Kamis, 30 Desember 2010

PERLINDUNGAN ORANGUTAN BERSAMA

http://www.conservation.or.id/home.php?modul=news&catid=36&tcatid=430&page=g_news.detail

SUARA PEMBARUAN; SEKILAS BERITA

SUARA PEMBARUAN DAILY

Sekilas


Pundi Amal Alfa Supermarket

Untuk membantu korban gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah, Pundi Amal Alfa Supermarket memberikan sumbangan senilai Rp 140 juta, di antaranya berbentuk barang, seperti tenda, obat- obatan, air mineral, dan sarung. Sebagian dana itu juga digunakan untuk memperbaiki fasilitas umum dan fasilitas sosial. Sumbangan itu disalurkan pekan lalu ke Wisma Wijaya Praya di Jalan Wulung No 9A Pabringan, Yogyakarta. Lembaga ini dipimpin Romo Kusmaryanto SCJ, yang kemudian disalurkan ke posko-posko bencana gempa di Kabupaten Bantul dan Gunung Kidul. Bantuan juga diberikan kepada masyarakat di sekitar alfa supermarket di Jl Raya Solo KM 8 No 234 Maguwoharjo, Depok, Sleman. Pundi Amal Alfa terbentuk pada April 2002, dengan memanfaatkan pengembalian uang belanja konsumen di bawah Rp 100. Penggalangan dana itu dilakukan tanpa paksaan, karena kasir akan menanyakan kepada konsumen, apakah bersedia atau tidak, menyumbangkan uang kembalian itu. Dana yang terkumpul disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan, seperti membantu masyarakat tidak mampu di sekitar toko dan membantu korban bencana. [PR/A-16]


Bagi-bagi Bibit Pohon

Peringatan hari Lingkungan Hidup Sedunia di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (5/6), diwarnai aksi bagi-bagi bibit pohon dan pembagian stiker kepada para pengguna jalan raya secara cuma-cuma. Aksi yang dilakukan Yayasan Pekat Indonesia (YPI) dilakukan di di kawasan Titi Sungai Deli Jalan Juanda Medan. Dalam aksinya mereka juga menggelar aksi penanaman seribu bibit pohon Mahoni di pinggiran Sungai Deli Kecamatan Medan Maimun dan Kecamatan Medan Johor. Menurut Executive Chairman YPI, Efrizal Adil Lubis, kegiatan tersebut merupakan simbol kepedulian terhadap lingkungan. Hal itu mengingat kondisi lingkungan di kota Medan saat ini sangat memperihatinkan akibat krisis daerah resapan air. Sedangkan kawasan Sibolangit yang dulunya menjadi kawasan resapan air, diperkirakan telah mengalami perubahan dengan penurunan debit air akibat maraknya penebangan hutan di daerah ini dan diperkirakan 5-10 tahun kedepan, Medan defisit air. [151]


Imunisasi di Lokasi Gempa

United Nation Children's Fund (Unicef) akan melakukan imunisasi massal penyakit campak kepada lebih dari 130.000 anak di bawah usia lima tahun korban gempa Yogyakarta dan Jawa Tengah, Kamis (8/6). Kepala Bagian Kesehatan dan Gizi Unicef Jakarta David Hipgravc, dalam siaran pers yang diterima Pembaruan, Rabu (7/6), mengatakan bahwa anak-anak yang mengalami bencana dan tinggal di tempat penampungan sementara yang padat sangat rentan terhadap penyakit, karena itu diperlukan upaya khusus untuk memberikan imunisasi sesegera mungkin. Anak kurang gizi berisiko paling tinggi terkena komplikasi dan meninggal karena campak. Karena itu, Departemen Kesehatan melalui Dinas kesehatan Provinsi dan Kabupaten serta dukungan dari Unicef akan menyelenggarakan kampanye campak beserta pembagian vitamin A kepada anak usia 6-59 bulan. Imunisasi tersebut akan berlangsung serentak di 162 Desa di wilayah Yogyakarta dan Klaten. [W-12]


Sekolah Internasional Tarif Murah

Sekolah bertaraf internasional kembali dibuka di Jakarta. Tetapi berbeda dengan yang sudah ada, sekolah bernama Al Jabr Islamic School menetapkan biaya yang relatif murah dan bisa dijangkau kalangan menengah ke bawah. Menurut pendiri Yayasan Al Jabr Center Uchu Riza, pada saat pembukaan sekolah tersebut di Jakarta, Sabtu (3/6) yang dihadiri Menteri Perhubungan Hatta Radjasa, sekolah bertaraf internasional dengan biaya murah bias dicapai karena yayasan yang menaunginya tidak mencari profit. "Kita membangun sekolah ini semata-mata ingin membantu kalangan menengah ke bawah agar bisa menikmati pendidikan bertaraf internasional. Investasi berupa gedung dan sarana lainnya tidak kami hitung. Tetapi itu sebagai bentuk amal kepada sesame sehingga biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat jadi lebih murah," kata Uchu.
Ditambahkan, biaya yang dikeluarkan oleh orangtua murid, yaitu uang pangkal Rp 9 juta untuk enam tahun, biaya SPP Rp 400 ribu per bulan dan Rp 1,6 juta untuk biaya buku-buku dan pakaian per tahun. Selain itu, setiap 20 kursi siswa setiap kelas di Al Jabr diperuntukkan bagi anak yatim piatu. [PR/A-22]

MASYARAKAT HUTAN BATANG TORU KEMBANGKAN CU

http://www.harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=22419:masyarakat-hutan-batang-toru-bentuk-ekonomi-mikro&catid=32:sumut-dan-aceh&Itemid=58

KONDISI RAWA GAMBUT ACEH SELATAN

http://www.ramsar.org/cda/en/ramsar-documents-standing-standing-committee-23309/main/ramsar/1-31-41%5E23309_4000_0__

NAGAN RAYA JADI KAMPUNG TENDA

http://www.endonesia.com/mod.php?mod=publisher&op=printarticle&artid=470

PANTAI BARAT SUMATERA UTARA TERUMBU KARANG HANCUR




Ekosistem laut Terumbu Karang yang Makin Menghilang
18 Nopember 2006


Perairan Sibolga bukan hanya memiliki gugusan pulau kecil yang tersebar. Perairan ini juga kaya keanekaragaman hayati dan terumbu karang. Di antaranya bahkan endemik. Demikian halnya gugusan pulau-pulau Batu di Barat Daya Pulau Nias. 

Terumbu karang merupakan habitat ikan-ikan karang maupun ikan permukaan. Terumbu karang di perairan Sibolga dan perairan pulau-pulau Batu merupakan rangkaian di sepanjang Pantai Barat Pulau Sumatera, dari Simeulue (Aceh) hinggga ke Enggano (Bengkulu).
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, maraknya pengeboman ikan dan pembiusan di sekitar perairan Sibolga dan Nias Selatan telah menyebabkan gugusan terumbu karang rusak parah. Sumatera Utara memiliki total 140.000 hektar gugusan terumbu karang di wilayah Pantai Timur dan Pantai Barat. 

Hampir semua gugusan terumbu karang itu di Pantai Barat, di dalamnya termasuk yang ada di perairan Sibolga dan Nias Selatan. Di dua perairan inilah tercatat kerusakan terumbu karang yang terbesar volumenya. 

Pembiusan ikan biasanya dilakukan para pencari ikan hias. Zat yang digunakan menyebabkan pertumbuhan karang terhambat. Selain pengeboman dan pembiusan, terumbu karang di perairan tersebut rusak karena sering diambil untuk dijual sebagai bahan bangunan.
"Total kerusakan terumbu karang di perairan Sumatera Utara mencapai 35 persen luas terumbu karang yang ada. Jadi, hampir 50.000 hektar terumbu karang di perairan Sumatera Utara, terutama di Pantai Barat telah hancur dan membutuhkan konservasi berkelanjutan," ujar Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sumut Yoseph Siswanto. 

Data dari Yayasan Pekat yang pernah mengadakan penelitian tentang tingkat kerusakan terumbu karang di perairan Pantai Barat Sumut menunjukkan, terumbu karang yang utuh tinggal 40 persen saja. "Luas kerusakan akibat pengeboman ikan di Nias Selatan jauh lebih hebat dibandingkan dengan dampak tsunami dan gempa bumi," ujar Ketua Yayasan Pekat Efrizal Adil. 

Di wilayah ini hanya perairan yang mudah diawasi dan kerap dilalui patroli bersama Dinas Perikanan dan Kelautan dan Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Sibolga saja yang masih relatif bagus terumbu karangnya. Dengan mengebom, nelayan dengan mudah mendapat ikan dalam jumlah yang luar biasa. Apalagi, modal membuat bom ikan relatif murah. Belum lagi keterbatasan aparat TNI Angkatan Laut melakukan patroli mengawasi seluruh aktivitas penangkapan ikan di perairan ini. 

Bahan peledak yang biasa dipakai adalah campuran chlorium nitrat dan belerang yang dimasukkan dalam botol minuman lalu diberi sumbu. 

Bahan peledak berupa chlorium nitrat, menurut mantan Komandan Pangkalan AL (Lanal) Sibolga Letnan Kolonel Laut (P) Jaka Sentosa, didatangkan lewat darat dari Lampung. Setelah sampai di Sibolga, bahan peledak tersebut biasanya disimpan para pelaku di tempat-tempat tersembunyi di sekitar Pulau Mursala dan gugusan pulau yang berada di dekatnya. Setiap melakukan pengeboman, biasanya para pelaku berlayar menggunakan kapal nelayan biasa tanpa membawa bom. Mereka kemudian mengambil bahan peledak di pulau-pulau tersebut. 

Sekali meledakkan bom ikan, nelayan bisa memperoleh ratusan kilo ikan dengan mudah karena daya ledak yang luar biasa. Satu botol peledak bisa merusak terumbu karang hingga radius 25 meter persegi. 

"Kerusakan yang timbulkan luar biasa. Padahal, karang memerlukan waktu hingga 10 tahun untuk bisa tumbuh hanya satu sentimeter," ujar Jaka. 

Berdasarkan pengamatan Kompas di sekitar perairan Pulau Mursala yang berjarak 12 mil laut dari Pantai Sibolga, banyak sisa-sisa kerusakan terumbu karang bekas pengeboman. Terumbu karang di perairan ini sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan.
Menurut Yoseph, program coral reef mapping (cormap) atau pemetaan terumbu karang dari Departemen Perikanan dan Kelautan memang membantu program konservasi terumbu karang di Pantai Barat Sumut. 

Untuk Sumut, dana cormap yang dikucurkan pemerintah mencapai Rp 1,95 miliar. Salah satunya digunakan untuk pembuatan terumbu karang. "NAmun, ini pun harus berkelanjutan paling tidak sampai lima tahun ke depan. Itu pun baru terlihat hasilnya sepuluh tahun kemudian," ujar Yoseph. 

Mengandalkan tindakan represif untuk meminimalkan aktivitas pengeboman ikan juga tidak bisa terlalu diharapkan. Keterbasan sumber daya, baik dari Dinas Perikanan dan Kelautan maupun dari TNI Angkatan Laut, hanya bisa meminimalkan aktivitas pengeboman ikan.
Menurut Jaka, operasi rutin yang digelar TNI AL memang cukup efektif untuk memberantas pengeboman ikan. Namun, keterbatasan sarana patroli yang dimiliki Lanal Sibolga diakuinya menjadi kendala. Hingga saat ini Lanal Sibolga hanya memiliki tiga kapal patroli, yakni satu Kapal Angkatan Laut (KAL) berukuran panjang 28 meter, satu kapal patroli keamanan laut (patkamla) ukuran 12 meter, dan satu speed boat ukuran delapan meter. 

"Padahal panjang pantai di Pantai Barat Sumut ini saja mencapai 115 mil laut. Ini belum termasuk pantai-pantai di perairan Pulau Nias dan pulau-pulau lainnya di Pantai Barat," kata Jaka. 

Selain itu, para pelaku pengeboman ikan menurut Jaka juga sangat cerdik untuk menghindari penangkapan. Mereka biasanya melakukan pengeboman di perairan lepas yang bisa melihat kedatangan kapal patroli. "Kami enggak bisa menangkap basah pengebom ikan kalau menggunakan kapal patroli. Biasanya kami menyamar menjadi nelayan untuk bisa menangkap basah pelaku pengeboman," kata Jaka. 

Dihukum ringan
 
Jaka menyayangkan hukuman bagi para pelaku pengeboman ikan yang terlalu ringan. Tujuh orang tersangka yang perkaranya sudah diputus di Pengadilan Negeri Sibolga hanya dihukum satu tahun dua bulan serta denda Rp 2 juta. 

"Padahal, ancaman hukumannya penjara hingga enam tahun dan denda sampai Rp 2 miliar," katanya. Padahal, akibat langsung dari pengeboman ikan ini jelas, yaitu kerusakan terumbu karang yang pada gilirannya semakin membuat nelayan kesulitan memperoleh ikan. Kondisi inilah yang tidak pernah disadari nelayan, bahwa hal itu bisa berakibat jelek dalam jangka panjang. 

Rizal, salah seorang nelayan lokal di Sibolga, menuturkan, hasil tangkapan ikannya jauh merosot dibandingkan dengan 10 tahun lalu. Jika dulu dengan menggunakan perahu kecil dan alat pancing sederhana saja dia bisa memperoleh puluhan kilo ikan dalam sehari, "Sekarang yang bisa mendapat banyak tangkapan cuma nelayan dengan perahu besar. Itu pun bergantung pada musimnya. Kalau musim Barat seperti ini, belum tentu tangkapannya bisa sesuai dengan ongkos yang dikeluarkan," ujarnya. 

Menurut Yoseph, dalam program coremap ada dana pembinaan terhadap nelayan yang sebelumnya terbiasa menggunakan bom ikan. "Kami terus melakukan pembinaan agar mereka tidak lagi meneruskan aktivitas itu. Nelayan juga diberi bekal pengetahuan kalau kerusakan terumbu karang itu berdampak langsung pada mereka," ujarnya. 

Kerusakan lingkungan lebih besar juga mengancam kehidupan nelayan di pesisir Pantai Barat Sumut jika kerusakan terumbu karang ini tidak segera ditangani. Skala kerusakan yang luar biasa luas membuat tak banyak lagi gugusan terumbu karang tersisa di Pantai Barat Sumut. 

"Bukan hanya nelayan bakal kehilangan mata pencaharian, tetapi keseimbangan ekologis juga terganggu. Erosi di daratan dengan mudah terjadi karena kerusakan terumbu karang ini. Kalau tidak ada terumbu karang, tidak ada lagi penahan alami untuk gelombang," kata Efrizal.
Sumber : drz

PUNAHNYA SATWA LIAR YANG DILINDUNGI

Sebuah Pengalaman dan Pelajaran di Lapangan
PUNAHNYA SATWA LIAR YANG DILINDUNG[1]

Oleh : Efrizal Adil Lubis[2]

Pendahuluan

Masih marak terus perdagangan satwa liar ditingkat nasional dan internasional terbukti dengan diperolehnya informasi dilapangan dan pemberitaan media cetak tentang perdagangan satwa liar yang dilindungi, baru-baru ini tanggal 30 september 2006, petugas gabungan Polisi Kota Besar Medan Sekitarnya (Poltabes MS) dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sumatera Utara mendapatkan ratusan kulit hewan trenggiling yang akan di kirim ke luar negeri. Seiring itu pula, masih ditemukan pengiriman sirip ikan hiu secara sembunyi-sumbunyi melalui pantai timur sumatera. Diperoleh keterangan harga sirip hiu kering berkisar Rp. 1-3 juta rupiah perkilogram-nya. Dan pengiriman ikan-ikan hias juga terus berlanjut seperti ikan jenis Napoleon, Arwana dan anakan ikan hiu ke Malaysia dan Singapore melalui cargo udara dan laut. Hasil pemantauan dilapangan, diketahui juga bahwa para pedagang satwa liar tersebut bukan hanya mengirim satwa liar keluar negeri tetapi juga menerima kiriman satwa liar (dilindungi CITES) dari luar negeri seperti Kura-kura dari India, Ikan hias, dan lainnya.

Umumnya pengekspor dan pengimpor sangat mahir dan berpengalaman dalam hal ini, pantauan dilapangan bahwa para kolektor/pedagang tersebut memiliki badan usaha yang legal dan memiliki jaringan bisnis dengan pihak-pihak terkait yang sangat ketat dan tertutup rapi. Semua persyaratan administrasi untuk eksport dan import mereka penuhi dengan baik.

Kelemahan yang sangat jelas adalah lemahnya pengawasan dan penindakan dari pihak-pihak terkait, masih dapat dilihat dilapangan bahwa petugas kerap memberi tanda cap atau pengesahan dokumen eksport atau import tanpa melakukan pengecekan langsung ke komoditi yang akan dikirim, seakan-akan semua sudah dilakukan pemeriksaan dan pengecakan.

PHKA telah mengeluarkan kebijakan tentang tata niaga penangkaran, perburuan dan perdagangan tanaman dan satwa liar. Izin usaha ini dapat diberikan kepada badan usaha, lembaga konservasi, koperasi, ataupun perorangan. Izin usaha penangkaran diterbitkan oleh Direktorat Jenderal perlindungan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA), Departemen Kehutanan.

Untuk memperoleh izin usaha penangkaran permohonan ditujukan kepada Dirjen PHKA dengan tembusan kepada instansi kehutanan di daerah (Dinas Kehutanan dan Balai KSDA), yang dilengkapi dengan : Berita acara pemeriksaan persiapan teknis tempat penangkaran dari Balai/Unit KSDA, rekomendasi dari Kanwil Dept. Kehutanan, proposal usaha penangkaran, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Surat Izin Tempat Usaha (SITU)/HO, tanda daftar perusahaan (TOP), NPWP, Akte Notaris Pendirian Usaha, Biodata tenaga ahli yang diperkerjakan.
Usaha penangkaran yang telah memiliki izin usaha, diwajibkan menyampaikan laporan berkala tentang perkembangan usaha penangkarannya. Laporan berkala terdiri atas laporan bulanan, laporan triwulan dan laporan tahunan.

Namun sebaik apapun sebuah peraturan belum bisa menjamin terlaksananya sebuah proses pengawasan yang baik, dilapangan masih diketemukan beberapa tempat-tempat usaha yang tidak sama sekali memiliki izin usaha, bahkan ada yang mengatakan ²untuk apa repat-repot urus izin usaha, toh petugas datang setiap minggu ambil uang pada kami!² hal ini dapat dipastikan masih berlangsung di pasar-pasar satwa di kota Medan dan sekitarnya.

Keinginan untuk mendapat untung yang sebesar-besarnya seperti tidak terbendung lagi bagi sejumlah pedagang satwa di Sumatera Utara dan Indonesia umumnya. Masih banyak kami peroleh iklan-iklan pedagang di internet mencari ofsetan satwa liar yang dilindungi.

Permintaan lokal tentang satwa liar yang dilindungi, baik dalam bentuk ofsetan, tulang/kerangka, bagian tubuh tertentu sangat tinggi, dan pasar khusus ini juga menjanjikan harga yang istimewa bagi para sekelompok pedagang. Bagi sebagian komoditas masyarakat di Sumatera Utara ada yang secara turun temurun (budaya) untuk mengkonsumsi bagian dari tubuh satwa liar untuk pengobatan, atau meningkatkan kualitas tubuh sipenggunanya. Bahkan sebagian masyarakat juga masih mempercayai bahwa bagian-bagian khusus tubuh satwa liar seperti harimau, gajah, dan lainnya memberikan khasiat magic bagi pemakainya.


Bagaimana Dengan Masyarakat?

Sebagian dari masyarakat belum memahami apa, mengapa dan bagaimana konservasi Orangutan dan Satwa liar yang dilindungi di Sumatera Utara secara baik dan benar, khususnya dalam hal konservasi kawasan ekosistem dan sekitarnya. Tutupan hijau semakin hari semakin menipis, dan bencana bagi kehidupan manusia dan satwa orangutan khususnya. Mulai dari pesisir, dataran rendah hingga dataran tinggi bukan lagi tempat aman dan nyaman bagi orangutan untuk hidup, keterbatasan ruang untuk berkembang dan mencari makan menyebabkan populasi orangutan menurun, ditambah lagi dengan kelangkaan dan spesifiknya satwa orangutan, harimau, gajah, beruang, tapir, dan lainnya ini sehingga memberikan nilai ekonomi yang menggiurkan untuk diperoleh, dan diperjual belikan oleh sekelompok manusia.

Aktivitas dari komunitas perdagangan satwa liar ini sangatlah unik dan tertutup sehingga sulit untuk diberantas dan ditangkap. Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah terjadinya transaksi dagang satwa liar dan orangutan, namun usaha itu belum mampu memberikan dampak yang positif bagi perkembangan populasi satwa liar dan orangutan yang semakin langka tersebut.

Masyarakat pinggiran hutan, lokasi potensial keberadaan satwa liar dan orangutan merupakan pelaku pemburu. Sedangkan pedagang/pengusaha dari kota, umumnya sebagai pemodal. Umumnya pemburuan dilakukan apabila ada pesanan terlebih dahulu. Baik itu pengusaha/pedagang ataupun masyarakat sekitar hutan. Permintaan biasanya datang dari para penggemar/hobies, rumah makan/restaurant, kolektor, dan lainnya. Pada dasarnya masyarakat termotivasi untuk melakukan pemburuan disebabkan tawaran rupiah yang besar.

Pola hidup yang semakin konsumtif dan meterialistis di sekitar masyarakat saat ini merupakan salah satu kunci dilakukannya pemburuan illegal. Tuntutan ingin memiliki pesawat televisi yang bagus, pakaian dan memiliki sepeda motor membuat masyarakat melakukan pemburuan.

Modal dasar untuk melakukan pemburuan tradisional adalah bekal diperjalanan (beras, lauk pauk, minyak tanah, dan uang saku dirumah selama ditinggal pergi). Semua ini akan ditanggung oleh pedagang/pengusaha yang memesan kepada pemburu. Biasanya pemburu terdiri dari 3-5 orang. Dan untuk melakukan pemburuan menghabiskan waktu 5-7 hari di hutan, mereka tidak berani berlama-lama karena hal ini memungkinkan akan tertangkap oleh petugas.

Apabila buruan telah berhasil diperoleh, maka hasil buruan akan diserahkan kepada pedagang yang memesan. Hasil buruan yang diserahkan ada dua type, pertama sipedagang menunggu di pinggiran hutan atau pemburu akan membawa hasil buruan ke kota asal pedagang yang memesan.

Perdagangan satwa liar, umumnya sudah menjadi rahasia bersama masyarakat disekitar lokasi hutan, mulai dari petugas, aparat, supir angkutan, dan sebagainya memahami dan saling keterkaitan. Contoh, hasil buruan akan dibawa melalui jasa angkutan penumpang umum, bersamaan penumpang dan barang-barang lainnya ke kota tujuan. Apabila hasil buruan hidup dan berbadan besar, umumnya mempergunakan jasa angkutan barang (pickup atau truk) yang dikombinasi dengan produk-produk pertanian atau lainnya, sebagaimana diupayakan agar tidak terlihat dan terpantau. Apabila diperjalanan ada pos pengawasan, biasanya tidak sebegitu ketat pemeriksaan, cukup dengan menyodorkan rupiah kepada petugas maka perjalanan bisa berlangsung terus.

Analisis Permasalahan dan Alternatif Pemecahan Masalah

Analisis permasalahan dan alternatif pemecahan dilakukan dengan mengambil kesimpulan dari persepsi, pola dan jaringan perdagangan satwa liar dan orangutan dilindungi

Masih lemahnya lembaga pengawasan ditingkat kabupaten dan kota terhadap perdagangan satwa liar. Dan begitu juga halnya di tingkat nasional (pelabuhan udara dan laut) sebagai jalur keluar masuk ke luar negeri. Umumnya perlakukan pengawasan yang ketat dilakukan apabila ada laporan atau bocoran dari masyarakat ke petugas, atau ada program razia gabungan yang telah terprogram anggarannya di APBD dan APBN maka pengawasanpun dilakukan seketat-ketatnya. Dan dijumpai ketidak kompak dan sinkronnya antara beberapa lembaga dan instansi terkait pengawasan perdagangan satwa liar dilapangan. Saling lempar masalah dan mengelak akan tanggungjawab. Contoh, pihak karantina telah menangkap beberapa jenis satwa, kemudian dititipkan kepada pihak terkait yang berkompoten sesuai Undang-undang Negara. Kemudian bagi pihak yang berkompoten dipertanyakan kembali oleh pihak karatina dimana satwa yang diserahkan, namun jawabnya panjang dan tidak menunjukkan kepastian dan tanggungjawab penuh.

Masih dijumpai dilapangan ketidak mengertian dan ketidaktahuan petugas akan jenis-jenis satwa yang dilindungi atau tidak dilindungi. Dan minimalnya perlengkapan pendekteksian yang moderat, petugas hanya mengandalkan informasi masyarakat, visual dan naluri perorangan akan pendekteksian keberadaan satwa liar. Form-form yang disyaratkan untuk di isi oleh pengimport atau pengeksport hanya di isi syarat saja tanpa ada pemeriksaan yang akurat kelapangan. Kesannya, seakan-akan semua sudah beres dan tidak perlu ada recheck lapangan/ulang petugas. Walau ada kecurigaan terhadap dokumen maupun komoditi yang akan dikirim tidak diteruskan pemeriksaan oleh petugas disebabkan hampir seluruh importir maupun eksportir memakai jasa ekspedisi/cargo yang petugasnya kerap berada disana dan siap melayani petugas dalam upaya meluruskan dan mempercepat proses pengiriman atau pengeluaran barang-barang dari pelabuhan udara/laut. Perlu dibentuk sebuah pengawasan satu atap, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan lempar masalah. Bagi negara akan lebih menguntungkan dalam mengontrol dan mengawasi dan bagi pengusaha lebih gampang murah dan cepat.

Dilapangan dilakukan wawancara informal dengan praktik hukum di Kabupaten, dan diperoleh informasi bahwa kasus perdagangan satwa belum dianggap sebuah kasus penting dan membahayakan bagi kelangsungan dan kehidupan di ditingkat kabupaten. Dalam arti tidak seksi dan bukan menghasilkan rupiah yang besar. Dan cukup ditanggapi dan diaminkan saja. Walau undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah dan lainnya sudah banyak yang dikeluarkan berkaitan dengan perlindungan dan perdagangan satwa liar, itu belum menjadi perhatian bagi penegak hukum, praktisi hukum dan masyarakat.

Di tiga lokasi penelitian (Tapsel, Taput, Kota Medan), tidak ditemukan peraturan daerah yang memihak kepada perlindungan dan pengawasan atau tentang perdagangan satwa liar. Dan hanya di dapat pada peraturan pemerintah, undang-undang, dan keputusan menteri.

Penutup
²Jangan ragu untuk ikut serta dalam memerangi Perdagangan satwa Liar Orangutan“, membangun koalisi adalah langkah pertama yang harus dilakukan. Dengan Syarat tanamkan dan perteguh nilai-nilai HARKAT dan MARTABAT untuk sebuah KEPERCAYAAN maka untuk membangun kepercayaan antara masyarakat sipil, swasta, pemerintah, legislatif, dan politisi jujur dibutuhkan kerjasama dan kesungguhan.



[1] Disampaikan dalam Acara Pelatihan Unit Perlindungan Orangutan (OPU) dalam Perlindungan Orangutan dan Habitatnya di Daerah ALiran Sungai (DAS) Batang Toru, Wisma Bumi Asih Jaya, Tapteng, 21-24 November 2006
[2] Executive Chairman, Pekat Indonesia Foundation (Yayasan Pekat Indonesia)


HANCURNYA GEDUNG MEGA ELTRA MEDAN



MASYARAKAT, LSM, DAN GEDUNG MEGA ELTRA


SEJARAH GEDUNG

Gedung Lindetevis Stokvis yang pernah digunakan oleh PT. Mega Eltra di dirikan tahun 1912. Perusahaan Lindetevis Stokvis di di dirikan di Semarang tahun 1889 oeh Van Der inde & Taves. Mereka adalah pedagang barang-barang yang terbuat dari metal dan suppier kebutuhan berbagai perusahan perkebunan. Perjaanan perusahaan ini awalnya tahun 1903 di Keizersgracht, Amsterdam. Dan pada tanggal 1 Januari 1910 perusahaan ini mengambil aih sebuah perusahaan asal Hindia Belanda bernama R. S. Stokvis and Sons Ltd di Rotterdam. Seteah itu baru berubah nama menjadi Lindetevis-Stokvis.

Pada tahun-tahun setelah itu, perusahaan Lindetevis Stokvis membuka cabang di Batavia, Jogyakarta, Surabaya, Tegal dan Bandung, karena usahanya di luar pulau Jawa semakin maju, khususnya di kawasan perkebunan di Pantai timur Sumatera, maka pada tahun 1912 perusahaan ini membuka kantor di Medan dan sebuah cabang di Pematang Siantar.

Gedung Lindetevis Stokvis yang kemudian kita kenal sebagai gedung Mega Eltra adalah saksi sejarah bahwa kota Medan pernah menjadi pusat bisnis termuka di Sumatera. Selain sebagai kantor perusahaan supplier barang-barang kebutuhan perkebunan, gedung itu juga digunakan tempat penjualan keperluan umum seperti halnya Mall sekarang ini. Menurut cerita, saat Jepang masuk ke kota Medan melalui Pantai Cermin, orang-orang Belanda yang mengurusi gedung dan pertokoan itu lari-lari orang Poh An Tui datang menjarah barang-barang tertangap lalu di pancung tentara Jepang. Kepalanya di pajangkan di seberang pertokoan itu untuk memberikan efek jera kepada masyarakat.


SIAPA YANG DI UNTUNGKAN DAN SIAPA YANG DIRUGIKAN?

Bila ditinjau dari aspek kebijakan pemerintah kota dan apa saja kebijakan yang menyebabkan masyarakat semakin terabaikan dan siapa yang diuntungkan dengan system pengelolaan Sumberdaya seperti sekarang ini, tentu hanya segelintir orang yang diuntungan, dalam hal ini adalah para pemilik modal, mereka yang dekat dengan kekuasaan dan para pengambil kebijakan di tingkat atas.

Sementara itu dengan diterapan system penataan kota seperti sekarang ini, dengan melahirkan berbagai kebijakan-kebijakan di masa lalu yang menyebabkan masyarakat dirugikan, kita lihat dampaknya terhadap masyarakat di dalam dan dipinggiran kota dari berbagai kebijakan yang dipergunakan untuk penguasaan dan pengelolaan atas lahan atau tanah sangat merugikan masyarakat yang tinggal di dalam dan dipinggiran kota, karena masyarakat yang ada di dalam dan dipinggiran ota hidupnya yang tergantung dengan lahan atau tanah.

Kalau dipandang dari sisi ekonomi dengan lahirnya berbagai ebijakan tentang pengelolaan dan pemanfaatan ruang dan ahan, memudahan pemilik moda atau pengusaha berdatangan kesekitar dalam dan pinggiran kota, dengan kehadiran pengusaha apa lagi dengan daih menggandeng Penanam Modal Asing (PMA) inilah yang menyebabkan penghasilan masyarakat kota dan sekitarnya semakin berkurang. Terang dan lahan kota menyimpan banyak sumber penghidupan bagi masyarakat bawah sekitar kota.

Logikanya, dengan kedatangan pemodal yang menggandeng PMA secara otomatis akan mempengaruhi pendapat masyarakat, baik dari sisi positip dan negatip-nya. Kita tahu sifat dari pengusaha misalnya saja pengusaha property atau rea eastet melakukan eksploitasi ruang dan lahan kota dengan menggunakan peminjaman kekuasaan dan kekuatan pemerintah dan beking TNI/Polri, sehingga masyarakat pinggiran dan bawah ini menjadi ketakutan dan lari. Pembangunan dengan sengaja membua ruang dan lahan kota seperti penghancuran bangunan bersejarah atau cagar budaya dengan dalih gedung tersebut belum terdaftar di dalam Peraturan Daerah (Perda) sehingga perlu diperbaharui lagi.

Sementara itu kalau dari segi kehidupan social budaya masyarakat sekitar dalam dan pinggiran kota Medan sangat dirasakan oleh masyarakat kota, penghancuran gedung bersejarah dan cagar budaya adaah ancaman terhadap kehidupan budaya dan ilmu pengetahuan.


MENGAPA MASYARAKAT DAN LSM MENOLAK?

Asi penolakan terhadap penghancuran gedung Mega Eltra (Lindetevis Stokvis) di Medan yang dilakukan oleh Masyarakat, LSM, dan Mahasiswa, adaah aksi sebagai protes terhadap ketidak pedulian pemerintah kota Medan dan DPRD Kota Medan terhadap asset budaya dan pariwisata di Kota Medan. Lebih jauh lagi, sebagai aksi tersebut adalah symbol dari jeritan masyarakat kecil terhadap kekuasaan yang semena-mena.

Gedung Mega Eltra di jalan Brigjend Katamso No. 52-54 Medan yang dulu bernama Lindetevis-Stokvis dan kini telah di jual kepada pemilik barunya bernama Suwandi Wijaya dan Edy Johan (Lim Lie Tju) dari PT. Sewangi dihancurkan oleh pemilik baru gedung Mega Eltra dengan bantuan Pasukan Yon Zipur I/BB.

Penghancuran ini ditentang oleh masyarakat, LSM, dan Mahasiswa diantaranya Badan Warisan Sumtra (BWS), Yayasan Komunitas Indonesia Baru (Kibar), Yayasan Pemberdayaan Ekonomi Lingkungan Rakyat (Pekat), Konsorsium LSM-NGOs Sumatera Utara, Yayasan Citra Keadilan (YCK), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Yayasan Lembaga Advokasi Petani (LAP), Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) Sumatera Utara, Laboratorium Kota Jurusan Arsitektur USU, Forum Komunikasi Pengacara-61 (FKP-61), Habitat Seni Lak-Lak, Mahasiswa Jurusan Arsitektur ITM, Pusat Pengekajian Pembangunan Regional (P3R) Sumatera Utara, dan perorangan dari masyuarakat yang bersimpatik kepada masalah gedung bersejarah dan cagar budaya. Akhirnya disepakati bersama oleh LSM/Ornop dan personil yang tergabung untuk bersatu dalam ‘Masyarakat Peduli Bangunan Bersejarah (MPBB)”.

Pelajaran yang sangat berharga, dari kasus penghancuran gedung Mega Eltra dimana Pemko Medan dan DPRD Medan harus segera merevisi Perda Perlindungan Bangunan Bersejarah atau Cagar Budaya sehingga tidak ada lagi penghancuran bangunan bersejarah seperti antor Bupati Deli Serdang (Gedung Kerapatan) jalan Brigjend Katamso, Gedung South East Asia Bank jalan Pemuda, dan Kantor PU Kota Medan di jalan Listrik. Uniknya ketiga gedung ini telah dilindungi (terdaftar) di dalam Perda No. 6 tahun 1988 Pemko Medan namun kini telah hancur semuanya.

Akibatnya, kebingungan melanda setiap masyarakat, bagaimana tidak bingung yang dilindungi saja dihancurkan apa lagi yang tidak dilindungi. Aksi yang dilakukan oleh masyarakat, LSM, dan Mahasisiwa tidak pernah bermaksud menentang pembangunan baru, justru menawaran kerjasama dan sukarela tanpa imbalan apapun untuk penyelamatan gedung bersejarah atau cagar budaya di Kota Medan. Kami berpendapat sebenarnya kecantikan dan keunikan desain bangunan Mega Eltra dapat dijadikan nilai tambah bagi keberhasilan proyek tersebut dari sudut desain dan daya tarik bagi pengunjung. Bukti, ratusan proyek di berbagai belahan dunia telah membuktikan bahwa mempertahankan gedung lama atau wajah lama dan menjadikan bagian dari desain bangunan baru menghemat biaya daripada menghancurkannya, serta menambah nilai estitika, pamor dan keindahan proyek tersebut.

Kemudian aksi ini juga memprotes cara-cara pembongkaran yang dilakukan secara diam-diam tanpa selembar surat izin dari Pemko Medan dan menggunakan tenaga dari prajurit Yon Zipur I/BB merupakan suatu ketidaklaziman yang mengidikasikan bahwa dengan membongkar bangunan tersebut akan mengundang reaksi dari masyarakat walaupun bangunan Mega Eltra belum tercantum di dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 6 Tahun 1988 tentang Perlindungan Bangunan Tua.


KRONOLOGIS PENGHANCURAN GEDUNG MEGA ELTRA

Tanggal 10 September 1999
Badan Warisan Sumatra (BWS) mengajukan permohonan dan masukan tertulis dilengkapi data agar gedung Mega Eltra dilindungi oeh Perda No. 6 Tahun 1988 tentang Perlindungan Bangunan Tua. Namun yang terjadi hingga penghancuran gedung usulan tidak ditanggapi, bahkan dikabaran dokumen yang diserahkan BWS kepada Pemko dan DPRD Kota Medan tersebut telah hilang, bahkan bekasnya pun tidak kelihatan, dengan arti kata lain dokumen usulan BWS tersebut lenyap tanpa bekas di Arsip Negara Pemko dan DPRD Kota Medan.

Tanggal 27 Juli 2001
Kembali BWS menulis surat kepada Walikota Medan, Dinas-dinas terkait dan PT. Mega Eltra mengenai eprihatinan BWS karena gedung Lindetevis Stokvis yang digunakan Mega Eltra tidak terpelihara dengan baik dan BWS menawarkan bantuan berupa masukan agar pemanfaatan gedung Mega Eltra untuk fungsi yang baru tidak harus menghancuran bangunan yang lama karena di bagian beakang gedung masih ada halaman kosong yang reatif luas. Usulan tersebut tidak mendapat tanggapan.

Tanggal 15 Mei 2002
Penghancuran gedung Mega Eltra dimulai dengan pembongkaran atap bangunan yang dilakukan oleh para prajurit Yon Zipur I/BB. EWS mencari data mengenai penghancuran gedung Mega Eltra kepada berbagai pihak melalui telepon, kunjungan dan kontak-kontak intensif lainnya.

Tanggal 16 Mei 2002
Ditempat yang lain, Yayasan Komunitas Indonesia Baru (Kibar) dan Konsorsium LSM-NGOSs Sumatera Utara mengadakan diskusi khusus dan dihadiri beberapa rekan wartawan dari media terbitan kota Medan, antara lain Harian Umum Perjuangan, Medan Pos, dan Portibi DNP. Acara diskusi di secretariat Konsorsium LSM-NGOs Sumatera Utara, jalan Teratai No. 26 Medan membicarakan penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 17 Mei 2002
Harian Umum Perjuangan memberitakan penghancuran Gedung Mega Eltra.

Tanggal 18 Mei 2002
Kembali Harian Perjuangan dan Portibi DNP memberitakan penghancuran Gedung Mega Eltra hasil dari Diskusi. Dan rekan-rekan dari Yayasan Kibar serta Konsorsium LSM-NGOs Sumatera Utara mencoba mencari data-data tentang gedung Mega Eltra kepada rekan-rekan LSM/NGO lainnya seperti FKP-61, Yayasan Citra Keadilan dan Yayasan Pemberdayaan Ekonomi Lingkungan Rakyat (Pekat). Hasil yang diperoleh adalah saran untuk menghubungi rean-rekan di Badan Warisan Sumatra (BWS) yang secara khusus menangani Bangunan Bersejarah dan Bangunan Cagar Budaya. Yayasan Kibar menghubungi BWS melalui telepon dan di sepakati untu melakukan pertemuan lanjutan.

Tanggal 20 Mei 2002
Bertemunya rean-rekan LSM di Konsorsium LSM-NGOs Sumatera Utara, dan disepaati untuk melakukan penekanan public ke Pemko dan DPRD Medan tentang Gedung Mega Eltra.

Tangga 21 Mei 2002
BWS mengeluarkan pernyataan sikap mengenai penghancuran gedung Mega Eltra. Dan mulai menerma banyak telepon dan email dari warga ota Medan maupun kota-kota lain di Indonesia yang menyatakan keprihatinan terhadap penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 22 Mei 2002
Kembali Harian Waspada memberitakan penghancuran gedung Mega Eltra dan Pemko Medan berbicara melalui Bagian Humas. Drs. H. Arlan Nasution, mengatakan bangunan Mega Eltra tersebut tidak tercantum dalam daftar bangunan yang dilindungi. Seluruh bangunan yang bernilai sejarah Arsitetur keperbukalaan, itu memang jelas dilindungi. Tetapi jika tidak masuk dalam daftar bangunan bernilai sejarah, boleh-boleh saja diaihkan kepada pihak ketiga misalnya, Pemko Medan tidak mencampuri terlalu jauh. Demikian siaran pers Pemko Medan.

Tanggal 23 Mei 2002
Kembali Portibi DNP mengeluarkan berita tentang penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 24 Mei 2002
Harian ompas terbitan Jakarta memberitakan penghancuran gedung Mega Etra.

Tanggal 27 Mei 2002
BWS mengirim surat kepada Gubernur Sumatera Utara dan Walikota Medan mengenai penghancuran gedung Mega Eltra. Dan melakukan hubungan telepon untuk membuat janji bertemu dengan pihak pemilik baru gedung Mega Eltra yang telah dijual PT. Mega Eltra kepada Suwandi Wijaya dan Edy Johan (Lim Lie Tju) dari PT. Sewangi Surya Permai di Medan, namun ditolak. Kemudian BWS minta bantuan Perhimpunan Indonesia Tiongha (INTI) Sumatera Utara untuk menjadi mediator membicarakan masalah penghancuran gedung Mega Eltra dengan pihak pemilik. BWS membuat petisi dengan mengumpulan tanda tangan dari warga kota Medan yang menolak penghancuran Gedung Mega Eltra. Dan harian Portibi DNP memberitakan penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 28 Mei 2002
BWS mengirim surat kepada harian Anilisa dan Medan Bisnis mengenai penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 29 Mei 2002
Direktur Eksekutif BWS bertemu dengan Pemimpin perushaan harian Medan Bisnis mengenai penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 30 Mei 2002
Kembali BWS bertemu dengan Pemimpin Redaksi Harian Analisa. Dan Direktur Eksekutif BWS diwawancarai oleh Reporter Kiss FM mengenai penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 31 Mei 2002
BWS kembali mengirim surat kepada pihak pemilik meminta agar pemilik menyelamatkan Fasade atau bagian depan gedung Mega Eltra. Dan Direktur Eksekutif BWS kembali di wawancarai oleh Reporter Radio Prapanca FM, serta BWS bertemu dengan rekan-rekan di Yayasan Kibar dan Konsorsium LSM-NGOs Sumatera Utara di Jalan Teratai No. 26 Medan.

Tanggal 2 Juni 2002
BWS diwawancarai Radio Sonya FM mengenai gedung Mega Eltra. Dan dikantor BWS telah hadir rekan-rekan LSM, antara ain Habitat Seni Lak-lak, Yayasan Kibar, Yayasan Citra Keadilan, Jurusan Arsitektur USU, dan IAI Sumut. Hasil rapat ini menegaskan untuk segera menggelar aksi jalanan yang damai, tetapi sebelumnya telah disepakati untuk menggelar konfrensi pers. Oleh Direktur Eksekutif BWS menghubungi via telepon Bang Arbain (Koordinator Harian Kompas di Medan) untuk memperoleh fasilitas pertemuan, dan oleh Bang Arbain di izinkan untuk menggelar konfrensi pers di kantor Harian Kompas Medan, jalan K.H. Wahid Hasyim Medan. Akhirnya konfrensi pers dapat dilaksanakan dari jam 16.00 s.d. 17.30 WIB dan dihadiri oleh para jurnalis harian terbitan Medan dan Jakarta, serta Reporter dan kameramen televise dan radio di Medan dan Jakarta. Dalam acara tersebut, terjadi juga dialog antara jurnalis dan LSM yang hadir tentang tindak lanjut penyelamatan gedung Mega Eltra secepat dan sesegera mungkin. Dan disepakati besok untuk Aksi Damai ke DPRD Medan serta Long March ke Gedung Mega Eltra jalan Brigjend Katamso No. 52-54 Medan. Terpilihah Manajemen Aksi Damai besok, sebagai Koordinator Aklsi Efrizal Adil (Yayasan Kibar), Koordinator-Koordinator lapangan masing-masing satu orang dari lembaga/Ornop yang bergabung dalam aksi, untuk logistic ditangani oleh Azhari Yamani, Muhammad Darmawan, dan Era Purike (BWS), Kronologis Aksi ditangani oleh Syofyan (Yayasan Pekat), Kurir Aksi dipercayakan kepada Muslim (Yayasan Pekat), sedangkan Tim Delegasi adalah Hasti Tarekat, Azhari Yamani, Muhammad Darmawan (BWS), Efrizal Adil dan Zukifli Pelly (Yayasan Kibar), Marjoko (Yayasan Citra Keadian), dan satu orang dari utusan Mahasiswa Arsitektur USU, serta dua orang dari utusan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan. Perlengkapan aksi yang tersedia berupa spanduk, news letter, poster, toa, dan lainnya. Dan pada hari ini juga kelompok LSM, Ornop dan Mahasiswa ini menamaan dirinya “Masyarakat Peduli Bangunan Bersejarah” atau disingkat dengan “MPBB”.

Tangga 3 Juni 2002
Aksi Damai dan Long March di mulai dari Gedung DPRD Medan tepat pada jam 10.00 WIB. Aksi demonstrasi ini mendapat tanggapan secara spontanitas dari DPRD Medan dan tim delegasi di terima langsung oleh Ketua DPRD Medan H. Tom Adlin Hajar, Wakil Ketua H. Syahdansyah Putra, Ketua Fraksi PDI-P DPRD Medan O.K. Azhari, Sekretaris Dewan dan Ketua Komisi D DPRD Medan. Pada pertemuan tersebut Ketua DPRD Medan melalui Hand Phone menghubungi Suwandi Wijaya, Dinas Tata Kota dan Bangunan, Dinas Penertiban dan beberapa pejabat Pemko Medan. Diakhir pertemuan Ketua Dewan berjanji akan memanggil pemilik gedung baru Mega Eltra, serta Pemko Medan untuk dengar pendapat serta menghentikan penghancuran Gedung Mega Eltra. Pada hari ini Walikota Medan sedang berada di Bali, Wakil Waikota Medan di Jepang dan Sekretaris Daerah Pemko Medan juga diluar kota. Dan atas desakan tim delegasi untuk mengajak Ketua dan anggota dewan terhormat untuk aksi long march ke Gedung Mega Eltra pada hari ini, namun Ketua DPRD Medan menegaskan bahwa besok akan turun ke lokasi penghancuran gedung Mega Eltra bersama komisi D dan komisi A DPRD Medan. Dan terungkap juga berkas pengajuan revisi Perda No. 6/1988 dari BWS kepada DPRD Medan (diserahkan pada tahun 1999 yang lalu) tidak ada, bahkan Sekwan DPRD Medan berdalih dalam pembelaan dirinya. Aksi dilanjutan dengan Long March dari DPRD Medan menuju Gedung Mega Eltran (lebih kurang 10 Km). Sepanjang perjalanan peserta aksi membagi-bagikan news letter. Sesampai di Lokasi Gedung Mega Eltra para pekerja (Yonif I/BB) menghentikan aktivitas mereka dan membiarkan peserta aksi memasuki gedung yang mulai dihancurkan, keutuhan gedung tingga 70%.

Tanggal 4 Juni 2002
Kembali Harian Analisa, Detik.com, Komatkamit.com, SIB, Waspada, Mediator, dan liputan di Radio Prapanca FM, Kiss FM, Sonya FM, serta berita di Metro TV dan TPI tentang penghancuran Gedung

Tanggal 5 Juni 2002
Akhirnya DPRD Medan yang diwakili oleh Komisi A, dan Komisi D; disertai jajaran Pemko Medan (Dinas Tata Kota & Bangunan, Penertiban, dan Bappeda) langsung turun kelokasi. Tim MPBB telah hadir lebih dahuu dilokasi (Hasti Tarekat dan Muhammad Darmawan). Bapak Letkol B.N. Tanjung dari Fraksi TNI/Polri meminta kepada Komandan Lapangan Triyanto untuk menhentikan penghancuran, namun dilapangan pekerjaan penghancuran terus berlanjut (disaksikan oleh anggota Dewan). Jawaban Komandan Lapangan adalah ‘penghentian penghancuran akan di laksanakan apabila ada surat dari Pemko Medan. Oleh anggota Dewan ditanyakan surat izin pembongkaran gedung atau surat-surat izin lain yang berkenaan dengan penghancuran gedung Mega Eltra. Oleh Komandan lapangan dan Petugas dari PT. Sewangi Surya Permai tidak dapat dilihatkan atau tidak memiiki selebar surat apa pun untuk pembongkaran dan penghancuran gedung Mega Eltra. Jawaban mereka adalah “Kami disini atas perintah Komandan”. Selepas kunjungan langsung Tim MPBB melakukan aksi duduk di lokasi gedung Mega Eltra (Hasti Tarekat, R. Hendy Handoyoko, Efrizal Adil, Alfarobbi, Irwansyah Putra, Muhammad Darmawan, dan Azhari Yamani), dan aksi ini membuahkan hasil yang baik, terbukti para pekerja dan prajurit tidak melakukan aktivitas penghancuran gedung Mega Eltra. Pada saat kunjungan anggota dewan dihalaman gedung terihat alat-alat berat berupa Scopel dan beko milik Yon Zipur I/BB. Diluar gedung banyak para wartawan, reporter dan aktivis LSM/NGO yang hadir di lokasi Mega Eltra untuk memberi dukungan moral kepada Tim MPBB dalam aksi duduk.

Tanggal 6 Juni 2002
Aksi duduk terus dilanjutkan (Hasti Tarekat, Muhammad Darmawan, dan lima orang mahasiswa Arsitektur ITM Medan) terutama niat dan tekad yang kuat dari Hasti Tarekat yang secara psikologis dilakukan tindakan-tindaan terror dari pekerja seperti dengan sengaja meletakkan sisa pecahan batu bata gedung di depan Hasti Tarekat dan kawan-kawan sedang duduk, serta sorak dan tepuk tangan dari para pekerja apabila berhasil merubuhkan bangunan dengan bantuan scopel dan beko Yon Zipur I/BB. Tangis , khawatir akan jiwa, waspada akan terror, dan kesal saling berkecamuk di dalam hati Tim MPBB saat itu. Dan pagi ini juga sebagian tim MPBB melakukan penekanan kepada DPRD Medan dan diterima oleh Wakil Ketua DPRD Medan H. Syahdansyah Putra beserta Sekwan, C.P. Nainggolan, dan Komisi A di ruang kerja Wakil Ketua. Tim MPBB (Efrizal Adil, Abdul Manan M. Lubis, Syofyan, dan Muslim) meminta kejelasan Surat Penghentian Pembongkaran Gedung Mega Eltra seperti janji Ketua Dewan akan meminta Pemko Medan mengeluarkan Surat Penghentian pembongkaran. Menurut Sekwan DPRD Medan telah meayangan surat pemanggilan kepada Suwandi Wijaya dkk, dan oleh pihak Suwandi Wijaya telah dibalas surat pemanggilan tersebut melalui Kuasa Hukumnya ‘Refman Basri, SH, MBA., yang isi suratnya menyatakan bahwa Suwandi Wijaya tidak berada di Medan dan tidak dapat memenuhi panggian DPRD Medan. Kemudian Tim MPBB menelusuri surat penghentian tersebut sampai ke Kantor Walikota Medan, dan hasilnya tetap saja tidak ada.

Tanggal 7 Juni 2002
Tim MPBB (Hasti Tarekat, M. Darmawan, Azhari Yamani, Zulkifli Pelly, Era Purike, Efrizal Adil, Syofyan, Muslim, Herry Abdianto, dan dua orang rekan dari LBH Medan serta tiga orang mahasiswa Arsitektur ITM) kembai pagi ini menemui Wakil Ketua DPRD Medan H. Syahdansyah Putra. Dari pembicaraan tersebut arahnya kembali ke Pemko Medan. Maka Tim MPBB melangkahkan kaki menuju kantor Walikota Medan. Diterima oleh Staff Humas Pemko Medan, serta diperoleh informasi bahwa surat penghentian dimaksud sudah siap sejak hari Kamis (6/6). Dan terjadi dialog antara staff Humas dengan Bapak Yusar (Kadis Penertiban Pemko Medan) yang disaksikan Tim MPBB, tetapi diketahui bahwa surat tersebut masih di tangan Sekretaris Daerah pemko Medan. Sedangkan Pihak Dinas Penertiban belum memperoleh surat tersebut sehingga belum dapat diserahan kepada Pemilik gedung Mega Eltra. Akhirnya, tepat jam 17.00 WIB Kadis Penertiban drs. Yusar yang dihubungi melalui Handphone oleh Hasti Tarekat menyatakan bahwa surat penghentian pembongkaran gedung Mega Eltra sudah beliau terima dan saat ini staff Dinas Penertiban sedang menuju ke Lokasi Gedung Mega Eltra, apabila pihak MPBB berkeinginan menyaksikan silahkan langsung lihat penyerahan surat tersebut. Lebih kurang 30 menit staff Dinas Penertiban dan Tim MPBB (Hasti Tarekat, M. Darmawan, Efrizal Adil, Alfarrobi, dan Zulfi Anhar) menunggu kehadiran pemilik gedung baru Mega Eltra, dan sebelumnya Staff Dinas Penertiban ingin masuk ke lokasi gedung namun pintu tidak dibuka sama sekali oleh pegawai PT. Sewangi Surya Permai. Dan tidak lama kemudian hadir kuasa hukum PT.

Efrizal Adil Lubis
efrizal@ayhoo.com

Selasa, 17 Agustus 2010

RADIO ALAT KAMPANYE EFEFTIF

Iklan Radion

Karena ketidak adanya akses dan keterbatasan pengguna telepon selular maupun telepon kabel di desa, maka dipergunakan kupon radio yang diberi nama ”kupon Mandiri” yang disebarkan oleh pengurus kelompok UBSP di kedai kopi, warung, dan tempat-tempat strategis lainnya. Kupon ini dijual, dengan harga Rp. 500,- per lembar, uang hasil penjualan kupon akan masuk kedalam uang kas kelompok UBSP.

Didalam kupon terdapat permintaan lagu dan pesan/kesan mereka terhadap kondisi desa dan hutan sekitar mereka, umumnya kupon yang telah ditulis oleh masyarakat petani, akan dikumpulkan oleh pengurus kelompok UBSP, sembari mengambil uang pembelian kupon kepada pemilik kedai kopi, warung dan tempat lainnya. Setelah terkumpul, pengurus kelompok UBSP tersebut menyerahkan kepada pemandu desa yang sudah terlatih. Bersama staff lapangan Yayasan Pekat, pemandu desa akan mengantar kupon-kupon yang telah terisi tadi ke Radio FM Burhanuddin Padang Sidempuan, jarak tempuh dari desa ke stasiun radio membutuhkan waktu 4 jam lebih, dan memakai kenderaan sepeda motor.

Beragam pendapat masyarakat terhadap pesan dan kesan mereka terhadap ekonomi dan konservasi, namun diakhir-akhir program terlihat harapan besar masyarakat desa terhadap baiknya hutan mereka, disamping dalam beberapa bulan yang lalu terjadi longsor dan banjir bandang di beberapa desa tetangga mereka, sehingga isi pesan lebih kepada permintaan menyelamatkan hutan sebagai sumber air dan penahan erosi, serta rumah bagi berbagai keanekaragaman hayati, khususnya terhadap orangutan sumatera di desa mereka yang telah begitu mereka ketahui menjadi sorotan dunia Internasional.

Dalam satu minggu pemandu desa dan staff lapangan Yayasan Pekat bisa mengumpulkan 50-100 lembar kupon mandiri, dan menyerahkan kepada penyiar radio FM Burhanuddin Padang Sidimpuan untuk dibacakan, oleh penyiar radio kupon ini tidak masuk dalam acara khusus mereka, tetapi bisa saja kupon ini dibaca dipagi hari, siang, atau malam hari, sesaui dengan jadwal acara permintaan lagu program radio iru sendiri. Secara tidak langsung petugas radio membacakan pesan yang ada di kupon dan di dengar oleh berbagai lapisan masyarakat sesaui dengan jangkauan siaran radio ini, jadi tidak terbatas hanya di 4 desa target dalam proyek ini. Dan menariknya lagi di dalam KAP Survei awal diketahui bahwa untuk hiburan dan informasi, radio dikalahkan oleh Televisi, tetapi setealh program ini berjalan radio merupakan saingan berat dari televisi untuk hiburan dan informasi di desa-desa target proyek ini.

Dikusi Radio

Harapannya adalah kampanye akan bekerja sama dengan stasiun radio FM Baharuddin Padang Sidempuan untuk menyelenggarakan acara telepon interakatif. Acara ini akan digunakan untuk menyediakan informasi tambahan dan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan para pendengar terutama dalam masalah pertanian dan perkebunan masyarakat petani. Pada akhirnya setelah dilakuakn KAP Survei dan diskusi dengan masyarakat petani, diketahui bahwa signal telekomunikasi selular di 4 desa target tidak ada dan penggunaan atau yang memanfaatkan telepon selular bisa dihitung hanya beberapa orang saja dan dipergunakan pada tempat-tempat tertentu di desa.

Tim kerja Kampanye Bangga Yayasan Pekat melakukan diskusi dengan Program Project Manager (PPM) RARE di Bogor, akhirnya diputuskan untuk memanfaatkan radio dalam melakukan diskusi kelompok dan masyarakat petani lainnya. Program radio ini dimaulai dengan menyiarkan terlebih dahulu rekaman wawancara staff lapangan dengan masyarakat petani tentang permasalahan pertanian, perkebunan, kesehatan dan lingkungan sekitar mereka, 2-3 hasil wawancara tadi dipilih yang dari persoalan yang terbanyak kasusnya, kemudian hasil rekaman wawancara tersebut (direkam dalam taperecorder mini) kembali diperdengarkan dengan ahli (sebagai panelis) sesuai dengan bidangnya di kota Medan, kemudian tim kerja kampanye bangga meminta kepada ahli untuk menjawabnya serta memberikan beberapa saran, masukkan dan contoh-contoh keberhasilan ditempat lain, serta beberapa contoh kegagalan yang hampir sama dengan permasalahan yang ada didesa. Semua pembicaraan dengan panelis direkam dalam taperecorder mini, hasil pembicaraan dengan panelis dan wawancara dengan masyarakat petani tadi kemudian di edit dalam komputer (laptop; dengan program Adobe Audition 1,5. Hasil rekaman tersebut di masuk kedalam CD dan diserahkan kepada Radio FM Baharuddin Padang Sidempuan untuk diputarkan pada hari tertentu yang telah disepakati bersama anggota kelompok dan masyarakat petani lainnya.

Pendengar radio adalah anggota kelompok dan beberapa masyarakat petani yang hadir di salah satu rumah anggota kelompok UBSP. Sebelum berkumpul, staff lapangan dan pengurus kelompok membuat pengumuman di papan publikasi desa tentang rencana ’diskusi radio’ yang diselenggarakan tanggal, waktu, dan tempat keberadaan diskusi serta materi diskusi minggu ini. Setelah anggota kelompok dan masyarakat petani lainnya berkumpul, maka tim kerja kampanye bangga membagikan lembar fakta yang isinya berkaitan dengan materi diskusi, lembar fakta adalah tambahan informasi tentang kaitan pertanian dan konservasi, hal ini selalu diutamakan dalam lembar fakta tersebut.

Pertama, radio akan menyiarkan ILM radio, kemudian dilanjutkan dengan hasil rekaman wawancara dengan angota masyarakat petani (2-3 wawancara pendek), yang diungkapkan adalah permasalahan,baru selanjutnya rekaman dengan panelis, 5 menit kemudian siaran dari panelis dihentikan, penyiar radio membacakan perminta lagu dari masyarakat petani (dari kupon mandiri), hanya 1 lagu saja, kemudian lanjutan pembicaraan rekaman panelis dilanjutkan, 5 menit kemudian permintaan lagu dari kupon mandiri dibacakan kembali, dan cukup 1 lagu saja. Kemudian dilanjutkan dengan pembicaraan rekaman panelis tadi. Biasanya pembicaraan panelis direkam hanya 15 menit, saat pemutaran lagu, staff lapangan meminta kepada anggota kelompok dan masyarakat petani yang mendengar untuk mencatat hal-hal penting yang didengar atau persoalan apa yang tidak dipahami dari siaran tersebut. Dan begitu selesai pembicaraan panelis di radio, maka dilanjutkan dengan, pengumuman tentang topik minggu depan dan di iringi dengan hasil wawancara dengan masyarakat petani mengenai permasalahn mereka untuk topik minggu depan.

Dengan berakhir mendengar radio tersebut, maka diskusi dilanjutkan dengan dipandu oleh staff lapangan dan pemandu lokal yang telah dilatih sebelumnya, diskusi berlangsung dengan memakai metode ORID, bila beberapa pertanyaan tidak dapt dijawab dalam diskusi ini, maka dalam lembaran khusus akan dicatat dan dibawa kembali ke panelis, pada pertemuan selanjutnya akan dijawab dalam lembaran fakta.

Demikian suasana diskusi dengan memakai media radio, hal ini dipergunakan karena jarak tempuh desa yang jauh dan akses komunikasi selular tidak ada. Sehingga jangkauan radio sangat menguntungkan untuk menyebarkan pengetahuan dan informasi.

Bogor, 17 Agustus 2010; Efrizal Adil

Sabtu, 14 Agustus 2010

LATAR BELAKANG HUTAN BATANG TORU BLOK BARAT


Kawasan hutan Ekosistem Batang Toru Blok Barat secara administrasi terletak pada tiga kabupaten, yaitu Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah. Secara geografis terletak antara 980 50’ 27 - 990 18’ Bujur Timur dan 100 26’ - 100 56’ Lintang Utara. Kawasan ini merupakan kawasan yang kaya akan keanekaragaman hayati dan beberapa spesies penting untuk dilindungi. Kawasan ini merupakan habitat bagi setidaknya 67 jenis mamalia, 287 jenis burung, 110 jenis  herpetofauna dan 688 jenis tumbuhan. Desa yang masuk ke dalam kawasan DOLOK SIBUALBUALI DAN DOLOK LUBUK RAYA DI KAWASAN HBTBB ini secara administrasi masuk ke dalam Kelurahan Wek I, Kecamatan Batang Toru, Tapanuli Selatan. Desa ini berpenduduk berkisar 30 – 40 KK, dimana sebagian besarnya adalah masyarakat Nias. Masyarakat desa di sini hampir seluruhnya berprofesi sebagai petani, dimana masyarakat membuka wilayah hutan dengan tujuan menjadikannya sebagai kebun karet dan kebun tanaman palawija, seperti: cabai, terung, ubi kayu, dan lain sebagainya.
Nama “Batang Toru” jika diterjemahkan secara bebas berarti “Sungai yang di  dawah”. Penduduk di Pahae menyebutnya dengan nama tersebut karena posisi dari aliran sungai ini berada di bawah (jurang yang dalam dan curam) daripada daerah tersebut.
Kawasan hutan alam di DOLOK SIBUALBUALI DAN DOLOK LUBUK RAYA DI KAWASAN HBTBB merupakan suatu kawasan transisi biogeografis antara kawasan biogeografis Danau Toba Bagian Utara dan Danau Toba Bagian Selatan. Terjadinya kawasan transisi biogeografis ini kemungkinan disebabkan oleh kekuatan tektonik dan letusan Gunung Berapi Toba pada 150.000 tahun yang lalu. Bukan hanya sungai saja, di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru telah terbentuk penghalang karakter ekologis lainnya (ecological barrier), seperti pegunungan yang tinggi, perbukitan, habitat yang spesifik (rawa dan danau) serta tingkat perbedaan intensitas penyinaran matahari pada wilayah basah dan kering.
Kondisi transisi ini mengakibatkan kawasan memiliki keunikan dan keragaman hayati yang tinggi. Hal ini terlihat dari fenomena dimana pada kawasan ini dapat dijumpainya fauna dari kawasan biogeografis Danau Toba Bagian Utara (seperti: Orangutan Sumatera (Pongo abelii) maupun Danau Toba Bagian Selatan (seperti: tapir Sumatera (Tapirus indicus) dan kambing hutan Sumatera (Capricornis sumatraensis) Kawasan hutan alam DOLOK SIBUALBUALI DAN DOLOK LUBUK RAYA DI KAWASAN HBTBB memiliki beberapa tipe ekosistem mulai dari ekosistem dataran rendah, perbukitan hingga pegunungan. Variasi habitat yang ada di kawasan ini merupakan ekosistem yang masih asli dan relatif utuh, seperti perwakilan ekosistem hutan hujan dataran rendah dan perbukitan (300 meter dpl), hutan batuan gamping (limestone), hutan pegunungan rendah dan hutan pegunungan tinggi di Puncak Gunung Lubuk Raya (1856 dpl).
Didalam Project Pride Campaign Rare ini, lokasi project direncanakan pada Kecamatan Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan. Dengan cakupan luas wilayah administrasi 289.35 Km², serta jumlah penduduk sebesar  9.097 Jiwa, dan 32 desa di kedua kecamatan tersebut diatas.