Jumat, 18 November 2016

Revilatalisasi Pancasila Dalam Rangka Mencegah Berkembangnya Faham Radikalisme




“Apakah kelemahan kita adalah kurang percaya diri sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri dan kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah rakyat gotong royong. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya."
[Ir. Soekarno, Pidato Hari Pahlawan 10 November 1961]




I.        Latar Belakang

Paham Radikalisme, ekstrim dan terorisme merupakan salah satu ancaman nyata terhadap kehidupan dunia global. Dampak dari gerakan radikal dapat berimplikasi terhadap dinamika ekonomi dan politik yang dapat mengalami guncangan yang tidak kecil, sehingga mampu menciptakan rasa tidak aman pada masyarakat luas. Kekerasan yang mengatasnamakan agama / keyakinan sering sering dikaitkan ke dalam ranah radikalisme, semenjak dicetuskannya program Global War on Terror (GWoT) oleh Amerika Serikat setelah peristiwa 11 September 2001. Label kekerasan dan ekstrim yang melekat menciptakan pandangan/asumsi bahwa antara radikalisme dan terorisme (khususnya yang mengatasnamakan agama) memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Maka dari itu kelompok kami akan membahas mengenai fenomena paham radikalisme, ekstrim dan terorisme di domestic dan dunia.

“Radikalisme (dari bahasa Latin radix yang berarti “akar”) adalah istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung Gerakan Radikal. Dalam sejarah, gerakan yang dimulai di Britania Raya ini meminta reformasi sistem pemilihan secara radikal. Gerakan ini awalnya menyatakan dirinya sebagai partai kiri jauh yang menentang partai kanan jauh. Begitu “radikalisme” historis mulai terserap dalam perkembangan liberalisme politik, pada abad ke-19 makna istilah radikal di Britania Raya dan Eropa daratan berubah menjadi ideologi liberal yang progresif”[2].

Melalui penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa asal muasal tindakan radikal muncul dari salah satu aliran politik bukan dari ajaran agama tertentu. Dengan kata lain dapat pula kita nyatakan bahwa gerakan radikal tidak bersumber dari ajaran agama. Namun bisa saja terjadi kesalah pahaman dalam agama menimbulkan gerakan radikal. Kebiasan dalam stigma Radikalisme, suatu kelompok akan menuduh kelompok lain sebagai kelompok radikal, belum ada standar yang jelas dalam penilaian kapan suatu kelompok atau pribadi tertentu disebut sebagai orang atau kelompok yang berpaham radikal. Selama ini wewenang penilaian selalu diserahkan pada presepsi media masa atau pengaruh kekuatan politik. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan membaca sejarah radikalisme dari masa ke masa.

Dari sisi bahasa, istilah radikal sebenarnya netral, bisa positif bisa negatif. Mitsuo Nakamura misalnya, dalam sebuah tulisannya yang dipublikasikan di Asian Southeast Asian Studies Vo. 19, No. 2 th. 1981 menyebut bahwa Nahdlatul Ulama adalah organisasi yang berwatak tradisionalisme radikal. Istilah radikal dipilih oleh Mitsuo Nakamura untuk menggambarkan bahwa NU adalah organisasi yang otonom dan independen, bukan derivasi dari organisasi yang lain. NU juga mempunyai sikap politik yang kritis, terbuka, dan mendasar menghadapi status quo penguasa ketika itu yaitu presiden Soeharto. NU juga memperlihatkan dengan karakteristik keagamaan yang tetap konsisten. Dengan karakteristiknya yang bersifat mendasar inilah NU disebut radikal.

Istilah radikal juga digunakan sebagai kebalikan dari istilah moderat. Dalam penggunaannya, kata moderat menggambarkan suatu sikap mengambil jalan tengah ketika menghadapi konflik dengan gagasan atau ide lain, dengan kata lain cenderung kompromistis atau kooperatif. Sebaliknya, radikal berarti secara konsisten mempertahankan ide secara utuh ketika dihadapkan pada konflik dengan ide lain, atau dengan kata lain non-kooperatif. Sikap radikal dan moderat keduanya mempunyai contoh konkrit dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia.

Dalam sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia, dikenal dua strategi politik organisasi kebangsaan dalam kaitannya untuk mewujudkan Indonesia merdeka yaitu strategi non-kooperatif (radikal) dan kooperatif (moderat). Strategi radikal artinya satu tindakan penentangan secara keras terhadap kebijakan pemerintah kolonial serta tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Kaum radikal berpendapat bahwa untuk mencapai Indonesia merdeka haruslah dengan jerih payah anak bangsa sendiri dan bukan atas adanya campur tangan dari bangsa asing (Belanda). Sebaliknya moderat artinya sebagai satu sikap lunak terhadap kebijakan pemerintah kolonial (Belanda) di Indonesia.

Kaum moderat berpandangan bahwa untuk mencapai Indonesia merdeka tidak dapat lepas dari kerja sama dengan berbagai bangsa yang ada di Indonesia saat itu, tidak terkecuali dengan pemerintah kolonial (Belanda). Adanya dua strategi ini dua-duanya sama-sama mempunyai tujuan kahir yang sama, yaitu untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Dalam konteks ini menunjukkan bahwa istilah radikal dan moderat sama-sama mempunyai pengertian yang positif. Contoh yang lain, proklamasi 17 Agustus 1945 tidak akan terwujud tanpa ada tekanan kaum radikal, yang dimainkan oleh kelompok pemuda. Aksi penculikan Soekarno-Hatta di Rengasdengklok merupakan tindakan radikal yang dilakukan oleh kalangan pemuda pejuang kemerdekaan.

II.      Pemicu Radikal

penganut paham radikalisme dan terorisme merupakan generasi yang mundur. Terjerumusnya mereka tak lepas dari tiga pemicu, yakni faktor domestik, faktor internasional dan juga faktor kultural. “Seseorang yang memiliki paham ekstrim atau pun radikalisme itu orang-orang yang mundur, artinya mereka itu salah mengartikan apa yang dimaksud radikal. Sebenarnya radikal itu penting asalkan untuk hal-hal yang positif, bukan radikal untuk mencelakai atau merusah sebuah tatanan sebuah Negara.” Untuk mencegah dan memberantas paham radikalisme dan terorisme di Indonesia, harus dilakukan penguatan wawasan kebangsaan kepada masyarakat. jika wawasan kebangsaan masyarakat Indonesia lebih kuat, paham radikalisme dan terorisme tidak akan bisa masuk ke Bumi Nusantara.

Sebenarnya dengan ideologi Pancasila, generasi muda Indonesia sudah memiliki landasan kuat untuk membendung masuknya paham radikalisme tersebut. Bahkan ia menilai bahwa sangat kecil ruang bagi generasi muda Indonesia untuk mengikuti dan memiliki paham yang mengarah pada aksi terorisme tersebut. “Kecil sekali ruangnya untuk hal tersebut karena orang sekarang ini semakin logis. Karena ini sebenarnya itu orang-orang yang bermasalah dengan dirinya, lalu kemudian menarik dirinya seakan menjadi korban dari sebuah sistem. Sebenarnya yang bermasalah itu adalah dirinya sendiri.”

Penyebab terjadinya aksi terorisme itu, disebabkan oleh tiga faktor, yakni faktor domestik, faktor internasional dan juga faktor kultural. Faktor domestik yakni masalah kemiskinan, ketidakadilan dan kecewa kepada pemerintah menjadi pemicu orang-orang itu bergabung ke kelompok teroris atau ISIS. Lalu faktor internasional dikarenakan ketidakadilan global, politik luar negeri yang arogan serta imperialisme modern negara super power. Dan yang terakhir yakni faktor kultural yakni masalah pemahaman sempit tentang kitab suci, terutama Alquran yang ditafsirkan secara bebas. Faktor yang terakhir ini yang selama ini sering terjadi dalam tindakan terorisme, mereka selalu mengatasnamakan agama, ini yang selama ini keliru.
III.    Kearifan Lokal Nuasantara

Menurut Antariksa (2009), kearifan lokal merupakan unsur bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan (perkotaan) dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa. Dari penjelasan beliau dapat dilihat bahwa kearifan lokal merupakan langkah penerapan dari tradisi yang diterjemahkan dalam artefak fisik. Hal terpenting dari kearifan lokal adalah proses sebelum implementasi tradisi pada artefak fisik, yaitu nilai-nilai dari alam untuk mengajak dan mengajarkan tentang bagaimana ‘membaca’ potensi alam dan menuliskannya kembali sebagai tradisi yang diterima secara universal oleh masyarakat, khususnya dalam berarsitektur.

Nilai tradisi untuk menselaraskan kehidupan manusia dengan cara menghargai, memelihara dan melestarikan alam lingkungan. Hal ini dapat dilihat bahwa semakin adanya penyempurnaan arti dan saling mendukung, yang intinya adalah memahami bakat dan potensi alam tempatnya hidup; dan diwujudkannya sebagai tradisi. Definisi kearifan lokal secara bebas dapat diartikan nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah maka kita harus bisa memahami nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam wilayah tersebut.

Kalau mau jujur, sebenarnya nilai-nilai kearifan lokal ini sudah diajarkan secara turun temurun oleh orang tua kita kepada kita selaku anak-anaknya. Budaya gotong royong, saling menghormati dan tepa salira merupakan contoh kecil dari kearifan lokal. Dari definisi-definisi itu, kita dapat memahami bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi. Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu muncul lewat cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum setempat.

Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal. Hal itu dapat dilihat dari ekspresi kearifan lokal dalam kehidupan setiap hari karena telah terinternalisasi dengan sangat baik. Tiap bagian dari kehidupan masyarakat lokal diarahkan secara arif berdasarkan sistem pengetahuan mereka, dimana tidak hanya bermanfaat dalam aktifitas keseharian dan interaksi dengan sesama saja, tetapi juga dalam situasi-situasi yang tidak terduga seperti bencana yang datang tiba-tiba.
Pertanyaannya. Mampukah kearifan lokal mencegah dan menangkal radikalisme. Mengutip ungkapkan Guru besar Universitas Udayana Prof. I Wayan Windia. Dimana ia berpendapat nilai-nilai budaya dan kearifan lokal di sebagian besar daerah di Indonesia merupakan salah satu strategi untuk mencegah dan menangkal radikalisme. Masalahnya bangsa Indonesia belum maksimal memecahkan masalah sosial dan kultural sehingga kearifan lokal belum mendapat perhatian dengan baik, katanya pada acara Sosialisasi Pencegahan Terorisme di Sanur, Denpasar. Ia mengemukakan bahwa peraturan perundang-undangan di Indonesia selama ini sangat banyak, baik yang dikeluarkan pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota namun belum mampu melindungi dan melelihara kebudayaan dan kearifan lokal.

Menurut Prof. I Wayan Windia, jika budaya dan kearifan lokal itu dapat terpelihara dengan baik, maka radikalisme dan terorisme dapat dihindari dan ditekan sekecil mungkin. Kearifan lokal merupakan fenomena yang luas dan komprehensif. Cakupan kearifan lokal cukup banyak dan beragam sehingga sulit dibatasi oleh ruang. Kearifan tradisional dan kearifan kini berbeda dengan kearifan lokal. Kearifan lokal lebih menekankan pada tempat dan lokalitas dari kearifan tersebut sehingga tidak harus merupakan sebuah kearifan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Maka dari itu, kita berharap kepada pemerintah untuk respon terhadap kearifan lokal ini. Lindungi dan perkuatlah sistem kearifan lokal, sehingga bisa dijadikan sebagai senjata untuk menangkal ‘serangan’ terorisme dan radikalisme di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

IV.   Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila

Revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat mampu menekan pemahaman tentang radikalisme yang diiringi dengan tindak kekerasan mengingat nilai-nilai Pancasila dapat menjaga kerukunan umat beragama. "Masuknya paham radikalisme ke Indonesia patut diwaspadai karena radikalisme selalu berkaitan dengan konflik terbuka yang diiringi tindakan kekerasan. Ini dapat merusak kerukunan umat beragama." Faktor pendorong terjadinya konflik agama, yakni kesenjangan ekonomi, ketidakadilan sosial, pengakomodiran agama sebagai alat untuk mempertahankan suatu kekuasaan dan merebaknya budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai moral sebagai dampak dari arus globalisasi.

Untuk mencegah terjadinya konflik agama dengan kelompok lain, maka diperlukan penguatan wawasan kebangsaan, cinta tanah air, revitalisasi kearifan lokal sebagai instrumen penyaring budaya asing, menggalakkan dialog antaragama dan antarbudaya, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan melalui pelibatan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Penguatan ekonomi juga perlu dilakukan agar tak terjadi ketimpangan social.

Pemerintah daerah, memiliki peranan yang sangat penting dalam penanganan paham radikal, diantaranya, peningkatan partisipasi sosial masyarakat, Pemda bekerja sama dengan masyarakat untuk cegah berkembangnya paham radikal, pendidikan dan pemahaman tentang karakter bangsa, peningkatan peran tokoh masyarakat dan lainnya.

V.     Rekomendasi

Penerapan ideologi Pancasila diharapkan bisa menjadi tolok ukur atau landasan dalam mengadopsi nilai-nilai yang berasal dari luar. Paham, teori atau nilai dari luar yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, tentu tidak boleh digunakan di Indonesia. Harus ada kesadaran dari berbagai pihak, terutama lembaga pendidikan, untuk menjauhkan paham atau teori dari luar yang tidak sesuai dengan Pancasila dalam kurikulum pengajaran.

Mata pelajaran atau mata kuliah harus sesuai dengan kepribadian bangsa. Untuk itu para pendidik jangan mengambil begitu juga teori baru dari luar yang tidak sesuai dengan Pancasila. Tidak hanya membuat bingung murid atau mahasiswa, tetapi juga bisa menyesatkan mereka. Apalagi itu ajaran keagamaan yang cenderung radikal. Penguatan ideologi Pancasila serta pemahaman agama yang benar mutlak harus dilakukan karena suka atau tidak saat ini bangsa Indonesia sudah dirasuki paham dari luar negeri. Buktinya sekarang timbul penyimpangan seperti LGBT dan juga aksi terorisme yang mengatasnamakan agama.

Kita bisa belajar dari banyak negara seperti China, Korea Selatan, Jepang dan lainnya. Mereka mengedepankan kekuatan budaya menjadi pendorong pembangunan perkotaan mereka, yang kini menjadi kebanggan bagi negara-negara tersebut. Demi menjaga keutuhan bangsa dari virus radikalisme, masalah ini harus ditangani secara bersama sama oleh seluruh komponen bangsa. Terutama dalam bidang pendidikan yang berperan besar dalam penumbuhan karakter generasi muda. Untuk menangkal ideologi radikalisme harus dilakukan melalui penguatan dan revitalisasi implementasi nilai nilai pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harapan kita jangan sampai virus radikalisme berkembang, bahkan mengakar, dan menyebar dikalangan generasi muda kita. Jika mereka sudah terjangkit virus ini, maka mereka akan kehilangan masa depan yang cerah. Karena mereka akan berpusat pada tindakan tindakan anarkis, separatis hingga terorisme sehingga menjadikan mereka generasi yang menghancurkan negaranya sendiri. Ingat, “Generasi Muda Adalah harapan Bangsa dan Negara!”


-----oOo-----


[1] Disampaikan dalam acara Forum Koordinasi dan Sinkronisasi Desk Pemantapan Wawasan Kebangsaan “Implementasi Semangat Kepahlawanan guna mencegah faham Radikalisme dan Terorisme dalam rangka memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa, diselenggarakan oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Komando Daerah Militer I / Bukit Barisan, Selasa, 8 November 2016, Auditorium UNIMED Medan.

[2] (http://id.wikipedia.org/wiki/Radikalisme_%28sejarah%29).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar