“Apakah kelemahan kita
adalah kurang percaya diri sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa
penjiplak luar negeri dan kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini
asalnya adalah rakyat gotong royong. Bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghormati jasa pahlawannya."
[Ir. Soekarno, Pidato Hari
Pahlawan 10 November 1961]
I.
Latar Belakang
Paham Radikalisme, ekstrim dan terorisme merupakan
salah satu ancaman nyata terhadap kehidupan dunia global. Dampak dari gerakan
radikal dapat berimplikasi terhadap dinamika ekonomi dan politik yang dapat
mengalami guncangan yang tidak kecil, sehingga mampu menciptakan rasa tidak
aman pada masyarakat luas. Kekerasan yang mengatasnamakan agama / keyakinan
sering sering dikaitkan ke dalam ranah radikalisme, semenjak dicetuskannya
program Global War on Terror (GWoT) oleh Amerika Serikat setelah peristiwa 11
September 2001. Label kekerasan dan ekstrim yang melekat menciptakan
pandangan/asumsi bahwa antara radikalisme dan terorisme (khususnya yang
mengatasnamakan agama) memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Maka
dari itu kelompok kami akan membahas mengenai fenomena paham radikalisme, ekstrim
dan terorisme di domestic dan dunia.
“Radikalisme (dari bahasa Latin radix yang berarti “akar”) adalah istilah yang digunakan pada akhir
abad ke-18 untuk pendukung Gerakan Radikal. Dalam sejarah, gerakan yang dimulai
di Britania Raya ini meminta reformasi sistem pemilihan secara radikal. Gerakan
ini awalnya menyatakan dirinya sebagai partai kiri jauh yang menentang partai
kanan jauh. Begitu “radikalisme” historis mulai terserap dalam perkembangan
liberalisme politik, pada abad ke-19 makna istilah radikal di Britania Raya dan
Eropa daratan berubah menjadi ideologi liberal yang progresif”[2].
Melalui penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa asal
muasal tindakan radikal muncul dari salah satu aliran politik bukan dari ajaran
agama tertentu. Dengan kata lain dapat pula kita nyatakan bahwa gerakan radikal
tidak bersumber dari ajaran agama. Namun bisa saja terjadi kesalah pahaman
dalam agama menimbulkan gerakan radikal. Kebiasan dalam stigma Radikalisme,
suatu kelompok akan menuduh kelompok lain sebagai kelompok radikal, belum ada
standar yang jelas dalam penilaian kapan suatu kelompok atau pribadi tertentu
disebut sebagai orang atau kelompok yang berpaham radikal. Selama ini wewenang
penilaian selalu diserahkan pada presepsi media masa atau pengaruh kekuatan
politik. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan membaca sejarah radikalisme dari
masa ke masa.
Dari sisi bahasa, istilah radikal sebenarnya netral, bisa
positif bisa negatif. Mitsuo Nakamura
misalnya, dalam sebuah tulisannya yang dipublikasikan di Asian Southeast
Asian Studies Vo. 19, No. 2 th. 1981 menyebut bahwa Nahdlatul Ulama adalah
organisasi yang berwatak tradisionalisme radikal. Istilah radikal dipilih oleh Mitsuo Nakamura untuk menggambarkan
bahwa NU adalah organisasi yang otonom dan independen, bukan derivasi dari
organisasi yang lain. NU juga mempunyai sikap politik yang kritis, terbuka, dan
mendasar menghadapi status quo penguasa ketika itu yaitu presiden Soeharto. NU
juga memperlihatkan dengan karakteristik keagamaan yang tetap konsisten. Dengan
karakteristiknya yang bersifat mendasar inilah NU disebut radikal.
Istilah radikal juga digunakan sebagai kebalikan dari istilah
moderat. Dalam penggunaannya, kata moderat menggambarkan suatu sikap mengambil
jalan tengah ketika menghadapi konflik dengan gagasan atau ide lain, dengan
kata lain cenderung kompromistis atau kooperatif. Sebaliknya, radikal berarti
secara konsisten mempertahankan ide secara utuh ketika dihadapkan pada konflik
dengan ide lain, atau dengan kata lain non-kooperatif. Sikap radikal dan
moderat keduanya mempunyai contoh konkrit dalam sejarah pergerakan nasional
Indonesia.
Dalam sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia, dikenal dua
strategi politik organisasi kebangsaan dalam kaitannya untuk mewujudkan
Indonesia merdeka yaitu strategi non-kooperatif (radikal) dan kooperatif
(moderat). Strategi radikal artinya satu tindakan penentangan secara keras
terhadap kebijakan pemerintah kolonial serta tidak mau bekerja sama dengan pemerintah
kolonial. Kaum radikal berpendapat bahwa untuk mencapai Indonesia merdeka
haruslah dengan jerih payah anak bangsa sendiri dan bukan atas adanya campur
tangan dari bangsa asing (Belanda). Sebaliknya moderat artinya sebagai satu
sikap lunak terhadap kebijakan pemerintah kolonial (Belanda) di Indonesia.
Kaum moderat berpandangan bahwa untuk mencapai Indonesia
merdeka tidak dapat lepas dari kerja sama dengan berbagai bangsa yang ada di
Indonesia saat itu, tidak terkecuali dengan pemerintah kolonial (Belanda).
Adanya dua strategi ini dua-duanya sama-sama mempunyai tujuan kahir yang sama,
yaitu untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Dalam konteks ini menunjukkan bahwa
istilah radikal dan moderat sama-sama mempunyai pengertian yang positif. Contoh
yang lain, proklamasi 17 Agustus 1945 tidak akan terwujud tanpa ada tekanan
kaum radikal, yang dimainkan oleh kelompok pemuda. Aksi penculikan
Soekarno-Hatta di Rengasdengklok merupakan tindakan radikal yang dilakukan oleh
kalangan pemuda pejuang kemerdekaan.
II. Pemicu Radikal
penganut paham radikalisme dan terorisme merupakan
generasi yang mundur. Terjerumusnya mereka tak lepas dari tiga pemicu, yakni
faktor domestik, faktor internasional dan juga faktor kultural. “Seseorang yang
memiliki paham ekstrim atau pun radikalisme itu orang-orang yang mundur,
artinya mereka itu salah mengartikan apa yang dimaksud radikal. Sebenarnya
radikal itu penting asalkan untuk hal-hal yang positif, bukan radikal untuk
mencelakai atau merusah sebuah tatanan sebuah Negara.” Untuk mencegah dan
memberantas paham radikalisme dan terorisme di Indonesia, harus dilakukan
penguatan wawasan kebangsaan kepada masyarakat. jika wawasan kebangsaan
masyarakat Indonesia lebih kuat, paham radikalisme dan terorisme tidak akan
bisa masuk ke Bumi Nusantara.
Sebenarnya dengan ideologi Pancasila, generasi muda Indonesia
sudah memiliki landasan kuat untuk membendung masuknya paham radikalisme
tersebut. Bahkan ia menilai bahwa sangat kecil ruang bagi generasi muda
Indonesia untuk mengikuti dan memiliki paham yang mengarah pada aksi terorisme
tersebut. “Kecil sekali ruangnya untuk hal tersebut karena orang sekarang ini
semakin logis. Karena ini sebenarnya itu orang-orang yang bermasalah dengan
dirinya, lalu kemudian menarik dirinya seakan menjadi korban dari sebuah
sistem. Sebenarnya yang bermasalah itu adalah dirinya sendiri.”
Penyebab terjadinya aksi terorisme itu, disebabkan
oleh tiga faktor, yakni faktor domestik, faktor internasional dan juga faktor
kultural. Faktor domestik yakni masalah kemiskinan, ketidakadilan dan kecewa
kepada pemerintah menjadi pemicu orang-orang itu bergabung ke kelompok teroris
atau ISIS. Lalu faktor internasional dikarenakan ketidakadilan global, politik
luar negeri yang arogan serta imperialisme modern negara super power. Dan yang
terakhir yakni faktor kultural yakni masalah pemahaman sempit tentang kitab
suci, terutama Alquran yang ditafsirkan secara bebas. Faktor yang terakhir ini
yang selama ini sering terjadi dalam tindakan terorisme, mereka selalu
mengatasnamakan agama, ini yang selama ini keliru.
III. Kearifan Lokal Nuasantara
Menurut Antariksa (2009), kearifan lokal merupakan unsur
bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi
bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan
(perkotaan) dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa. Dari penjelasan beliau
dapat dilihat bahwa kearifan lokal merupakan langkah penerapan dari tradisi
yang diterjemahkan dalam artefak fisik. Hal terpenting dari kearifan lokal
adalah proses sebelum implementasi tradisi pada artefak fisik, yaitu
nilai-nilai dari alam untuk mengajak dan mengajarkan tentang bagaimana
‘membaca’ potensi alam dan menuliskannya kembali sebagai tradisi yang diterima
secara universal oleh masyarakat, khususnya dalam berarsitektur.
Nilai tradisi untuk menselaraskan kehidupan manusia dengan
cara menghargai, memelihara dan melestarikan alam lingkungan. Hal ini dapat
dilihat bahwa semakin adanya penyempurnaan arti dan saling mendukung, yang
intinya adalah memahami bakat dan potensi alam tempatnya hidup; dan
diwujudkannya sebagai tradisi. Definisi kearifan lokal secara bebas dapat
diartikan nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal
ini berarti, untuk mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah maka kita
harus bisa memahami nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam wilayah
tersebut.
Kalau mau jujur, sebenarnya nilai-nilai kearifan lokal ini
sudah diajarkan secara turun temurun oleh orang tua kita kepada kita selaku
anak-anaknya. Budaya gotong royong, saling menghormati dan tepa salira
merupakan contoh kecil dari kearifan lokal. Dari definisi-definisi itu, kita
dapat memahami bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh
para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan
pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan
itu dari generasi ke generasi. Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu
muncul lewat cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual,
dan juga aturan atau hukum setempat.
Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika
masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan
mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah,
kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal. Hal itu dapat
dilihat dari ekspresi kearifan lokal dalam kehidupan setiap hari karena telah
terinternalisasi dengan sangat baik. Tiap bagian dari kehidupan masyarakat
lokal diarahkan secara arif berdasarkan sistem pengetahuan mereka, dimana tidak
hanya bermanfaat dalam aktifitas keseharian dan interaksi dengan sesama saja,
tetapi juga dalam situasi-situasi yang tidak terduga seperti bencana yang
datang tiba-tiba.
Pertanyaannya. Mampukah kearifan lokal mencegah dan menangkal
radikalisme. Mengutip ungkapkan Guru besar Universitas Udayana Prof. I Wayan
Windia. Dimana ia berpendapat nilai-nilai budaya dan kearifan lokal di sebagian
besar daerah di Indonesia merupakan salah satu strategi untuk mencegah dan
menangkal radikalisme. Masalahnya bangsa Indonesia belum maksimal memecahkan
masalah sosial dan kultural sehingga kearifan lokal belum mendapat perhatian
dengan baik, katanya pada acara Sosialisasi Pencegahan Terorisme di Sanur,
Denpasar. Ia mengemukakan bahwa peraturan perundang-undangan di Indonesia
selama ini sangat banyak, baik yang dikeluarkan pemerintah pusat, pemerintah
provinsi maupun kabupaten/kota namun belum mampu melindungi dan melelihara
kebudayaan dan kearifan lokal.
Menurut Prof. I Wayan Windia, jika budaya dan kearifan lokal
itu dapat terpelihara dengan baik, maka radikalisme dan terorisme dapat
dihindari dan ditekan sekecil mungkin. Kearifan lokal merupakan fenomena yang
luas dan komprehensif. Cakupan kearifan lokal cukup banyak dan beragam sehingga
sulit dibatasi oleh ruang. Kearifan tradisional dan kearifan kini berbeda
dengan kearifan lokal. Kearifan lokal lebih menekankan pada tempat dan
lokalitas dari kearifan tersebut sehingga tidak harus merupakan sebuah kearifan
yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Maka dari itu, kita berharap
kepada pemerintah untuk respon terhadap kearifan lokal ini. Lindungi dan
perkuatlah sistem kearifan lokal, sehingga bisa dijadikan sebagai senjata untuk
menangkal ‘serangan’ terorisme dan radikalisme di Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
IV. Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila
Revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat mampu menekan pemahaman tentang radikalisme yang diiringi dengan
tindak kekerasan mengingat nilai-nilai Pancasila dapat menjaga kerukunan umat
beragama. "Masuknya paham radikalisme ke Indonesia patut diwaspadai karena
radikalisme selalu berkaitan dengan konflik terbuka yang diiringi tindakan
kekerasan. Ini dapat merusak kerukunan umat beragama." Faktor pendorong
terjadinya konflik agama, yakni kesenjangan ekonomi, ketidakadilan sosial,
pengakomodiran agama sebagai alat untuk mempertahankan suatu kekuasaan dan
merebaknya budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai moral sebagai dampak
dari arus globalisasi.
Untuk mencegah terjadinya konflik agama dengan kelompok lain, maka diperlukan penguatan wawasan kebangsaan, cinta tanah air, revitalisasi kearifan lokal sebagai instrumen penyaring budaya asing, menggalakkan dialog antaragama dan antarbudaya, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan melalui pelibatan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Penguatan ekonomi juga perlu dilakukan agar tak terjadi ketimpangan social.
Pemerintah daerah, memiliki peranan yang sangat penting dalam
penanganan paham radikal, diantaranya, peningkatan partisipasi sosial
masyarakat, Pemda bekerja sama dengan masyarakat untuk cegah berkembangnya
paham radikal, pendidikan dan pemahaman tentang karakter bangsa, peningkatan
peran tokoh masyarakat dan lainnya.
V. Rekomendasi
Penerapan ideologi Pancasila diharapkan bisa menjadi tolok
ukur atau landasan dalam mengadopsi nilai-nilai yang berasal dari luar. Paham,
teori atau nilai dari luar yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila,
tentu tidak boleh digunakan di Indonesia. Harus ada kesadaran dari berbagai
pihak, terutama lembaga pendidikan, untuk menjauhkan paham atau teori dari luar
yang tidak sesuai dengan Pancasila dalam kurikulum pengajaran.
Mata pelajaran atau mata kuliah harus sesuai dengan
kepribadian bangsa. Untuk itu para pendidik jangan mengambil begitu juga teori
baru dari luar yang tidak sesuai dengan Pancasila. Tidak hanya membuat bingung
murid atau mahasiswa, tetapi juga bisa menyesatkan mereka. Apalagi itu ajaran keagamaan
yang cenderung radikal. Penguatan ideologi Pancasila serta pemahaman agama yang
benar mutlak harus dilakukan karena suka atau tidak saat ini bangsa Indonesia
sudah dirasuki paham dari luar negeri. Buktinya sekarang timbul penyimpangan
seperti LGBT dan juga aksi terorisme yang mengatasnamakan agama.
Kita bisa belajar dari banyak
negara seperti China, Korea Selatan, Jepang dan lainnya. Mereka mengedepankan
kekuatan budaya menjadi pendorong pembangunan perkotaan mereka, yang kini
menjadi kebanggan bagi negara-negara tersebut. Demi menjaga keutuhan bangsa
dari virus radikalisme, masalah ini harus ditangani secara bersama sama oleh
seluruh komponen bangsa. Terutama dalam bidang pendidikan yang berperan besar
dalam penumbuhan karakter generasi muda. Untuk menangkal ideologi radikalisme
harus dilakukan melalui penguatan dan revitalisasi implementasi nilai nilai
pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harapan
kita jangan sampai virus radikalisme berkembang, bahkan mengakar, dan menyebar
dikalangan generasi muda kita. Jika mereka sudah terjangkit virus ini, maka
mereka akan kehilangan masa depan yang cerah. Karena mereka akan berpusat pada
tindakan tindakan anarkis, separatis hingga terorisme sehingga menjadikan
mereka generasi yang menghancurkan negaranya sendiri. Ingat, “Generasi Muda
Adalah harapan Bangsa dan Negara!”
-----oOo-----
[1] Disampaikan dalam acara Forum Koordinasi dan Sinkronisasi Desk
Pemantapan Wawasan Kebangsaan “Implementasi Semangat Kepahlawanan guna mencegah
faham Radikalisme dan Terorisme dalam rangka memperkokoh Persatuan dan kesatuan
Bangsa, diselenggarakan oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Komando
Daerah Militer I / Bukit Barisan, Selasa, 8 November 2016, Auditorium UNIMED
Medan.
[2]
(http://id.wikipedia.org/wiki/Radikalisme_%28sejarah%29).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar