakan respon terhadap berbagai perkembangan yang terjadi di dunia islam
(khususnya timur tengah), berkaitan dengan makin luasnya dominasi imperialis
barat, IM banyak merekrut kaum terpelajar dan buruh. Saat itulah radikal
mengalami peyorasi/penyempitan, karena dianggap suatu paham yang merusak.
Politiklah yang membuat pemaknaan demikian, karena orang-orang penganut radikal
ini menginginkan perubahan-perubahan yang prinsip dan mendasar, seringkali
berakibat kerusakan/kehancuran. Dalam perkembangannya, radikal juga disandingkan
dengan agama islam, yang memang menginginkan perubahan yang prinsip dan
mendasar, sebagai contoh terwujudnya negara islam. Tidak ada kesalahan sampai
pada titik harapan terwujudnya negara islam, namun cara-cara yang dilakukan
seringkali menghalalkan segala cara.
Syamsul Bakri
(dosen Peradaban Islam STAIN Surakarta), dalam kesimpulan tulisannya mengenai
radikalisme agama menyatakan: Praktek kekerasan (radikalisme) yang dilakukan
oleh sekelompok umat Islam tidak dapat dialamatkan kepada Islam sehingga propaganda
media Barat yang memojokkan Islam dan umat Islam secara umum tidak dapat
diterima. Islam tidak mengajarkan radikalisme, tetapi perilaku kekerasan
sekelompok umat Islam atas simbol-simbol Barat memang merupakan realitas
historis-sosiologis yang dimanfaatkan media pers Barat untuk memberi label dan
mengkampanyekan anti-radikalisme Islam.
Radikalisme
muncul bukan tanpa maksud, beberapa penyebab kemunculannya antara lain tekanan
politik penguasa. Di Indonesia, masa Orde Baru selalu membabat habis orang-orang
yang teridentifikasi sebagai anggota gerakan radikal. Begitu kerasnya tekanan
terhadap gerakan radikal ini, maka banyak tokohnya yang ditangkap, disiksa dan
bahkan ada yang hilang tidak tentu rimbanya. Di masa reformasi, gerakan-gerakan
radikal tampaknya kehilangan makna, sehingga banyak tokohnya yang memasuki
partai politik. Namun ada juga yang masih Under Ground menggerakkan
radikalisme.
Gerakan radikalisme yang masih bertahan di masa reformasi ini berdalih agama,
sudah sampai pada tahap membahayakan, mengancam pondasi kebangsaan, sekaligus
mengancam kemanusiaan. Makanya tidak berlebihan jika Ketua Umum Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Said Aqil Siraj menyatakan, gerakan radikalisme di
Indonesia sudah sampai pada tingkat "lampu merah" yang membahayakan
(27/4/11).
2.
Radikalisme
(positif) bermakna islah (perbaikan) dan tajdid (pembaharuan) suatu sepirit
perubahan menuju perbaikan. Makna positif radikal inilah yang seharusnya
menjadi dasar pergerakan sehingga tujuan islam sebagai agama rahmatan lilalamin
(rahmat untuk semua) tercapai. Seharusnya setiap orang justru memiliki paham
radikal (positif) ini, yakni memahami masalah sampai ke akar-akarnya, tidak
dangkal dan terburu nafsu. Banyak orang-orang besar penganut radikal yang telah
sukses menemukan esensi kehidupan di bidangnya masing-masing, tidak hanya
output yang dia hasilkan, tetapi outcame yang bermanfaat untuk orang lain,
untuk kehidupan masyarakat yang sejahtera. Sebut Muhammad Hatta dengan
Koperasi, Muhammad Yunus dengan Grameen Bank, Mahatma Gandhi dengan
Kemandirian, Bill Gate dengan Microsoft, dls. Lebih lanjut mantan Wakil
Presiden Jusuf Kalla (JK) justru menilai bahwa radikalisme baik untuk
mahasiswa. Asalkan, kata dia, radikalisme yang positif. Fanatisme boleh, justru
akan semakin membuat kita khusyuk terhadap agama, paham terhadap ajarannya,
yang tak boleh merusak orang lain, semangat bekerjasama dan dinamis itu yang
harus dipelihara,” tegasnya.
Namun, radikalisme dan kekerasan keagamaan kini, cenderung tidak mudah
diidentifikasi dan tidakterpusat di tempat-tempat tertentu serta tidak mudah
pula diidentifikasisebab-sebabnya. Ia bisa terjadi bersifat acak baik locus
maupun aktor-aktornya. Mereka bisa berasal dari kalangan yang secara ekonomi
kaya dan berpendidikantinggi serta memiliki pemahaman agama yang memadahi atau
bahkan dari kalanganyang berlatar belakang pendidikan agama. Radikalisme juga
bisa menjadi bagiandari kemajuan teknologi informasi itu sendiri yang bersifat
masif dan karenaitu tidak mudah dideteksi.
Radikalisme semacam itu tidak hanya terjadi di kalangan Islam melainkan
juga di kalangan agama lain seperti terjadi pada partai Hindu beraliran kanan
BJP (The Bharatiya Janata Party) atau Indian People's Party yang di dalamnya
terdapat unsur-unsur radikal dan fanatik dalam Hindu di India, serta
keterlibatan sebagian kalangan Bikhu atau Monks Buddhis atas serangan terhadap
Rohingya di Myanmar. Hal yang sama terjadi pada kalangan fundamentlisme Kristen
yang sering melakukan kristenisasi secara agresif dinegara-negara berkembang
namun berasal dari negara-negara maju.
Ciri kedua adalah bahwa radikalisme tidak lagi hanya terjadi dan
bergerak di pinggiran sebagaimana terjadi di masa lalu melainkan berangsek
masuk ke dalam kekuasaan atau terjadi proses mainstreaming melalui
berbagai cara. Karen Armstrong (2001) misalnya mengatakan bahwa radikalisme,
setidaknya di dalam Islam, bukan hanya bekerja di pinggiran melainkan sejak
revolusi dan perubahan radikal konstitusi di Iran, mereka masuk ke dalam
kekuasaan yang kemudian disusul terjadi di berbagai negara lain dengan pola
yang berbeda-beda. Namun, dalam perkembangan selanjutnya kini, proses masuknya
unsur-unsur radikalisme lebih bervariasi dari sekedar revolusi dan perubahan
konstitusi. Melainkan ia bisa melalui berbagai cara, dari berkompetisi dalam
demokrasi seperti melalui partai politik hingga perebutanjabatan di
pemerintahan, serta penciptaan aturan-aturan yang menunjunkkan karakter radikal
dan konservatif hingga masuk ke dalam pengajaran dan kurikulum pendidikan sejak
dini.
Lagi-lagi hal ini tidakhanya terjadi di dalam Islam melainkan juga di
hampir semua agama. BPJ pernah memenangkan Pemilu di India dan Ikhwanul Muslim
kini berkuasa di Mesir, dan sejumlah Bikhu di Myanmar menyuarakan agar Myanmar
menjadikan agama Budha sebabagi agama formal negara. Kristen fundamentalis atau
yang sering disebut neokon (neo konservatif) menjadi warna dominan dalam
pemerintahan Bush yunior di Amerika Serikat sebelum Barack Obama. Dengan
demikian, kolaborasi antara radikalisme dan kekuasaan tidak hanya dilakukan
dengan revolusi dan perubahan konstitusi melainkan dengan berbagai saluran yang
ada di dalam struktur politik, sosial dan budaya.
Dengan demikian, setidaknya, ada dua kecenderungan yang perlu dicermati
tentang radikalisme ini: yaitu kian tidak teridentifikasi asal-usul, locus,
maupun sabab-musabab dari radikalisme itu sendiri. Kedua, kecendeurngan
penggunakan unsur dan alat-alat negarauntuk mendesiminasi dan bahkan pemaksaan
terhadap paham radikal tertentu.Meskipun jumlah mereka kecil tetapi karena
kefanatikan dan pandangan mampu memobilisasi massa dan memprovokasi pihak lain.
Berbagai kekerasan terhadap kelompok lain atas dasar agama dilakukan oleh
sekelompok kecil orang tetapi dampaknya besar dalam masyarakat. Demikian juga
penggunaan alat kekukasaan dan lembaga pendidikan untukmemaksakan pandangan
radikal dan intolerani berdampak besar bagi kehidupanmasyarakat karena
efektivitas dari suatu sistem politik.
3.
Penyebab Radikalisme
Menurut Khaled Abou alFadl (2005) akar masalah radikalisme agama adalah
puritanisme. Yaitu kecenderungan pemahaman yang tertutup dan mencerminkan
karakter yang absolutis serta tidak mau berkompromi dengan pemikiran atau
tafsir lain dalam memahami agama. Ia juga mengabaikan kontekstualitas dan
bersikap anti lokalitas sehingga pembawa paham demikian selalu memaksakan
kebenaran tunggal baik terhadap tafsir keagamaam maupun terhadap sistem sosial
dan politik atau pemerintahan.
Maka ada kecedernungan bahwa radikalisme itu bukan hanya memperkuat
pengelompokan diri atau identitas politik, misalnya, melainkan juga mudahnya
menyalahkan pihak lain dan sebaliknya pemaksaana atas kebenarannya sendiri,
serta tidak jarang disertai dengan memperbolehkan untuk melakukan penyerangan
dan kekerasan atau berlaku agresif terhadap pihak lain. Jika paham semacam ini
berkelindan dengan kekuasaan negara yang represif dan aparatur hegemoni seperti
lembaga pendidikan maka akan berdampak buruk dalam suatu kehidupan masyarakat.
Dalam suatu masyarakat dan negara, fungsi pendidikan sangat penting
dalam membangun cara pandang generasi muda calon pemimpin bangsa dan masyarakat
dalam suatu negara. Lembaga pendidikan juga merupakan agen transfer kesadaran
dan ilmu pengetahuan. Makasangat penting diperhatikan hasil dari riset ini
sebagai antisipasi terhadap kecenderungan masuknya unsur-unsur pandangan
radikal ke dalam keseluruhan tubuhmasyarakat dan negara.
Sebuah riset (Ahnaf,2012) di Yogyakarta memperkuat fenomena yang
ditemukan oleh LAKIP. Ahnaf menunjukan bahwa redikalisme dan intoleransi
sesungguhnya sudah terbentuk sejak di sekolah menengah atas. Ahnaf menunjukkan
bahwa ada kaitan langsung antarapara aktivis Rohis alumni sekolah-sekolah yang
diteliti yang sudah berada di perguruan tinggi. Para alumni tersebut secara
reguler kembali ke sekolahnya untuk memberikan training dan indoktrinasi
tentang pandangan-pandangan agama yang bersifat radikal. Bahkan tiga sekolah
yang diteliti tersebut bukanlah sekolah agama melainkan sekolah negeri. Dengan
demikian, regenerasi pandangan radikal dan intoleransi telah terbentuk secara
berkesinambungan dan sistematis. Jika pengamatan ini dilanjutkan ke arah
aktor-aktor atau aktivis intoleran dalam gerakan masyarakat maka fenomenanya
akan tampak lebih mendalam dan luas.
Menurut Sidney Jones (2006), aktor-aktor gerakan teroris kian mendekat
dengan gerakan-gerakan radikal dan intoleran di Indonesia. Meskipun radikalisme
Indonesia tidak bisa lepas dari jaringan internasional tetapi Indonesia
memiliki ciri tertentu.Kecederungan ini terutama setelah Bom Bali karena
sel-sel mereka mulai terpantau dan terus diawasi sehingga tidak lagi terpusat
pada kepemimpinan yangtuggal. Namun, justeru karena itu, sel-sel itu kian
bervarisasi dan merambah kebanyak wilayah dengan timbulnya kreasi-kreasi lokal
yang bersifat “indepdenden”dan bahkan individual dimana satu dengan lainnya
tidak saling terkait secaralangsung. Itu tidak berarti bahwa radikalisme
identik dengan teroris memelainkan ada kecenderungan kedekatan dalam aksi-aksi
bukan lagi secara tersembunyi melainkan juga aksi-aksi yang bersifat publik
seperti gerakananti-pemurtadan dan gerakan anti lokal dan kekerasan lainnya.
Dengan demikian ada dua arah radikalisme, di satu pihak masuk ke dalam
unsur-unsur negara melalui berbagai jalan dan di lain pihak melalui berbagai
institusi sosial dan gerakan kemasyarakatan.
Menurut Abou al Fadl,salah satu sebab penting bagi munculnya paham dan
aksi-aksi radikal dalam agama, setidaknya di dalam Islam, adalah lunturnya
otoritas dalam keagamaan (Islam). Di masa lalu, fiqh dan para fuqoha atau ulama
di dalam Islam memiliki legitimasi yang kuat untuk memberikan pemahaman kepada
masyarakat di luar hukum-hukum yang ditetapkan oleh suatu pemerintahan atau
hukum positif. Modernisasi dan globalisasi telah membuat semua orang bisa akses
terhadap sumber-sumber ajaran secara langsung sehingga menimbulkan lunturnya
pengaruh pemuka agama dan guru. Gejala ini sesungguhnya tidak hanya terjadi di
dalam Islam melainkan juga di dalam agama lain.
Dalam konteks Indonesia, disebabkan karena modernisasi dan globalisasi
tersebut, lunturnya otoritas itu bukan hanya terjadi pada pemuka agama
melainkan juga pada institusi dan tokoh-tokoh dalam aspek lain termasuk budaya
lokal dan institusi-institusi modern sekalipun. Di sisi lain, lunturnya
kepercayaan (distrust) masyarakat juga terjadi terhadap
institusi-institusi resmi pemerintahan disebabkan karena demoralisasi, seperti
lemahnya pencegahan terhadap korupsi dan manipulasi secara telanjang dihampir
semua tingkatan pemerintahan. Sehingga paham keagamaan yang berciri radikal
mudah tersosialisasi dan mendapatkan tempat di dalam masyarakat
mengisikekosongan kepercayaan (trust) tersebut. Hal demikian ditambah
dengan lemahnya penegakan hukum terhadap gerakan-gerakan radikalisme yang
membawa ancaman dan kekerasan.
5.
Tumbuhnya Mainstreaming Intoleransi Terhadap Paham Radikalisme
Intoleransi
masih menjadi ancaman laten di Tanah Air. Sikap itu jelas mengingkari
kebinekaan dan pluralitas bangsa Indonesia. Lebih jauh, juga berpotensi menjadi
embrio dari tumbuh suburnya paham radikalisme. Karena itu, masih munculnya sikap
dan perilaku intoleran perlu mendapat perhatian ekstra dari aparat keamanan,
pemerintah, dan seluruh elemen masyarakat. Apalagi, saat ini pengaruh
radikalisme global mulai menyusup ke Indonesia. Kasus kerusuhan massa berbalut
isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di Tanjungbalai, Sumatra Utara, tahun
ini, adalah buah dari sikap intoleran yang diprovokasi hasutan melalui media
sosial. Beredarnya provokasi hasutan kebencian tersebut, tentunya tidak akan
mendapat respons jika di masyarakat sudah tertanam sikap toleran.
Dengan demikian,
kita patut khawatir bahwa benih intoleran sejatinya masih ada dan kemungkinan
sengaja dipupuk di sejumlah kelompok masyarakat. Ibarat api dalam sekam, hanya
tinggal menunggu satu insiden yang bisa menjadi penyulut yang membuatnya
membara dengan mudah dan cepat meluas. Kasus di Tanjungbalai patut kita sesalkan.
Selama ini Indonesia dikenal sebagai negara yang toleran, dengan berpijak pada
semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Fakta sebagai negara dengan penduduk Muslim
terbanyak di dunia, tidak lantas membuat Indonesia menjadi negara agama.
Ideologi Pancasila tetap menjadi pedoman seluruh rakyat. Munculnya kerusuhan
berbalut SARA mengoyak kebinekaan yang selama ini mati-matian kita jaga
bersama, jangan sampai terulang. Sebab, jika dibiarkan, sikap tersebut akan
menjelma menjadi ekstremisme dan radikalisme.
Seluruh elemen
masyarakat harus menyadari ancaman ini. Apalagi, pengaruh paham radikalisme dan
ekstremisme dari luar telah lama disusupkan ke Tanah Air. Ironisnya, paham
gerakan ini menjadikan pelajar dan generasi muda sebagai sasaran. Upaya itu tak
lepas dari karakter kaum muda yang tengah berjuang mencari jati diri. Jiwa muda
yang belum mapan secara mental dan mudah terombang-ambing oleh pengaruh luar,
menjadi tempat persemaian yang subur bagi paham ideologi tertentu.
Apalagi, jika paham tersebut dikemas
sedemikian rupa sehingga seolah menawarkan sesuatu yang dianggap mampu menjadi
solusi atas persoalan yang dihadapi kaum muda saat ini.
Penggunaan media
berbasis internet, juga tak lepas dari kuatnya penetrasi teknologi informasi di
kalangan pelajar dan generasi muda. Ruang penyebaran melalui media sosial dan
media massa berbasis internet seolah tanpa batas dan lebih leluasa. Hingga kini
memang belum ada aturan yang sepenuhnya mampu menutup celah penyebaran
informasi yang menyesatkan. Perlu waktu lama dan upaya ekstra keras dari aparat
untuk menyisir satu per satu situs yang dianggap membahayakan. Kenyataan ini
kian menguatkan bahwa radikalisasi tak bisa dilawan dengan kekuatan senjata
atau operasi militer. Gerakan tersebut juga tak bisa dibungkam dengan setumpuk aturan
hukum mengenai intelijen dan antiterorisme.
Terorisme dan
radikalisme sebagai sebuah ideologi akan lebih efektif jika dilawan dengan
ideologi yang telah disepakati menjadi empat pilar utama, yakni NKRI,
Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Media yang paling ampuh adalah
pendidikan, terutama bidang keagamaan. Langkah menangkal sikap dan gerakan
intoleran tidak hanya melibatkan aparat keamanan dan intelijen, tetapi juga
seluruh lapisan masyarakat agar tidak tercipta komunitas yang menjadi tempat
persemaian paham tersebut. Kita harus menyadari dua karakter massa yang rawan
disusupi paham ini, yakni kemiskinan dan rendahnya pendidikan, yang banyak
dijumpai di Indonesia. Kemiskinan adalah pangkal dari rendahnya pendidikan.
Rakyat yang kurang pendidikan akan mudah diindoktrinasi dengan pandangan hidup
dan pemahaman agama yang sesat, yang
mengarah pada radikalisme.
Dalam
perkembangannya, kemiskinan dan rendahnya pendidikan bukan faktor utama yang
menyuburkan ekstremisme dan radikalisme. Berkaca pada beberapa kasus teror bom,
pelakunya justru dari kalangan terdidik, dan tergolong bukan rakyat jelata. Untuk
itu, aparat keamanan dan intelijen harus mendeteksi dan memantau kegiatan
ekstrakurikuler di sekolah dan perguruan tinggi, serta ceramah keagamaan di
tempat ibadah, yang ditengarai menyebarkan pemahaman agama yang salah. Selain
memperkuat operasi intelijen, perlu juga dikembangkan pendampingan di
basis-basis massa yang dinilai rawan. Pendampingan tersebut harus melibatkan
tokoh agama, kalangan pendidik, dan tokoh masyarakat, yang menempatkan NKRI,
Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai harga mati. Pelibatan
masyarakat, selain untuk mencegah meluasnya indoktrinasi ajaran sesat, terutama
yang mengatas namakan agama, sekaligus memutus mata rantai perekrutan anggota
baru.
Pemimpin agama
dan tokoh masyarakat harus memberi pemahaman yang tepat mengenai ajaran
agamanya sebagai bagian dari pencegahan dini radikalisasi di masyarakat. Ini
adalah upaya krusial dan perjuangan tiada akhir. Langkah terpenting yang harus
dilakukan adalah mematikan tempat persemaiannya, yakni ketimpangan ekonomi dan
sosial, serta pendidikan spiritual dan intelektual. Dua hal itulah yang
diyakini mampu membendung berkembangnya sikap intoleran secara efektif
4. Penguatan Kearifan Lokal Dalam Mencegah
Berkembangnya Paham Radikalisme
a. Pengalaman Sukses dan Strategi Kearifan Lokal Dalam
Menangkal Radikalisme
Implementasi
Kearifan Lokal Masyarakat Minang VS Radikalisme
Implementasi
Kearifan Lokal Masyarakat Bali Vs Radikalisme
Implementasi
Kearifan Lokal Masyarakat Batak Vs Radikalisme
b. Metode
Kalau kita
telusuri berbagai pengamatan terhadap perubahan masyarakat secara mendalam,
radikalisme dalam agama hanya salah satu dari arus dalam globalisasi dan
demokratisasi. Di sisi lain juga terjadi sebaliknya, apa yang oleh Thomas Reuter
(2013) disebut sebagai arus revitalisasi tradisi sebagai cara untuk menanggapi
radikalisme secara dialogis dan absorbsi. Reuter menunjukkan, setidaknya di
Asia, bahwa sebagai respon terhadap globalisasi dengan kerusakan lingkungan,
penguasaan sumberdaya alam dan radikalisme agama muncul gerakan revitalisasi
tradisi dan agama yang bersifat lokal tetapi memiliki akar tradisiyang kuat
serta membangun suatu tradisi harmoni yang baru. Hanya saja gerakanini masih
lebih lemah dibandingkan dengan arus kerusakan lingkungan, penguasaan
sumberdaya alam dan radikalisme agama.
Salah satu
strategi yang penting untuk mencegah menguatnya radikalisme adalah
memperkuat dan menghidupkan kembali tradisi lokal dan memunculkan kembalil
ocal knowledge. Dakwah dan misi agama kini cenderung memberi peluang
terlalu besar bagi pengetahuan yang berasal dari luar sembari mengabaikan dan
bahkan menutup untuk tidak dikatakan menindas, pengetahuan lokal masyarakat dan
tradisi. Masuknya pandangan dan tafsir-tafsir baru agama atau pengetahuan dari
luar itu sendiri sesungguhnya sudah sejak lama terjadi. Namun, di masa lalu,
setiap pandangan dan tafsir baru tersebut harus terlebih dahulu dipergulatkan
dan didialogkan dengan tradisi masyarakat yang hidup untuk terjadinya
akulturasi atau revitalisasi. Sedangkan kini, dengan kemajuan teknologi
informasi terutama apalagi didukung oleh suatu peraturan dan pemerintahan yang
efektif, orang bisa memaksakan pandangan-pandangan dan tafsir-tafsir baru
tersebut kepada masyarakat dengan alat dan teknologi informasi modern tanpa
menghiraukan reaksi dan kerugian masyarakat setempat.
Gerakan revitalisasi tradisi yang disebut Reuter tersebut juga merupakan
wajah baru dari cara tradisi lokal merespon terhadap pengaruh luar. Di masa
lalu, respon itu lebih bersifat defensif atau resisten (resistance),sejauh
mungkin menolak atau menerima secara sangat selektif. Namun kini prosesitu
lebih terbuka, di samping mencoba memberi makna baru terhadap pengaruh luar
secara kreatif, juga disertai dengan pemaknaan kembali tradisi dan ritual
lokalsecara baru dan kontekstual sehubungan dengan masuknya pengaruh baru
tersebutsecara dialogis dan absorbsi. Revitalisasi tradisi dan ritual lokal
yang melibatkan masyarakat seluas mungkin dengan pemaknaan yang baru
tersebutmenjadi kunci kembalinya semangat toleran dan dialog.
Beberapa
strategi mungkin bisa diusulkan di sini :
1)
Pertama,
adalah penting untuk menghidupkan kembali lembaga-lembaga masyarakat dan bahkan
ritual yang bersifat lokal dan memiliki akar budaya yang kuat di dalam
masyarakat. Langkah ini disamping untuk memperkuat tali budaya bersama juga
untuk menghidupkan kembali “modal sosial” dalam masyarakat, yaitu tumbuhnya
saling bercaya (trust) di dalam masyarakat dan mekanisme sosial yang
berbuah sangsi bagi orang yang melanggar tradisi tersebut. Dengan demikian,
tradisi yang hidup di dalam masyarakat memiliki kontrol yang kuat terhadap
perubahan-perubahan yang justru datangnya dari luar. Bukan sebaliknya seperti
sekarang, justeru sesuatu yang dari luar mengontrol tradisi dan bahkan hendak
menghilangkannya. Dialog memang memerlukan waktu dan kesabaran. Dalam
karakternya di Indonesia, tradisi dan ritual lokal selalu mengandung toleransi
yang tinggi terhadap pemahaman lain termasuk ide-ide dan pemahaman baru yang
datang dariluar sehingga di dalamnya inhern pendidikan bagi masyarakat luas
untuk selaluterbuka dan berdialog. Berbagai kajian tentang keagamaan di
nusantara menunjukkan lenturnya hubungan agama atau keyakinan dengan
agama-agama lain yang datang dari luar nusantara. Hal ini terjadi berkat
kearifan dari para pemimpin masyarakat dan pemimpin agama yang hidup di
tengah-tengah masyarakat. Maka pendidikan agama di dalam perguruan tinggi agama
sekalipun, seharusnyatidak hanya belajar tentang ilmu pengetahuan yang bersifat
akademik tetapi penting untuk memperkenalkan mereka tentang kearifan lokal dan
cara kerja paratokohnya yang hidup di dalam masyarakat secara langsung
(organik). Lembaga pendidikan atau perguruan tinggi agama penting untuk
mengambil peran memediasiantara dunia akademik dan dunia nyata dalam masyarakat
dan dalam waktu yang sama memediasi antara pandangan-pandangan baru dari luar
dengan masyarakat luas melalui para tokoh organik tersebut.
2)
Kedua,
pelibatan paratokoh agama dan tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh luas di
wilayahnya (lokal) itu sendiri dalam proses pendidikan agama di perguruan
tinggi secara langsung. Meskipun mungkin kemampuan mereka secara akademik
rendah, tetapimereka memiliki pengalaman dan kearifan yang tidak terdapat dalam
kandung anak ademik. Pengetahuan tentang kearifan lokal atau local
knowledge selayaknya masuk dalam kurikulum di setiap sekolah agama. Karena
peserta didikdiproyeksikan bukan hanya sebagai pemikir dan analis melainkan
juga sebagai pemuka dan tokoh dalam masyarakat nantinya.
3)
Ketiga,
adalah penting untuk memasukkan mata kuliah atau pelajaran pengetahuan tentang
perbandingan, apakah pengetahuan perbandingan antar agama dan intern agama.
Kenyataannya, tidak ada satu pun agama yang hanya memiliki tafsir tunggal,
melainkan berbagai tafsir. Karena itu pengenalan terhadap pandangan-pandangan
tersebut akan membantu untuk bisa menerima pemikiran dan kebenaran pihak lain.
Dalam hal inia dalah penting untuk memasukkan kandungan lokal tentang tradisi
dan ritual yang hidup di dalam masyarakat tempat pendidikan itu berlangsung ke
dalam kurikulum pendidikan agama. Untuk
menjaga radikalisme tidak berkembang menjadi ekstermisme dan terorisme di
Sumatera Utara, keterlibatan dan peran serta masyarakat dalam proses
eradikalisasi, seperti yang telah dijalankan oleh pemerintah, seharusnya dapat
diperkuat dan ditingkatkan. Ini dapat dilakukan dengan meningkatkan peranan
tokoh agama dan budaya serta peranan institusi keagamaan, baik lokal maupun
nasional, serta kearifan lokal. Kearifan lokal dalam masyarakat komunal dapat
dijadikan media untuk mengoptimalkan dan menguatkan peran masyarakat dalam
penanggulangan kelompok radikal dan teroris dapat menjadi pilihan untuk meminimalisasi
efek negatif yang ditimbulkan oleh pendekatan keamanan
Untuk
program deradikalisasi di Sumatera Utara, beberapa hal dapat dijalankan:
1)
Optimalisasi partisipasi tokoh agama
dalam menjaga tuntutan syariat Islam tidak berkembang menjadi ekstremisme dan
terorisme. Hasil riset yang dilakukan BNPT tahun 2013 sangat jelas menunjukkan
signifikansi tokoh agama dalam proses diseminasi gagasan. Ini menunjukkan peranan
tokoh agama sangat penting dalam proses penyebaran gagasan yang berhubungan
dengan narasi Islamisme.
2)
Menjaga dan mewaspadai
lembaga-lembaga keagamaan lokal dan nasional, institusi yang memperjuangkan
penerapan syariat Islam, agar tidak berkembang menjadi tempat bersemainya ekstremisme
dan terorisme.
3)
Optimalisasi peranan lembaga
keagamaan moderat, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persis.
Keterlibatan lembaga keagamaan lokal, Komite Persiapan Penegakkan Syariat Islam
(KPPSI) dan Wahdah Islamiyah, juga perlu ditingkatkan. Keduanya merupakan
lembaga yang berpengaruh di tengah-tengah masyarakat Sumatera Utara.
4)
Kampanye anti-radikalisme melalui
lembaga pendidikan. Perguruan Tinggi merupakan lembaga strategis yang dapat
dijadikan media anti radikalisme dan terorisme. Perguruan tinggi (universitas)
menjadi salah satu tempat berkembangnya gagasan Islamisme yang dikembangkan
melalui seminar dan halaqah oleh kelompok Islamisme.
5)
Kampus hard approach juga dapat
menjadi tempat strategis bagi penyebaran kontra-narasi Islamisme.
6)
Revitalisasi kearifan lokal.
Masyarakat mempunyai falsafah marsipature hutanabe atau membangun desa asal
bermakna orang Sumatera Utara harus menjaga harga diri dan kehormatan,
mempunyai semangat kolektivitas dan rasa empati yang tinggi terhadap sesama
angggota komunitas. Kedua nilai ini bisa dijadikan dasar untuk membingkai aksi
terror dan kekerasan sebagai perbuatan yang memalukan dan merendahkan harga
diri sekaligus tidak sesuai dengan falsafah yang menjunjung tinggi rasa simpati
dan koletivitas.
7)
Kampanye anti radikalisme dan
terorisme melalui berbagai media. Di Sumatera Utara, selain buku dan brosur,
pesan singkat (SMS) merupakan media yang juga banyak dimanfaatkan oleh generasi
muda dalam memperoleh pengetahuan dan informasi. Oleh karena itu, SMS dapat
menjadi media yang efektif untuk melakukan deradikalisasi kalangan muda.
c. Strategi
1)
Melakukan
pencegahan lewat kearifan local, Indonesia selain dikenal dengan Negara
kepulauan juga dikenal sebagai Negara yang memiliki 1001 macam kebudayaan.
Kearifan local yang dapat kita terapkan dalam mencegah radikalisme ialah dengan
coba saling menyapa antara 1 tetangga dengan tetangga lainnya maksudnya ialah
semakin saling mengenal satu dengan yang lain maka akan semakin tahu kita apa
yang dilakukan tetangga kita dan secara otomatis juga kita dapat
mengidentifikasi apakah yang dilakukan tetangga kita itu satu hal yang postiv
atau tidak, kemudian ialah dengan cara menerima baik setiap tamu atau pendatang
baru dikampung atau dilingkungan kita ini dapat dilakukan dengan cara awal
penyambutan kita dengan tetangga baru yaitu senyum dan tidak memasang prasangka-prasangka
negative terhadap orang yang baru datang atau pendatang dan kemudian jamu dia
selayaknnya dia bak keluarga kita.
2)
Cara
diatas adalah kearifan local yang dimiliki Indonesia dari zaman dahulu. Dahulu
kalla Sisingamaraja, wali songo, dan lainnya mengusir belanda bukan terkait
masalah kemerdekaan bangsa Indonesia itu masih jauh melainkan yang
diperjuangkan dahulu ialah belanda berusaha merusak adab ketimuran kita dengan
memasukkan ideology-ideologi barat dikehidupan masyarakat Indonesia ini yang
membuat sisingamaraja dan kawan-kawan marah lalu mengusir belanda.
3)
Menyapa
sesorang dengan baik, mengajak melakukan perwiritan, gotong royong dan selalu
berpikir positive terhadap seseorang namun tetap waspada adalah sifat-sifat
orang iondonesia yang memiliki sifat ketimuran.
4)
Hal
positive seperti ini dapat menekan angkat tingkat kejahatan terorisme dan issue
radikalisme. Dan cara-cara mengaktifkan kembali kearifan local khususnya
diindonesia sangat berdampak positive dan hal positive ini harus kita ajarkan
pada generasi dikemudian hari agar apa agar mereka dapat meneruskan tradisi
positive ini hinggsa ke massa yang sangat modern nantinya.
d. Peran Kearifan Lokal Dalam Pembangunan
Kearifan
lokal dicirikan dengan dasar kemandirian dan keswadayaan, Memperkuat
partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan, Menjamin daya hidup dan
keberlanjutan, Mendorong teknologi tepat guna, Menjamin tepat guna yang
efektifdari segi biaya dan meberikan kesempatan untuk memahamidan memfasilitasi
perancangan pendekatan program yang sesuai.
Pembangunan
berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat) yang
berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan
generasi masa depan. Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa
Inggris, sustainable development. Salah satu faktor yang harus
dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki
kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan
pembangunan ekonomi dan keadilan
sosial.
Perekonomian
berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang
tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya.
Secara harfiah, pembangunan berkelanjutan mengacu pada upaya
memelihara/mempertahankan kegiatan membangun (development) secara
terus menerus. Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi, serta pada
kenyataannya, pembangunan memiliki dimensi sosial dan politik yang kental.
Pembangunan, dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial dari suatu
masyarakat (society), dimana tujuan tersebut merupakan atribut dari
apa yang ingin dicapai atau dimaksimalkan oleh masyarakat tersebut.
Atribut tersebut dapat mencakup: kenaikan pendapatan per kapita, perbaikan
kondisi gizi dan kesehatan, pendidikan, akses kepada sumberdaya, distribusi
pendapatan yang lebih merata, dan sebagainya. Sehingga konsep
berkelanjutan dapat diartikan sebagai persyaratan umum dimana karakter vektor
pembangunan tadi tidak berkurang sejalan dengan waktu.
Tiga
tujuan inti pembangunan yaitu peningkatan ketersediaan serta perluasan
distribusi berbagai barang kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, papan,
kesehatan, dan perlindungan keamanan. Peningkatan standar hidup yang tidak
hanya berupa peningkatan pendapatan tetapi juga meliputi penyediaan lapangan
kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai
kultural dan kemanusiaan yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki
kesejahteraan materiil melainkan juga untuk menumbuhkan harga diri pada pribadi
dan bangsa yang bersangkutan. Perluasaan pilihan-pilihan ekonomi dan sosial
bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan
mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan bukan hanya terhadap
orang atau Negara lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi
merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.
Sebagai
contoh studi kasus yang dapat memberikan suatu pencerahan bahwa potensi
kearifan lokal dapat membawa perekonomian kearah yang berkelanjutan di daerah
Kampung Sarongge. Masyarakat menggunakan Leuit (lumbung penyimpanan
padi atau gabah hasil panen komunitas petani) untuk menjadikan hasil panen
sebagai cadang dimasa paceklik. Selama puluhan tahun dari genersi kegenerasi
masyarakat kampung ini mempertahankan tradisi menyimpan padi dalam lumbung
keluarga baik untuk kepentingan konsumsi maupun benih musim tanam berikutnya.
Selama budaya ini dipertahanan tidak ada masyarakat kampung Sarongge yang
menderita kelaparan karena tidak memiliki simpanan makanan.
F. KESIMPULAN
Terdapat
banyak pranata sosial di tengah masyarakat, dan salah satu di antaranya adalah
tokoh adat. Peran tokoh adat sangatlah penting dalam penyelesaian masalah yang
muncul di tengah masyarakat. Tokoh adat berperan cukup penting dalam
pengendalian sosial, yakni mengendalikan sikap dan tingkah lalu masyarakat agar
saesaui dengan adat dan norma yang berlaku. Pengendalian sosial terwujud dalam
pemgawasan dari suatu ke kelompok lainnya guna mengerahkan peran-peran individu
atau kelompok sebagai bagian dari masyarakat agar tercipta situasi kehidupan
bermasyarakat yang aman, tertib, dan nyaman. Adapun motivasi penggerak
pengendalian sosial oleh tokoh adat adalah untuk menjaga kearifan lokal yang
telah hidup berdampingan dengan masyarakat sejak lama. Adapun kearifan lokal
sendiri adalah suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup,
pandangan hidup, dan kearifan hidup.
Di
Indonesia, kearifan lokal tidak hanya berlaku secara lokal pada budaya atau
etnik tertentu, tetapi juga bersifat lintas budaya yang kini kita kenal sebagai
konsep Bhineka Tunggal Ika. Di dalam konsep Bhineka Tunggal Ika terdapat
kearifan lokal berupa ajaran hidup gotong royong, toleransi, kerja keras, dan
saling menghormati. Kearifan lokal dapat dijadikan rujukan dalam penyelesaian
masalah di masyarakat. Salah satu contohnya adalah tradisi 'pela', 'gandong,
makan patita', dan 'masohi' di Ambon adalah kearifan lokal setempat yang
bersifat positif dan konstruktif dalam menjaga toleransi dan mendorong
rekonsiliasi penangan konflik antar agama di sana. Dalam upaya rekonailasi
terkait, diungkapkan bahwa ada keterlibatan tokoh agama dan tokoh adat dalam
mendorong hadirnya peningkatan apresiasi masyarakat terhadap kearifan lokal.
Ketika
kearifan lokal setempat mulai kembali menarik atensi masyarakat, lambat lain
konflik antar agama yang terjadi di Ambon pun mulai berangsur mereda dan bahkan
hilang sama sekali. Hal di atas membuktikan bahwa kearifan lokal yang digiatkan
oleh tokoh adat dan tokoh-tokoh panutan lainnya mampu membantu mendorong upaya
penanggulangan konflik, termasuk radikalisme. Hal ini dikarenakan kearifan
lokal mengena di hati masyarakat sehingga mudah untuk dimanfaatkan sebagai
sarana penyelesaian konflik. Untuk itu, diharapkan seluruh masyarakat di
Indonesia kembali menghidupkan budaya-budaya lokal serta kearifan lokal yang
ternyata dapat difungsikan sebagai alat perekat kerukunan masyarakat dengan
berbagai perbedaannya. Pendekatan multikultural adakah alternatif penting yang
dapat dimanfaatkan untuk meminimalisir konflik di negeri ini. Radikalisme dan
terorisme dapat dilihat terkait dengan persebaran keberagaman yang kemudian
menggelorakan sentiment anti budaya. Mereka (terorisme dan radikalisme) tidak
melihat bahwa kondisi kemajukan bangsa Indonesia merupakan khazanah lokalitas
yang telah terbangun sejak lama. Dengan kembali mengingat serta mengamalkan
kearifan lokal dengan sebaik-baiknya, niscaya kita mampu membangun kekuatan
nasional yang kokoh dalam menghalau radikalisme, apalagi terorisme.
Kearifan lokal merupakan
sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu, dan mencerminkan
cara hidup suatu masyarakat. Local wisdom /kearifan lokal dapat dipahami
sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya; Al-Ma’ruf
bermakna kebaikan. Makna ini mengandung sebagai sesuatu yang dipandang hidup
dalam masyarakat dan dipandang bernilai baik. Karena itu, ada kaidah fiqhiyah
yang dikenal dengan al-‘Adat Muhakkamah. Tradisi yang baik -sesuai
prinsip-prinisp hukum Islam- dapat dijadikan sebagai pertimbangan hukum. Tentu
saja tradisi yang dimaksud adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip agama Islam. Dengan demikian nilai-nilai kearifan lokal dapat
dipandang sebagai unsur yang dapat mendukung penciptaan adat yang bakal menjadi
pertimbangan hukum.
Kearifan
lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang
yang berevolusi bersama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang
sudah dialami bersama. Oleh karena itu sangat strategis apabila dijadikan suatu
terobosan terbaru dalam pembangunan karena masyarakat mengetahui apa yang
dibutuhkan dan baik untuk mereka. Kearifan lokal yang dikelola dengan
sinergitas dapat menjadi motivasi yang kuat untuk mendapatkan insentif yang
paling bernilai untuk pembangunan jangka panjang.
G. REKOMENDASI
1.
Menghidupkan kembali lembaga-lembaga masyarakat dan
bahkan ritual yang bersifat lokal dan memiliki akar budaya yang kuat di dalam
masyarakat
2.
Pelibatan
paratokoh agama dan tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh luas di wilayahnya
(lokal) itu sendiri dalam proses pendidikan agama di perguruan tinggi secara
langsung
e.
Optimalisasi peranan lembaga
keagamaan moderat, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persis.
Keterlibatan lembaga keagamaan lokal, Komite Persiapan Penegakkan Syariat Islam
(KPPSI) dan Wahdah Islamiyah, juga perlu ditingkatkan. Keduanya merupakan
lembaga yang berpengaruh di tengah-tengah masyarakat Sumatera Utara.
f.
Memasukkan
mata kuliah atau pelajaran pengetahuan tentang perbandingan, apakah pengetahuan
perbandingan antar agama dan intern agama
g.
Kampanye anti-radikalisme melalui
lembaga pendidikan
h.
Revitalisasi kearifan lokal
i.
Kampanye anti radikalisme dan
terorisme melalui berbagai media
j.
Diperlukan kesinergisan antara
stakeholder yang terkait agar kearifan lokal dapat terlaksana dengan maksimal
guna pembangunan yang lebih baik.
- Diperlukannya manajemen kolaboratif dalam pengembangan
kearifan Lokal.
- Perlu diterapkan suatu konsep keberlanjutan,
kebersamaan, keanekaragaman hayati, kepatuhan terhadap ukum adat dan
subsisten dalam pengembangan kearifan lokal agar menghasilkan suatu
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, yang mencakup ekonomi
yang bermanfaat, secara ekologis tidak merusak dan secara budaya
menghormati nilai-nilai kemanusiaan.
PUSTAKA
Bahan Bacaan :
Ahnaf,
Mohammad Iqbal (2012), “ContestingMorality: Youth Piety and Pluralism in
Indonesia.” The Kosmopolis Institute (University for Humanistic
Studies):Netherlands.
Armstrong,
Karen (2001), Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam,
Kristen dan Yahudi(terj.). Bandung: Mizan.
Budianti,
Erni (2012). “Pluralism Collepses: A Studyof the Jama’ah Ahmadiyah
Indonesiaand Its Persecution,” Asia ResearchInstitute,
Working Paper Series No. 117: 20-21.
Crouch,
Melisaa (2012). ”Judicial Reviewand Religious Freedom: The Case of Indonesian
Ahmadis”, Sydney Law Review [VOL 34:545]: 556-557.
Fadl,
Khaled Abou El (2005). The Great Theft: Wrestling, Islam from
theExtremists. New York: harperCollins Publisher.
Ichwan,
Moch. Nur (2005). “‘Ulama, State and Politics: Majlies Ulama Indonesia
After Suharto.”Koninklijke Brill NV, Lieden, Islamic Law Society 2,
1 (45-72): 56-62.
Ichwan,
Moch. Nur (2001). “Official Ulema And the Politics ofRe-Islamization: the
Majelis Permusyawaratan Ulama, Syari’atization andContested Authority in
Post-New Order Aceh.”Journal of Islamic Studes 22:2 (2011;
183-214): 184-185.
Jones,
Sidney et al. (2006). Strategic, Political and Social Perspectiveson
Radical Ideologies. Singapore: MUIS.
Juergensmeyer,
Mark (2000). TerorAtas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama (terj.).
Bandung: MizanPress and Anima Publishing.
Reuter,
Thomas & Alexander Horstmann (eds) (2013). Faith in The Future:
Understanding theRevitalization of Religions and Cultural Traditions in Asia. Leiden:
Brill2013.
Suaedy,
Ahmad (2011). “Religious Freedom and Violencein Indonesian” dalam Ota Atsushi,
Okamoto Masaaki, dan Ahmad Suaedy (eds.) Islamin Contention:
Rethinking Islam and the State in Indonesia. Jakarta: Centerfor
Southeast Asian Studies (CSEAS) Kyoto University; Jakarta: The WahidInstitute;
Taipei: Center for Asia-Pacific Area Studies (CAPAS) Taipei University.Catatan
kaki no. 22, h. 149.
Ahmad
Suaedy et. al. (2010), Islam, Constitution and Human Rights.
Jakarta: Wahid Institute.
Wiktorowicz,
Quintan (2005). “A Geneology ofRadical Islam,” Studies in Conflict
&Terrorism(Routledge), 28:75-97.
ICG
Asia Briefing(2010), “Indonesia: “Kristenisasi” dan Intoleransi.” International
Crisis Group, Jakarta/Brussels,24 Nov.