Jumat, 18 November 2016

PENGUATAN KEARIFAN LOKAL DALAM RANGKA MENCEGAH BERKEMBANGNYA PAHAM RADIKALISME


 
Abstraksi

Kearifan lokal sebagai suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup, pandangan hidup, dan kearifan hidup. Kearifan lokal tidak hanya berlaku secara lokal pada budaya atau etnik tertentu, tetapi juga bersifat lintas budaya yang kini kita kenal sebagai konsep Bhineka Tunggal Ika. Di dalam konsep Bhineka Tunggal Ika terdapat kearifan lokal berupa ajaran hidup gotong royong, toleransi, kerja keras, dan saling menghormati. Kearifan lokal dapat dijadikan rujukan dalam penyelesaian masalah di masyarakat. Dalam upaya rekonsiliasi terkait, diungkapkan bahwa ada keterlibatan tokoh agama dan tokoh adat dalam mendorong hadirnya peningkatan apresiasi masyarakat terhadap kearifan lokal. Kearifan lokal yang digiatkan oleh tokoh adat dan tokoh-tokoh panutan lainnya mampu membantu mendorong upaya penanggulangan konflik, termasuk radikalisme. Pendekatan multikultural adakah alternatif penting yang dapat dimanfaatkan untuk meminimalisir konflik di negeri ini. Radikalisme dan terorisme dapat dilihat terkait dengan persebaran keberagaman yang kemudian menggelorakan sentiment anti budaya. Mereka (terorisme dan radikalisme) tidak melihat bahwa kondisi kemajukan bangsa Indonesia merupakan khazanah lokalitas yang telah terbangun sejak lama. Dengan kembali mengingat serta mengamalkan kearifan lokal dengan sebaik-baiknya, niscaya kita mampu membangun kekuatan nasional yang kokoh dalam menghalau radikalisme, apalagi terorisme.


A.  PENDAHULUAN
Dari definisi-definisi itu, kita dapat memahami bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi. Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu muncul lewat cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum setempat.
Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal. Hal itu dapat dilihat dari ekspresi kearifan lokal dalam kehidupan setiap hari karena telah terinternalisasi dengan sangat baik. Tiap bagian dari kehidupan masyarakat lokal diarahkan secara arif berdasarkan sistem pengetahuan mereka, dimana tidak hanya bermanfaat dalam aktifitas keseharian dan interaksi dengan sesama saja, tetapi juga dalam situasi-situasi yang tidak terduga seperti bencana yang datang tiba-tiba.
Jika budaya dan kearifan lokal itu dapat terpelihara dengan baik, maka radikalisme dan terorisme dapat dihindari dan ditekan sekecil mungkin. Penulis berpendapat, kearifan lokal merupakan fenomena yang luas dan komprehensif. Cakupan kearifan lokal cukup banyak dan beragam sehingga sulit dibatasi oleh ruang. Kearifan tradisional dan kearifan kini berbeda dengan kearifan lokal.
Kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan dan lokal (local) atau setempat. Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Menurut Gobyah nilai terpentingnya adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Menurut Antariksa (2009), kearifan lokal merupakan unsur bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan (perkotaan) dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa.
Kearifan lokal merupakan langkah penerapan dari tradisi yang diterjemahkan dalam artefak fisik. Hal terpenting dari kearifan lokal adalah proses sebelum implementasi tradisi pada artefak fisik, yaitu nilai-nilai dari alam untuk mengajak dan mengajarkan tentang bagaimana ‘membaca’ potensi alam dan menuliskannya kembali sebagai tradisi yang diterima secara universal oleh masyarakat, khususnya dalam berarsitektur.
Nilai tradisi untuk menselaraskan kehidupan manusia dengan cara menghargai, memelihara dan melestarikan alam lingkungan. Hal ini dapat dilihat bahwa semakin adanya penyempurnaan arti dan saling mendukung, yang intinya adalah memahami bakat dan potensi alam tempatnya hidup; dan diwujudkannya sebagai tradisi.
Definisi kearifan lokal secara bebas dapat diartikan nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah maka kita harus bisa memahami nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam wilayah tersebut. Kalau mau jujur, sebenarnya nilai-nilai kearifan lokal ini sudah diajarkan secara turun temurun oleh orang tua kita kepada kita selaku anak-anaknya. Budaya gotong royong, saling menghormati dan tepa salira merupakan contoh kecil dari kearifan lokal.
Kearifan lokal lebih menekankan pada tempat dan lokalitas dari kearifan tersebut sehingga tidak harus merupakan sebuah kearifan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal bisa merupakan kearifan yang belum lama muncul dalam suatu komunitas sebagai hasil dari interaksinya denganlingkungan alam dan interaksinya dengan masyarakat serta budaya lain. Oleh karena itu, kearifan lokal tidak selalu bersifat tradisional karena dia dapat mencakup kearifan masa kini dan karena itu pula lebih luas maknanya daripada kearifan tradisional.
Dengan kata lain, jika seluruh lapisan masyarakat, pemerintah, dan aparat hukum menggunakan kearifan lokal sebagai upaya untuk menangkal terorisme dan radikalisme, diyakini ini akan menjadi jurus ampuhnya.
Maka dari itu, kita berharap kepada pemerintah untuk respon terhadap kearifan lokal ini. Lindungi dan perkuatlah sistem kearifan lokal, sehingga bisa dijadikan sebagai senjata untuk menangkal ‘serangan’ terorisme dan radikalisme di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

B.  PERMASALAHAN
1.      Mampukah kearifan lokal mencegah dan menangkal penyebab radikalisme dan terorisme. Nilai-nilai budaya dan kearifan lokal di sebagian besar daerah di Indonesia merupakan salah satu strategi untuk mencegah dan menangkal radikalisme dan terorisme?
2.      Apakah adanya masalah sosial dan kuktural dalam kearifan lokal dapat meminimalisasikan dampak radikalisme dan sebagai pemicu pembangunan?

C.  PEMBAHASAN
1. Penguatan kearifan Lokal Indonesia     
a. Bentuk Kearifan Lokal Indonesia
Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu, dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu. Mitos, mistik, kepercayaan dan kearifan lokal. Myths, mystics, believes and wisdoms. Local wisdom (kearifan lokal/setempat): dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik,yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia terdapat nilai-nilai sosial yang membentuk kearifan lokal (local wisdom) dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Misalnya, gotong royong, kekeluargaan, musyawarah untuk mufakat, dan tepa selira (toleransi). Hadirnya kearifan lokal ini tak bisa dilepaskan dari nilai-nilai religi yang dianut masyarakat Indonesia sehingga nilai-nilai kearifan lokal ini makin melekat pada diri mereka. Tak mengherankan, nilai-nilai kearifan lokal ini dijalankan tak semata-mata untuk menjaga keharmonisan hubungan antar manusia, tetapi juga menjadi bentuk pengabdian manusia kepada Sang Pencipta. Bagi adat budaya salah satu etnik yang ada di Indonesia- berbagai pernyataan yang dikenal dengan petuah dapat dikemukakan untuk mengenal pernyataan verbal terkait dengan kearifan lokal.
Misalnya, konsep cappa- yang sudah populer di suku Bugis. Konsep ini menurut penulis terkait dengan hubungan antar person dalam kehidupan suku, untuk memenuhi eksistensinya baik dalam hubungan keluarga dan kekuasaan. Cappa yang diartikan “ujung sesuatu benda, meliputi tiga model: Pertama, Cappa lillah (ujung lidah); Kedua, Cappa kawali (ujung atau pisau: perisai) dan Ketiga, Cappa la marufe (ujung kelamin lelaki). Model pertama dimanfaatkan untuk membangun komunikasi verbal dengan orang perorang dan masyarakat. Komunikasi verbal menurut melayu tidak hanya sekedar mengeluarkan pernyataan tetapi ia merupakan produk dari proses berfikir. Dalam proses berfikir ini, terdapat kecakapan yang harus dibangun misalnya, kemampuan memilih dan memilih kata, kejelian melihat kondisi, serta motivasi pernyataan. Dalam petuah melayu ditemukan ungkapan aja mualai miccu pute bicaramu ripadamu rupa tau: Aja mualai miccu pute bicaramu ripadammu rupa tau. Jangan jadikan pernyataan-pernyataan anda kepada sesama sebagai ludah yang berwarna putih.
Dalam tradisi kita, orang tua memiliki dua bentuk warna ludah yakni merah dan putih. Bagi yang berwarna merah merupakan ludah yang diakibatkan oleh sang pelaku yang sering mengunyak daun sirih, sedang ludah yang berwarna putih seperti halnya kebanyakan masyarakat yang tidak terbiasa mengunyah daun sirih. Bagi pengunyah daun sirih, ludahnya mereka simpan pada wadah khusus. Kondisi ini berbeda dengan orang yang tak mengunyah daun sirih, ludahnya yang berwarna putih ditempatkan tanpa wadah khusus. Petuah dimaksud melarang anda secara bebas mengumbar pernyataan-pernyataan verbal kepada sesama. Nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan sebagai bagian dari kearifan lokal sudah mulai terkikis di dalam lingkungan budaya lokal komunitas.

b. Bentuk Kearifan Lokal Sumatera Utara
1) Kearifan Melayu
Sumatera sangat erta dengan konteks kebudayaan Melayu. Dalam adat Melayu kearifan-kearifan lokal dalam konteks membentuk kepribadian dan kebangsaan, sangat lekat dengan konsep adat yang diadatkan. Bahwa orang Melayu sangatlah menghargai pemimpin seperti sultan, raja, perdana menteri, menteri, panglima, penghulu, ketua mukim, dan lain-lainnya. Orang Melayu perlu memiliki pemimpin yang adil, bijaksana, bisa diperaya (amanah), selalu berusaha untuk benar dalam hidup, dan lain-lainnya.
Dalam adat Melayu juga dikenal kearifan lokal, bahwa hidup dikandung adat, biar mati anak asal jangan mati adat. Artinya bahwa orang Melayu sangatlah memperhatikan kesinambungan dan pendidikkan kebudayaan. Bila adat itu lestari maka akan lestarilah kebudayaan Melayu. Jika keturunan kita berbuat salah maka kita jangan segan memberikan hukuman atau sangsi sosial sebagaimana yang berlaku.
2) Kearifan Nias
Kearifan di Nias dinyatakan sistem penggolongan derajat manusia berasaskan tingkat-tingkat kehidupan, dimulai dari janin sampai kehidupan akhirat.  Pengertian bosi ini mencakup dua belas tingkat kehidupan.  Dalam konteks ini, bosi nantinya mengarahkan manusia untuk berusaha mencapai tingkat tertinggi, agar setelah ia mati, akan memperoleh kebahagiaan di dalam teteholi ana’a (sorga).  Adapun pembagian bosi itu adalah: fangaruwusi (memperlihatkan kandungan); tumbu (lahir); famatoro doi (memberi nama); famoto (sirkumsisi); falowa (kawin); famadadao omo (membangun rumah); fa’aniha banua (memasuki persekutuan desa); famaoli (menjadi anggota adat); fangai toi (mengambil gelar); fa’amokho (kekayaan); mame’e go banua (menjamu orang se desa) dan mame’e go nori (menjamu orang satu ori, beberapa desa. Inti dari kearifan lokal itu adalah, bahwa sebagai sebuah suku dan juga bangsa setiap orang Nias selalu berinteraksi dan menjadi bahagian komunitas sosial. Dalam hal ini seorang pemimpin sosial mestilah mampu memberikan rezekinya kepada orang lain. Seorang pemimpin adalah tangan di atas bukan di bawah.
3) Kearifan Batak
Budaya Dalihan Na Tolu artinya tungku yang berkaki tiga, bukan berkaki empat atau lima. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Inilah yang dipilih leluhur suku batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hulahula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu.
Dalihan Natolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalam adat batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama, ketiga hal tersebut:
  1. Somba Marhulahula: ada yang menafsirkan pemahaman ini menjadi “menyembah hul-hula, namun ini tidak tepat. Memang benar kata Somba, yang tekananya pada som berarti menyembah, akan tetapi kata Somba di sini tekananya ba yang adalah kata sifat dan berarti hormat. Sehingga Somba marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula. Hula-hula adalah kelompok marga istri, mulai dari istri kita, kelompok marga ibu(istri bapak), kelompok marga istri opung, dan beberapa generasi; kelompok marga istri anak, kelompok marga istri cucu, kelompok marga istri saudara dan seterusnya dari kelompok dongan tubu. Hula-hula ditengarai sebagai sumber berkat. Hulahula sebagai sumber hagabeon/keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari hulahula. Tanpa hulahula tidak ada istri, tanpa istri tidak ada keturunan.
  2. Elek Marboru/lemah lembut tehadap boru/perempuan. Berarti rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. Boru adalah anak perempuan kita, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita(anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap boru perlu, karena dulu borulah yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah di ladang. tanpa boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.
  3. Manat mardongan tubu/sabutuha, suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati–hati dengan teman semarga. Kata orang tua-tua “hau na jonok do na boi marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan, dan lain-lain.
Inti ajaran Dalihan Natolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling menghormati (masipasangapon) dengan dukungan kaidah moral: saling menghargai dan menolong. Dalihan Natolu menjadi media yang memuat asas hukum yang objektif.


2. Fenomena Paham Radikalisme
         Konsep “Radikalisme” dalam kamus bahasa Indonesia dijelaskan bahwa radikalisme itu berasal dari kata radikal, yang bermakna “sesuatu yang tidak stabil”, selalu bergerak tanpa henti. Radikalisme adalah paham yang menganut cara radikal. Dalam hal ini Radikalisme merupakan suatu paham yang menginginkan perubahan yang radikal tanpa mengindahkan pemahaman dan perkembangan pemahaman yang berkembang di sekitarnya.
            Fenomena radikalisme agama sesungguhnya bukan hanya terjadi di Indonesia melainkan juga terjadi dibagian atau negara lain, negara maju sekalipun. Globalisasi dan kemajuan teknologi informasi membuat seluruh informasi dari mana pun asalnya dengan mudah bisa diakses dari dan di manapun orang sedang berada. Maka salah satu efek atau bahkan bagian dari globalisasi adalah mewabahnya radikalisme agama. Yang membedakan satu dari tempat lain mungkin adalah tingkat kekerasan karena di negara-negara maju, misalnya, tradisi anti kekerasan dan perlindungan terhadap korban sangat kuat, sehingga kekerasan akibat radikalisme bisa ditekan dengan maksimal. Demikian juga dari mana agama itu berasal. Gerakan radikal agama yang berasal dari negara maju mungkin lebih menghindari kekerasan, namun kehadiran mereka yang agresif juga memancing kekerasan dari kelompok agama lain (ICG, 24 Nov 2010).
            Ada beberapa ciri radikalisme yang terjadi sekarang ini. Pertama adalah sifatnya yang acak dan global. Mark Juergensmeyer (2000), misalnya, berpendapat ada arah baru radikalisme dan juga kekerasan kini dibanding masa lalu, katakanlah sebelum globalisasi benar-benar menjadi mewabah seperti sekarang ini. Yaitu, bahwa dimasa lalu, radikalisme dan kekerasan termasuk yang bersumber dari keyakinanagama, lebih mudah diidentifikasi kelompok maupun locusnya. Yaitu merekaumumnya berasal dari kelompok-kelompok masyarakat yang tersisih dari mainstream kekuasaan atau akibat marjinalisasi. Di samping itu, radikalisasi dan kekerasan juga muncul dari mereka yang menuntut wilayah tertentu untuk tidak bergabung atau ingin memisahkan diri dari negara tertentu dengan berbagai sebab atau separatis. Dengan demikian kelompok-kelompok tersebut dengan mudah bisa diidentifikasi dan diantisipasi.

Sebenarnya, terdapat dua makna asosiatif radikalisme, yaitu:
1.      Radikalisme (negative) mengandung pengertian ifrath (keterlaluan) dan ghuluu (melampui batas). Jadi radikal di kaitankan dengan keekstriman, golongan sayap kiri, militant serta ”anti barat”. Muncul tatkala diskriminasi terjadi disuatu komunitas (negara, agama, dls), kecemburuan sosial, hancurnya tatanan social, politik dan ekonomi.
Radikalisme dalam komunitas islam berawal dari terbentuknya ikhwalnul muslimin (IM) sebagai embrio radikalisme. Banyak informasi media massa melansir organisasi tertua dari organisasi-organisasi radikal di dunia, khususnya di timur tengah seperti Mesir, Sudan, Lebanon, Yordania, Kuwait, Arab Saudi, Bahroin dan Qatar. Gerakan ini merupakan respon terhadap berbagai perkembangan yang terjadi di dunia islam (khususnya timur tengah), berkaitan dengan makin luasnya dominasi imperialis barat, IM banyak merekrut kaum terpelajar dan buruh. Saat itulah radikal mengalami peyorasi/penyempitan, karena dianggap suatu paham yang merusak. Politiklah yang membuat pemaknaan demikian, karena orang-orang penganut radikal ini menginginkan perubahan-perubahan yang prinsip dan mendasar, seringkali berakibat kerusakan/kehancuran. Dalam perkembangannya, radikal juga disandingkan dengan agama islam, yang memang menginginkan perubahan yang prinsip dan mendasar, sebagai contoh terwujudnya negara islam. Tidak ada kesalahan sampai pada titik harapan terwujudnya negara islam, namun cara-cara yang dilakukan seringkali menghalalkan segala cara.
Syamsul Bakri (dosen Peradaban Islam STAIN Surakarta), dalam kesimpulan tulisannya mengenai radikalisme agama menyatakan: Praktek kekerasan (radikalisme) yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam tidak dapat dialamatkan kepada Islam sehingga propaganda media Barat yang memojokkan Islam dan umat Islam secara umum tidak dapat diterima. Islam tidak mengajarkan radikalisme, tetapi perilaku kekerasan sekelompok umat Islam atas simbol-simbol Barat memang merupakan realitas historis-sosiologis yang dimanfaatkan media pers Barat untuk memberi label dan mengkampanyekan anti-radikalisme Islam.
Radikalisme muncul bukan tanpa maksud, beberapa penyebab kemunculannya antara lain tekanan politik penguasa. Di Indonesia, masa Orde Baru selalu membabat habis orang-orang yang teridentifikasi sebagai anggota gerakan radikal. Begitu kerasnya tekanan terhadap gerakan radikal ini, maka banyak tokohnya yang ditangkap, disiksa dan bahkan ada yang hilang tidak tentu rimbanya. Di masa reformasi, gerakan-gerakan radikal tampaknya kehilangan makna, sehingga banyak tokohnya yang memasuki partai politik. Namun ada juga yang masih Under Ground menggerakkan radikalisme.
Gerakan radikalisme yang masih bertahan di masa reformasi ini berdalih agama, sudah sampai pada tahap membahayakan, mengancam pondasi kebangsaan, sekaligus mengancam kemanusiaan. Makanya tidak berlebihan jika Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Said Aqil Siraj menyatakan, gerakan radikalisme di Indonesia sudah sampai pada tingkat "lampu merah" yang membahayakan (27/4/11).
2.      Radikalisme (positif) bermakna islah (perbaikan) dan tajdid (pembaharuan) suatu sepirit perubahan menuju perbaikan. Makna positif radikal inilah yang seharusnya menjadi dasar pergerakan sehingga tujuan islam sebagai agama rahmatan lilalamin (rahmat untuk semua) tercapai. Seharusnya setiap orang justru memiliki paham radikal (positif) ini, yakni memahami masalah sampai ke akar-akarnya, tidak dangkal dan terburu nafsu. Banyak orang-orang besar penganut radikal yang telah sukses menemukan esensi kehidupan di bidangnya masing-masing, tidak hanya output yang dia hasilkan, tetapi outcame yang bermanfaat untuk orang lain, untuk kehidupan masyarakat yang sejahtera. Sebut Muhammad Hatta dengan Koperasi, Muhammad Yunus dengan Grameen Bank, Mahatma Gandhi dengan Kemandirian, Bill Gate dengan Microsoft, dls. Lebih lanjut mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) justru menilai bahwa radikalisme baik untuk mahasiswa. Asalkan, kata dia, radikalisme yang positif. Fanatisme boleh, justru akan semakin membuat kita khusyuk terhadap agama, paham terhadap ajarannya, yang tak boleh merusak orang lain, semangat bekerjasama dan dinamis itu yang harus dipelihara,” tegasnya.
            Namun, radikalisme dan kekerasan keagamaan kini, cenderung tidak mudah diidentifikasi dan tidakterpusat di tempat-tempat tertentu serta tidak mudah pula diidentifikasisebab-sebabnya. Ia bisa terjadi bersifat acak baik locus maupun aktor-aktornya. Mereka bisa berasal dari kalangan yang secara ekonomi kaya dan berpendidikantinggi serta memiliki pemahaman agama yang memadahi atau bahkan dari kalanganyang berlatar belakang pendidikan agama. Radikalisme juga bisa menjadi bagiandari kemajuan teknologi informasi itu sendiri yang bersifat masif dan karenaitu tidak mudah dideteksi.
            Radikalisme semacam itu tidak hanya terjadi di kalangan Islam melainkan juga di kalangan agama lain seperti terjadi pada partai Hindu beraliran kanan BJP (The Bharatiya Janata Party) atau Indian People's Party yang di dalamnya terdapat unsur-unsur radikal dan fanatik dalam Hindu di India, serta keterlibatan sebagian kalangan Bikhu atau Monks Buddhis atas serangan terhadap Rohingya di Myanmar. Hal yang sama terjadi pada kalangan fundamentlisme Kristen yang sering melakukan kristenisasi secara agresif dinegara-negara berkembang namun berasal dari negara-negara maju.
            Ciri kedua adalah bahwa radikalisme tidak lagi hanya terjadi dan bergerak di pinggiran sebagaimana terjadi di masa lalu melainkan berangsek masuk ke dalam kekuasaan atau terjadi proses mainstreaming melalui berbagai cara. Karen Armstrong (2001) misalnya mengatakan bahwa radikalisme, setidaknya di dalam Islam, bukan hanya bekerja di pinggiran melainkan sejak revolusi dan perubahan radikal konstitusi di Iran, mereka masuk ke dalam kekuasaan yang kemudian disusul terjadi di berbagai negara lain dengan pola yang berbeda-beda. Namun, dalam perkembangan selanjutnya kini, proses masuknya unsur-unsur radikalisme lebih bervariasi dari sekedar revolusi dan perubahan konstitusi. Melainkan ia bisa melalui berbagai cara, dari berkompetisi dalam demokrasi seperti melalui partai politik hingga perebutanjabatan di pemerintahan, serta penciptaan aturan-aturan yang menunjunkkan karakter radikal dan konservatif hingga masuk ke dalam pengajaran dan kurikulum pendidikan sejak dini.
            Lagi-lagi hal ini tidakhanya terjadi di dalam Islam melainkan juga di hampir semua agama. BPJ pernah memenangkan Pemilu di India dan Ikhwanul Muslim kini berkuasa di Mesir, dan sejumlah Bikhu di Myanmar menyuarakan agar Myanmar menjadikan agama Budha sebabagi agama formal negara. Kristen fundamentalis atau yang sering disebut neokon (neo konservatif) menjadi warna dominan dalam pemerintahan Bush yunior di Amerika Serikat sebelum Barack Obama. Dengan demikian, kolaborasi antara radikalisme dan kekuasaan tidak hanya dilakukan dengan revolusi dan perubahan konstitusi melainkan dengan berbagai saluran yang ada di dalam struktur politik, sosial dan budaya.
            Dengan demikian, setidaknya, ada dua kecenderungan yang perlu dicermati tentang radikalisme ini: yaitu kian tidak teridentifikasi asal-usul, locus, maupun sabab-musabab dari radikalisme itu sendiri. Kedua, kecendeurngan penggunakan unsur dan alat-alat negarauntuk mendesiminasi dan bahkan pemaksaan terhadap paham radikal tertentu.Meskipun jumlah mereka kecil tetapi karena kefanatikan dan pandangan mampu memobilisasi massa dan memprovokasi pihak lain. Berbagai kekerasan terhadap kelompok lain atas dasar agama dilakukan oleh sekelompok kecil orang tetapi dampaknya besar dalam masyarakat. Demikian juga penggunaan alat kekukasaan dan lembaga pendidikan untukmemaksakan pandangan radikal dan intolerani berdampak besar bagi kehidupanmasyarakat karena efektivitas dari suatu sistem politik.

3. Penyebab Radikalisme
            Menurut Khaled Abou alFadl (2005) akar masalah radikalisme agama adalah puritanisme. Yaitu kecenderungan pemahaman yang tertutup dan mencerminkan karakter yang absolutis serta tidak mau berkompromi dengan pemikiran atau tafsir lain dalam memahami agama. Ia juga mengabaikan kontekstualitas dan bersikap anti lokalitas sehingga pembawa paham demikian selalu memaksakan kebenaran tunggal baik terhadap tafsir keagamaam maupun terhadap sistem sosial dan politik atau pemerintahan.
            Maka ada kecedernungan bahwa radikalisme itu bukan hanya memperkuat pengelompokan diri atau identitas politik, misalnya, melainkan juga mudahnya menyalahkan pihak lain dan sebaliknya pemaksaana atas kebenarannya sendiri, serta tidak jarang disertai dengan memperbolehkan untuk melakukan penyerangan dan kekerasan atau berlaku agresif terhadap pihak lain. Jika paham semacam ini berkelindan dengan kekuasaan negara yang represif dan aparatur hegemoni seperti lembaga pendidikan maka akan berdampak buruk dalam suatu kehidupan masyarakat.
            Dalam suatu masyarakat dan negara, fungsi pendidikan sangat penting dalam membangun cara pandang generasi muda calon pemimpin bangsa dan masyarakat dalam suatu negara. Lembaga pendidikan juga merupakan agen transfer kesadaran dan ilmu pengetahuan. Makasangat penting diperhatikan hasil dari riset ini sebagai antisipasi terhadap kecenderungan masuknya unsur-unsur pandangan radikal ke dalam keseluruhan tubuhmasyarakat dan negara.
            Sebuah riset (Ahnaf,2012) di Yogyakarta memperkuat fenomena yang ditemukan oleh LAKIP. Ahnaf menunjukan bahwa redikalisme dan intoleransi sesungguhnya sudah terbentuk sejak di sekolah menengah atas. Ahnaf menunjukkan bahwa ada kaitan langsung antarapara aktivis Rohis alumni sekolah-sekolah yang diteliti yang sudah berada di perguruan tinggi. Para alumni tersebut secara reguler kembali ke sekolahnya untuk memberikan training dan indoktrinasi tentang pandangan-pandangan agama yang bersifat radikal. Bahkan tiga sekolah yang diteliti tersebut bukanlah sekolah agama melainkan sekolah negeri. Dengan demikian, regenerasi pandangan radikal dan intoleransi telah terbentuk secara berkesinambungan dan sistematis. Jika pengamatan ini dilanjutkan ke arah aktor-aktor atau aktivis intoleran dalam gerakan masyarakat maka fenomenanya akan tampak lebih mendalam dan luas.
            Menurut Sidney Jones (2006), aktor-aktor gerakan teroris kian mendekat dengan gerakan-gerakan radikal dan intoleran di Indonesia. Meskipun radikalisme Indonesia tidak bisa lepas dari jaringan internasional tetapi Indonesia memiliki ciri tertentu.Kecederungan ini terutama setelah Bom Bali karena sel-sel mereka mulai terpantau dan terus diawasi sehingga tidak lagi terpusat pada kepemimpinan yangtuggal. Namun, justeru karena itu, sel-sel itu kian bervarisasi dan merambah kebanyak wilayah dengan timbulnya kreasi-kreasi lokal yang bersifat “indepdenden”dan bahkan individual dimana satu dengan lainnya tidak saling terkait secaralangsung. Itu tidak berarti bahwa radikalisme identik dengan teroris memelainkan ada kecenderungan kedekatan dalam aksi-aksi bukan lagi secara tersembunyi melainkan juga aksi-aksi yang bersifat publik seperti gerakananti-pemurtadan dan gerakan anti lokal dan kekerasan lainnya. Dengan demikian ada dua arah radikalisme, di satu pihak masuk ke dalam unsur-unsur negara melalui berbagai jalan dan di lain pihak melalui berbagai institusi sosial dan gerakan kemasyarakatan.
            Menurut Abou al Fadl,salah satu sebab penting bagi munculnya paham dan aksi-aksi radikal dalam agama, setidaknya di dalam Islam, adalah lunturnya otoritas dalam keagamaan (Islam). Di masa lalu, fiqh dan para fuqoha atau ulama di dalam Islam memiliki legitimasi yang kuat untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat di luar hukum-hukum yang ditetapkan oleh suatu pemerintahan atau hukum positif. Modernisasi dan globalisasi telah membuat semua orang bisa akses terhadap sumber-sumber ajaran secara langsung sehingga menimbulkan lunturnya pengaruh pemuka agama dan guru. Gejala ini sesungguhnya tidak hanya terjadi di dalam Islam melainkan juga di dalam agama lain.
            Dalam konteks Indonesia, disebabkan karena modernisasi dan globalisasi tersebut, lunturnya otoritas itu bukan hanya terjadi pada pemuka agama melainkan juga pada institusi dan tokoh-tokoh dalam aspek lain termasuk budaya lokal dan institusi-institusi modern sekalipun. Di sisi lain, lunturnya kepercayaan (distrust) masyarakat juga terjadi terhadap institusi-institusi resmi pemerintahan disebabkan karena demoralisasi, seperti lemahnya pencegahan terhadap korupsi dan manipulasi secara telanjang dihampir semua tingkatan pemerintahan. Sehingga paham keagamaan yang berciri radikal mudah tersosialisasi dan mendapatkan tempat di dalam masyarakat mengisikekosongan kepercayaan (trust) tersebut. Hal demikian ditambah dengan lemahnya penegakan hukum terhadap gerakan-gerakan radikalisme yang membawa ancaman dan kekerasan.



5. Tumbuhnya Mainstreaming Intoleransi Terhadap Paham Radikalisme
          Intoleransi masih menjadi ancaman laten di Tanah Air. Sikap itu jelas mengingkari kebinekaan dan pluralitas bangsa Indonesia. Lebih jauh, juga berpotensi menjadi embrio dari tumbuh suburnya paham radikalisme. Karena itu, masih munculnya sikap dan perilaku intoleran perlu mendapat perhatian ekstra dari aparat keamanan, pemerintah, dan seluruh elemen masyarakat. Apalagi, saat ini pengaruh radikalisme global mulai menyusup ke Indonesia. Kasus kerusuhan massa berbalut isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di Tanjungbalai, Sumatra Utara, tahun ini, adalah buah dari sikap intoleran yang diprovokasi hasutan melalui media sosial. Beredarnya provokasi hasutan kebencian tersebut, tentunya tidak akan mendapat respons jika di masyarakat sudah tertanam sikap toleran.
Dengan demikian, kita patut khawatir bahwa benih intoleran sejatinya masih ada dan kemungkinan sengaja dipupuk di sejumlah kelompok masyarakat. Ibarat api dalam sekam, hanya tinggal menunggu satu insiden yang bisa menjadi penyulut yang membuatnya membara dengan mudah dan cepat meluas. Kasus di Tanjungbalai patut kita sesalkan. Selama ini Indonesia dikenal sebagai negara yang toleran, dengan berpijak pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Fakta sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, tidak lantas membuat Indonesia menjadi negara agama. Ideologi Pancasila tetap menjadi pedoman seluruh rakyat. Munculnya kerusuhan berbalut SARA mengoyak kebinekaan yang selama ini mati-matian kita jaga bersama, jangan sampai terulang. Sebab, jika dibiarkan, sikap tersebut akan menjelma menjadi ekstremisme dan radikalisme.
Seluruh elemen masyarakat harus menyadari ancaman ini. Apalagi, pengaruh paham radikalisme dan ekstremisme dari luar telah lama disusupkan ke Tanah Air. Ironisnya, paham gerakan ini menjadikan pelajar dan generasi muda sebagai sasaran. Upaya itu tak lepas dari karakter kaum muda yang tengah berjuang mencari jati diri. Jiwa muda yang belum mapan secara mental dan mudah terombang-ambing oleh pengaruh luar, menjadi tempat persemaian yang subur bagi paham ideologi tertentu.
Apalagi, jika paham tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga seolah menawarkan sesuatu yang dianggap mampu menjadi solusi atas persoalan yang dihadapi kaum muda saat ini.
Penggunaan media berbasis internet, juga tak lepas dari kuatnya penetrasi teknologi informasi di kalangan pelajar dan generasi muda. Ruang penyebaran melalui media sosial dan media massa berbasis internet seolah tanpa batas dan lebih leluasa. Hingga kini memang belum ada aturan yang sepenuhnya mampu menutup celah penyebaran informasi yang menyesatkan. Perlu waktu lama dan upaya ekstra keras dari aparat untuk menyisir satu per satu situs yang dianggap membahayakan. Kenyataan ini kian menguatkan bahwa radikalisasi tak bisa dilawan dengan kekuatan senjata atau operasi militer. Gerakan tersebut juga tak bisa dibungkam dengan setumpuk aturan hukum mengenai intelijen dan antiterorisme.
Terorisme dan radikalisme sebagai sebuah ideologi akan lebih efektif jika dilawan dengan ideologi yang telah disepakati menjadi empat pilar utama, yakni NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Media yang paling ampuh adalah pendidikan, terutama bidang keagamaan. Langkah menangkal sikap dan gerakan intoleran tidak hanya melibatkan aparat keamanan dan intelijen, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat agar tidak tercipta komunitas yang menjadi tempat persemaian paham tersebut. Kita harus menyadari dua karakter massa yang rawan disusupi paham ini, yakni kemiskinan dan rendahnya pendidikan, yang banyak dijumpai di Indonesia. Kemiskinan adalah pangkal dari rendahnya pendidikan. Rakyat yang kurang pendidikan akan mudah diindoktrinasi dengan pandangan hidup dan pemahaman agama yang  sesat, yang mengarah pada radikalisme.
Dalam perkembangannya, kemiskinan dan rendahnya pendidikan bukan faktor utama yang menyuburkan ekstremisme dan radikalisme. Berkaca pada beberapa kasus teror bom, pelakunya justru dari kalangan terdidik, dan tergolong bukan rakyat jelata. Untuk itu, aparat keamanan dan intelijen harus mendeteksi dan memantau kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dan perguruan tinggi, serta ceramah keagamaan di tempat ibadah, yang ditengarai menyebarkan pemahaman agama yang salah. Selain memperkuat operasi intelijen, perlu juga dikembangkan pendampingan di basis-basis massa yang dinilai rawan. Pendampingan tersebut harus melibatkan tokoh agama, kalangan pendidik, dan tokoh masyarakat, yang menempatkan NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai harga mati. Pelibatan masyarakat, selain untuk mencegah meluasnya indoktrinasi ajaran sesat, terutama yang mengatas namakan agama, sekaligus memutus mata rantai perekrutan anggota baru.
Pemimpin agama dan tokoh masyarakat harus memberi pemahaman yang tepat mengenai ajaran agamanya sebagai bagian dari pencegahan dini radikalisasi di masyarakat. Ini adalah upaya krusial dan perjuangan tiada akhir. Langkah terpenting yang harus dilakukan adalah mematikan tempat persemaiannya, yakni ketimpangan ekonomi dan sosial, serta pendidikan spiritual dan intelektual. Dua hal itulah yang diyakini mampu membendung berkembangnya sikap intoleran secara efektif


4. Penguatan Kearifan Lokal Dalam Mencegah Berkembangnya Paham Radikalisme
a.      Pengalaman Sukses dan Strategi Kearifan Lokal Dalam Menangkal Radikalisme
Implementasi Kearifan Lokal Masyarakat Minang VS Radikalisme
     

Implementasi Kearifan Lokal Masyarakat Bali Vs Radikalisme





Implementasi Kearifan Lokal Masyarakat Batak Vs Radikalisme


b.      Metode
Kalau kita telusuri berbagai pengamatan terhadap perubahan masyarakat secara mendalam, radikalisme dalam agama hanya salah satu dari arus dalam globalisasi dan demokratisasi. Di sisi lain juga terjadi sebaliknya, apa yang oleh Thomas Reuter (2013) disebut sebagai arus revitalisasi tradisi sebagai cara untuk menanggapi radikalisme secara dialogis dan absorbsi. Reuter menunjukkan, setidaknya di Asia, bahwa sebagai respon terhadap globalisasi dengan kerusakan lingkungan, penguasaan sumberdaya alam dan radikalisme agama muncul gerakan revitalisasi tradisi dan agama yang bersifat lokal tetapi memiliki akar tradisiyang kuat serta membangun suatu tradisi harmoni yang baru. Hanya saja gerakanini masih lebih lemah dibandingkan dengan arus kerusakan lingkungan, penguasaan sumberdaya alam dan radikalisme agama.
Salah satu strategi yang penting untuk mencegah menguatnya  radikalisme adalah memperkuat dan menghidupkan kembali tradisi lokal dan memunculkan kembalil ocal knowledge. Dakwah dan misi agama kini cenderung memberi peluang terlalu besar bagi pengetahuan yang berasal dari luar sembari mengabaikan dan bahkan menutup untuk tidak dikatakan menindas, pengetahuan lokal masyarakat dan tradisi. Masuknya pandangan dan tafsir-tafsir baru agama atau pengetahuan dari luar itu sendiri sesungguhnya sudah sejak lama terjadi. Namun, di masa lalu, setiap pandangan dan tafsir baru tersebut harus terlebih dahulu dipergulatkan dan didialogkan dengan tradisi masyarakat yang hidup untuk terjadinya akulturasi atau revitalisasi. Sedangkan kini, dengan kemajuan teknologi informasi terutama apalagi didukung oleh suatu peraturan dan pemerintahan yang efektif, orang bisa memaksakan pandangan-pandangan dan tafsir-tafsir baru tersebut kepada masyarakat dengan alat dan teknologi informasi modern tanpa menghiraukan reaksi dan kerugian masyarakat setempat.
            Gerakan revitalisasi tradisi yang disebut Reuter tersebut juga merupakan wajah baru dari cara tradisi lokal merespon terhadap pengaruh luar. Di masa lalu, respon itu lebih bersifat defensif atau resisten (resistance),sejauh mungkin menolak atau menerima secara sangat selektif. Namun kini prosesitu lebih terbuka, di samping mencoba memberi makna baru terhadap pengaruh luar secara kreatif, juga disertai dengan pemaknaan kembali tradisi dan ritual lokalsecara baru dan kontekstual sehubungan dengan masuknya pengaruh baru tersebutsecara dialogis dan absorbsi. Revitalisasi tradisi dan ritual lokal yang melibatkan masyarakat seluas mungkin dengan pemaknaan yang baru tersebutmenjadi kunci kembalinya semangat toleran dan dialog.

Beberapa strategi mungkin bisa diusulkan di sini : 
1)      Pertama, adalah penting untuk menghidupkan kembali lembaga-lembaga masyarakat dan bahkan ritual yang bersifat lokal dan memiliki akar budaya yang kuat di dalam masyarakat. Langkah ini disamping untuk memperkuat tali budaya bersama juga untuk menghidupkan kembali “modal sosial” dalam masyarakat, yaitu tumbuhnya saling bercaya (trust) di dalam masyarakat dan mekanisme sosial yang berbuah sangsi bagi orang yang melanggar tradisi tersebut. Dengan demikian, tradisi yang hidup di dalam masyarakat memiliki kontrol yang kuat terhadap perubahan-perubahan yang justru datangnya dari luar. Bukan sebaliknya seperti sekarang, justeru sesuatu yang dari luar mengontrol tradisi dan bahkan hendak menghilangkannya. Dialog memang memerlukan waktu dan kesabaran.  Dalam karakternya di Indonesia, tradisi dan ritual lokal selalu mengandung toleransi yang tinggi terhadap pemahaman lain termasuk ide-ide dan pemahaman baru yang datang dariluar sehingga di dalamnya inhern pendidikan bagi masyarakat luas untuk selaluterbuka dan berdialog. Berbagai kajian tentang keagamaan di nusantara menunjukkan lenturnya hubungan agama atau keyakinan dengan agama-agama lain yang datang dari luar nusantara. Hal ini terjadi berkat kearifan dari para pemimpin masyarakat dan pemimpin agama yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Maka pendidikan agama di dalam perguruan tinggi agama sekalipun, seharusnyatidak hanya belajar tentang ilmu pengetahuan yang bersifat akademik tetapi penting untuk memperkenalkan mereka tentang kearifan lokal dan cara kerja paratokohnya yang hidup di dalam masyarakat secara langsung (organik). Lembaga pendidikan atau perguruan tinggi agama penting untuk mengambil peran memediasiantara dunia akademik dan dunia nyata dalam masyarakat dan dalam waktu yang sama memediasi antara pandangan-pandangan baru dari luar dengan masyarakat luas melalui para tokoh organik tersebut.
2)      Kedua, pelibatan paratokoh agama dan tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh luas di wilayahnya (lokal) itu sendiri dalam proses pendidikan agama di perguruan tinggi secara langsung. Meskipun mungkin kemampuan mereka secara akademik rendah, tetapimereka memiliki pengalaman dan kearifan yang tidak terdapat dalam kandung anak ademik. Pengetahuan tentang kearifan lokal atau local knowledge selayaknya masuk dalam kurikulum di setiap sekolah agama. Karena peserta didikdiproyeksikan bukan hanya sebagai pemikir dan analis melainkan juga sebagai pemuka dan tokoh dalam masyarakat nantinya.
3)      Ketiga, adalah penting untuk memasukkan mata kuliah atau pelajaran pengetahuan tentang perbandingan, apakah pengetahuan perbandingan antar agama dan intern agama. Kenyataannya, tidak ada satu pun agama yang hanya memiliki tafsir tunggal, melainkan berbagai tafsir. Karena itu pengenalan terhadap pandangan-pandangan tersebut akan membantu untuk bisa menerima pemikiran dan kebenaran pihak lain. Dalam hal inia dalah penting untuk memasukkan kandungan lokal tentang tradisi dan ritual yang hidup di dalam masyarakat tempat pendidikan itu berlangsung ke dalam kurikulum pendidikan agama. Untuk menjaga radikalisme tidak berkembang menjadi ekstermisme dan terorisme di Sumatera Utara, keterlibatan dan peran serta masyarakat dalam proses eradikalisasi, seperti yang telah dijalankan oleh pemerintah, seharusnya dapat diperkuat dan ditingkatkan. Ini dapat dilakukan dengan meningkatkan peranan tokoh agama dan budaya serta peranan institusi keagamaan, baik lokal maupun nasional, serta kearifan lokal. Kearifan lokal dalam masyarakat komunal dapat dijadikan media untuk mengoptimalkan dan menguatkan peran masyarakat dalam penanggulangan kelompok radikal dan teroris dapat menjadi pilihan untuk meminimalisasi efek negatif yang ditimbulkan oleh pendekatan keamanan

Untuk program deradikalisasi di Sumatera Utara, beberapa hal dapat dijalankan:
1)      Optimalisasi partisipasi tokoh agama dalam menjaga tuntutan syariat Islam tidak berkembang menjadi ekstremisme dan terorisme. Hasil riset yang dilakukan BNPT tahun 2013 sangat jelas menunjukkan signifikansi tokoh agama dalam proses diseminasi gagasan. Ini menunjukkan peranan tokoh agama sangat penting dalam proses penyebaran gagasan yang berhubungan dengan narasi Islamisme.
2)      Menjaga dan mewaspadai lembaga-lembaga keagamaan lokal dan nasional, institusi yang memperjuangkan penerapan syariat Islam, agar tidak berkembang menjadi tempat bersemainya ekstremisme dan terorisme.
3)      Optimalisasi peranan lembaga keagamaan moderat, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persis. Keterlibatan lembaga keagamaan lokal, Komite Persiapan Penegakkan Syariat Islam (KPPSI) dan Wahdah Islamiyah, juga perlu ditingkatkan. Keduanya merupakan lembaga yang berpengaruh di tengah-tengah masyarakat Sumatera Utara.
4)      Kampanye anti-radikalisme melalui lembaga pendidikan. Perguruan Tinggi merupakan lembaga strategis yang dapat dijadikan media anti radikalisme dan terorisme. Perguruan tinggi (universitas) menjadi salah satu tempat berkembangnya gagasan Islamisme yang dikembangkan melalui seminar dan halaqah oleh kelompok Islamisme.
5)      Kampus hard approach juga dapat menjadi tempat strategis bagi penyebaran kontra-narasi Islamisme.
6)      Revitalisasi kearifan lokal. Masyarakat mempunyai falsafah marsipature hutanabe atau membangun desa asal bermakna orang Sumatera Utara harus menjaga harga diri dan kehormatan, mempunyai semangat kolektivitas dan rasa empati yang tinggi terhadap sesama angggota komunitas. Kedua nilai ini bisa dijadikan dasar untuk membingkai aksi terror dan kekerasan sebagai perbuatan yang memalukan dan merendahkan harga diri sekaligus tidak sesuai dengan falsafah yang menjunjung tinggi rasa simpati dan koletivitas.
7)      Kampanye anti radikalisme dan terorisme melalui berbagai media. Di Sumatera Utara, selain buku dan brosur, pesan singkat (SMS) merupakan media yang juga banyak dimanfaatkan oleh generasi muda dalam memperoleh pengetahuan dan informasi. Oleh karena itu, SMS dapat menjadi media yang efektif untuk melakukan deradikalisasi kalangan muda.

c.       Strategi
1)      Melakukan pencegahan lewat kearifan local, Indonesia selain dikenal dengan Negara kepulauan juga dikenal sebagai Negara yang memiliki 1001 macam kebudayaan. Kearifan local yang dapat kita terapkan dalam mencegah radikalisme ialah dengan coba saling menyapa antara 1 tetangga dengan tetangga lainnya maksudnya ialah semakin saling mengenal satu dengan yang lain maka akan semakin tahu kita apa yang dilakukan tetangga kita dan secara otomatis juga kita dapat mengidentifikasi apakah yang dilakukan tetangga kita itu satu hal yang postiv atau tidak, kemudian ialah dengan cara menerima baik setiap tamu atau pendatang baru dikampung atau dilingkungan kita ini dapat dilakukan dengan cara awal penyambutan kita dengan tetangga baru yaitu senyum dan tidak memasang prasangka-prasangka negative terhadap orang yang baru datang atau pendatang dan kemudian jamu dia selayaknnya dia bak keluarga kita.
2)      Cara diatas adalah kearifan local yang dimiliki Indonesia dari zaman dahulu. Dahulu kalla Sisingamaraja, wali songo, dan lainnya mengusir belanda bukan terkait masalah kemerdekaan bangsa Indonesia itu masih jauh melainkan yang diperjuangkan dahulu ialah belanda berusaha merusak adab ketimuran kita dengan memasukkan ideology-ideologi barat dikehidupan masyarakat Indonesia ini yang membuat sisingamaraja dan kawan-kawan marah lalu mengusir belanda.
3)      Menyapa sesorang dengan baik, mengajak melakukan perwiritan, gotong royong dan selalu berpikir positive terhadap seseorang namun tetap waspada adalah sifat-sifat orang iondonesia yang memiliki sifat ketimuran.
4)      Hal positive seperti ini dapat menekan angkat tingkat kejahatan terorisme dan issue radikalisme. Dan cara-cara mengaktifkan kembali kearifan local khususnya diindonesia sangat berdampak positive dan hal positive ini harus kita ajarkan pada generasi dikemudian hari agar apa agar mereka dapat meneruskan tradisi positive ini hinggsa ke massa yang sangat modern nantinya.


d.      Peran Kearifan Lokal Dalam Pembangunan
Kearifan lokal dicirikan dengan dasar kemandirian dan keswadayaan, Memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan, Menjamin daya hidup dan keberlanjutan, Mendorong teknologi tepat guna, Menjamin tepat guna yang efektifdari segi biaya dan meberikan kesempatan untuk memahamidan memfasilitasi perancangan pendekatan program yang sesuai.
Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
Perekonomian berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Secara harfiah, pembangunan berkelanjutan mengacu pada upaya memelihara/mempertahankan kegiatan membangun (development) secara terus menerus. Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi, serta pada kenyataannya, pembangunan memiliki dimensi sosial dan politik yang kental. Pembangunan, dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial dari suatu masyarakat (society), dimana tujuan tersebut merupakan atribut dari apa yang ingin dicapai atau dimaksimalkan oleh masyarakat tersebut.  Atribut tersebut dapat mencakup: kenaikan pendapatan per kapita, perbaikan kondisi gizi dan kesehatan, pendidikan, akses kepada sumberdaya, distribusi pendapatan yang lebih merata, dan sebagainya.  Sehingga konsep berkelanjutan dapat diartikan sebagai persyaratan umum dimana karakter vektor pembangunan tadi tidak berkurang sejalan dengan waktu.
Tiga tujuan inti pembangunan yaitu peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan perlindungan keamanan. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan tetapi juga meliputi penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai kultural dan kemanusiaan yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil melainkan juga untuk menumbuhkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan. Perluasaan pilihan-pilihan ekonomi dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan bukan hanya terhadap orang atau Negara lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.
Sebagai contoh studi kasus yang dapat memberikan suatu pencerahan bahwa potensi kearifan lokal dapat membawa perekonomian kearah yang berkelanjutan di daerah Kampung Sarongge. Masyarakat menggunakan Leuit (lumbung penyimpanan padi atau gabah hasil panen komunitas petani) untuk menjadikan hasil panen sebagai cadang dimasa paceklik. Selama puluhan tahun dari genersi kegenerasi masyarakat kampung ini mempertahankan tradisi menyimpan padi dalam lumbung keluarga baik untuk kepentingan konsumsi maupun benih musim tanam berikutnya. Selama budaya ini dipertahanan tidak ada masyarakat kampung Sarongge yang menderita kelaparan karena tidak memiliki simpanan makanan.


F.  KESIMPULAN
            Terdapat banyak pranata sosial di tengah masyarakat, dan salah satu di antaranya adalah tokoh adat. Peran tokoh adat sangatlah penting dalam penyelesaian masalah yang muncul di tengah masyarakat. Tokoh adat berperan cukup penting dalam pengendalian sosial, yakni mengendalikan sikap dan tingkah lalu masyarakat agar saesaui dengan adat dan norma yang berlaku. Pengendalian sosial terwujud dalam pemgawasan dari suatu ke kelompok lainnya guna mengerahkan peran-peran individu atau kelompok sebagai bagian dari masyarakat agar tercipta situasi kehidupan bermasyarakat yang aman, tertib, dan nyaman. Adapun motivasi penggerak pengendalian sosial oleh tokoh adat adalah untuk menjaga kearifan lokal yang telah hidup berdampingan dengan masyarakat sejak lama. Adapun kearifan lokal sendiri adalah suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup, pandangan hidup, dan kearifan hidup.
Di Indonesia, kearifan lokal tidak hanya berlaku secara lokal pada budaya atau etnik tertentu, tetapi juga bersifat lintas budaya yang kini kita kenal sebagai konsep Bhineka Tunggal Ika. Di dalam konsep Bhineka Tunggal Ika terdapat kearifan lokal berupa ajaran hidup gotong royong, toleransi, kerja keras, dan saling menghormati. Kearifan lokal dapat dijadikan rujukan dalam penyelesaian masalah di masyarakat. Salah satu contohnya adalah tradisi 'pela', 'gandong, makan patita', dan 'masohi' di Ambon adalah kearifan lokal setempat yang bersifat positif dan konstruktif dalam menjaga toleransi dan mendorong rekonsiliasi penangan konflik antar agama di sana. Dalam upaya rekonailasi terkait, diungkapkan bahwa ada keterlibatan tokoh agama dan tokoh adat dalam mendorong hadirnya peningkatan apresiasi masyarakat terhadap kearifan lokal.
Ketika kearifan lokal setempat mulai kembali menarik atensi masyarakat, lambat lain konflik antar agama yang terjadi di Ambon pun mulai berangsur mereda dan bahkan hilang sama sekali. Hal di atas membuktikan bahwa kearifan lokal yang digiatkan oleh tokoh adat dan tokoh-tokoh panutan lainnya mampu membantu mendorong upaya penanggulangan konflik, termasuk radikalisme. Hal ini dikarenakan kearifan lokal mengena di hati masyarakat sehingga mudah untuk dimanfaatkan sebagai sarana penyelesaian konflik. Untuk itu, diharapkan seluruh masyarakat di Indonesia kembali menghidupkan budaya-budaya lokal serta kearifan lokal yang ternyata dapat difungsikan sebagai alat perekat kerukunan masyarakat dengan berbagai perbedaannya. Pendekatan multikultural adakah alternatif penting yang dapat dimanfaatkan untuk meminimalisir konflik di negeri ini. Radikalisme dan terorisme dapat dilihat terkait dengan persebaran keberagaman yang kemudian menggelorakan sentiment anti budaya. Mereka (terorisme dan radikalisme) tidak melihat bahwa kondisi kemajukan bangsa Indonesia merupakan khazanah lokalitas yang telah terbangun sejak lama. Dengan kembali mengingat serta mengamalkan kearifan lokal dengan sebaik-baiknya, niscaya kita mampu membangun kekuatan nasional yang kokoh dalam menghalau radikalisme, apalagi terorisme.
Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu, dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat. Local wisdom /kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya; Al-Ma’ruf bermakna kebaikan. Makna ini mengandung sebagai sesuatu yang dipandang hidup dalam masyarakat dan dipandang bernilai baik. Karena itu, ada kaidah fiqhiyah yang dikenal dengan al-‘Adat Muhakkamah. Tradisi yang baik -sesuai prinsip-prinisp hukum Islam- dapat dijadikan sebagai pertimbangan hukum. Tentu saja tradisi yang dimaksud adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama Islam. Dengan demikian nilai-nilai kearifan lokal dapat dipandang sebagai unsur yang dapat mendukung penciptaan adat yang bakal menjadi pertimbangan hukum.
Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama. Oleh karena itu sangat strategis apabila dijadikan suatu terobosan terbaru dalam pembangunan karena masyarakat mengetahui apa yang dibutuhkan dan baik untuk mereka. Kearifan lokal yang dikelola dengan sinergitas dapat menjadi motivasi yang kuat untuk mendapatkan insentif yang paling bernilai untuk pembangunan jangka panjang.


G.  REKOMENDASI
1.      Menghidupkan kembali lembaga-lembaga masyarakat dan bahkan ritual yang bersifat lokal dan memiliki akar budaya yang kuat di dalam masyarakat
2.      Pelibatan paratokoh agama dan tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh luas di wilayahnya (lokal) itu sendiri dalam proses pendidikan agama di perguruan tinggi secara langsung
e.       Optimalisasi peranan lembaga keagamaan moderat, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persis. Keterlibatan lembaga keagamaan lokal, Komite Persiapan Penegakkan Syariat Islam (KPPSI) dan Wahdah Islamiyah, juga perlu ditingkatkan. Keduanya merupakan lembaga yang berpengaruh di tengah-tengah masyarakat Sumatera Utara.
f.       Memasukkan mata kuliah atau pelajaran pengetahuan tentang perbandingan, apakah pengetahuan perbandingan antar agama dan intern agama
g.      Kampanye anti-radikalisme melalui lembaga pendidikan
h.      Revitalisasi kearifan lokal
i.        Kampanye anti radikalisme dan terorisme melalui berbagai media
j.        Diperlukan kesinergisan antara stakeholder yang terkait agar kearifan lokal dapat terlaksana dengan maksimal guna pembangunan yang lebih baik.
  1. Diperlukannya manajemen kolaboratif dalam pengembangan kearifan Lokal.
  2. Perlu diterapkan suatu konsep keberlanjutan, kebersamaan, keanekaragaman hayati, kepatuhan terhadap ukum adat dan subsisten dalam pengembangan kearifan lokal agar menghasilkan suatu pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, yang mencakup ekonomi yang bermanfaat, secara ekologis tidak merusak dan secara budaya menghormati nilai-nilai kemanusiaan.


PUSTAKA
Bahan Bacaan :
Ahnaf, Mohammad Iqbal (2012), “ContestingMorality: Youth Piety and Pluralism in Indonesia.” The Kosmopolis Institute (University for Humanistic Studies):Netherlands.
Armstrong, Karen (2001), Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi(terj.). Bandung: Mizan.
Budianti, Erni (2012). “Pluralism Collepses: A Studyof the Jama’ah Ahmadiyah Indonesiaand Its Persecution,” Asia ResearchInstitute, Working Paper Series No. 117: 20-21.
Crouch, Melisaa (2012). ”Judicial Reviewand Religious Freedom: The Case of Indonesian Ahmadis”, Sydney Law Review [VOL 34:545]: 556-557.
Fadl, Khaled Abou El (2005). The Great Theft: Wrestling, Islam from theExtremists. New York: harperCollins Publisher.
Ichwan, Moch. Nur (2005). “‘Ulama, State and Politics: Majlies Ulama Indonesia After Suharto.”Koninklijke Brill NV, Lieden, Islamic Law Society 2, 1 (45-72): 56-62.
Ichwan, Moch. Nur (2001). “Official Ulema And the Politics ofRe-Islamization: the Majelis Permusyawaratan Ulama, Syari’atization andContested Authority in Post-New Order Aceh.”Journal of Islamic Studes 22:2 (2011; 183-214): 184-185.
Jones, Sidney et al. (2006). Strategic, Political and Social Perspectiveson Radical Ideologies. Singapore: MUIS.
Juergensmeyer, Mark (2000). TerorAtas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama (terj.). Bandung: MizanPress and Anima Publishing.
Reuter, Thomas & Alexander Horstmann (eds) (2013). Faith in The Future: Understanding theRevitalization of Religions and Cultural Traditions in Asia. Leiden: Brill2013.
Suaedy, Ahmad (2011). “Religious Freedom and Violencein Indonesian” dalam Ota Atsushi, Okamoto Masaaki, dan Ahmad Suaedy (eds.) Islamin Contention: Rethinking Islam and the State in Indonesia. Jakarta: Centerfor Southeast Asian Studies (CSEAS) Kyoto University; Jakarta: The WahidInstitute; Taipei: Center for Asia-Pacific Area Studies (CAPAS) Taipei University.Catatan kaki no. 22, h. 149.
Ahmad Suaedy et. al. (2010), Islam, Constitution and Human Rights. Jakarta: Wahid Institute.
Wiktorowicz, Quintan (2005). “A Geneology ofRadical Islam,” Studies in Conflict &Terrorism(Routledge), 28:75-97.
ICG Asia Briefing(2010), “Indonesia: “Kristenisasi” dan Intoleransi.” International Crisis Group, Jakarta/Brussels,24 Nov.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar