Rabu, 23 Februari 2011

SUNGAI DELI JAMAN DULU


Tanah Karo, di lau Simeme, kalau tidak
salah jembatan ini masih ada,
lokasinya dibelakang lokasi
Rehabilitasi Korban Narkoba (GAN),
Sibolangit.


Foto ini di Deli Tua

Foto di Gedung Johor

Foto di Medan Labuhan

Pembukaan Jalan disekitar Sungai Deli

Foto Medan Labuhan         







JALUR KERETA API DI SUNGAI DELI, KAMPUNG BARU, MEDAN











Foto Jembatan Kereta Api Jalan Brigjend Katamso Gg. Perbatasan (Gedung Johor)
Tertulis tahun 1885

Foto : Deffian Syaiful & Syahrum Lubis
Dibuat oleh : Efrizal Adil Lubis
Medan, 22 Februari 2011

Selasa, 22 Februari 2011

FOTO MESJID JAMI' KAMPUNG BARU, BERDIRI TAHUN 1915

























Foto ini diambil pada tanggal 22 Februari 2011
Lokasi : Jalan Brigjend Katamso Gg. Mesjid, Kampung Baru, Medan Maimun
Foto : Deffian Syaiful & Syahrum Lubis

Dibuat oleh : Efrizal Adil Lubis

Kamis, 17 Februari 2011

MENJADI BURUH DITANAH SENDIRI



Pada hari Kamis, 27/1/2011, sore hari, di desa Sikara-kara Kampung, Kecamatan Natal, kabupaten Mandailing Natal (Madina). Staff lapangan yayasan PEKAT berkunjung ke desa dan menemui kelompok ibu-ibu yang sedang bersantai disalah satu rumah warga, dan dialog ini berlangsung :

Syahrul       :   Bu, lusa kita buat pertemuan ya..? bisakan?

Ibu-Ibu       :   tidak bisa pak…, kami masih kerja di kebun PT…., nanti upah kami dipotong mereka…
Syahrul       :   baiklah kalau begitu, kita cari waktu yang tepat saja….
Ibu-Ibu       :   beginilah pak, nasib kami jadi buruh kebun, yang tadinya tanah itu kepunyaan kami.., tetapi     
                      kini sudah jadi milik perusahaan…. Itu..
Syahrul         : Waduh bu…., kenapa bisa seperti itu?
Ibu-Ibu         : Bapak ini, macam tak tau sajalah!….. tentu saja kami jual, buat modal dan keperluan rumah 
                      tangga kami…!
Syahrul         : Iya bu, bukan saya tidak tahu, tapi perlu kejelasan saja….
Ibu-Ibu         : Begini pak, dulu orang-orang sini yang bekerja di perusahaan datangi kami, katanya jual saja 
                      tanah kami ini, nggak usah payah-payah mengolah kebun lagi, karena bekerja di perusahaan 
                      ini lebih untung dan sudah pasti dapat duit setiap minggu…
Syahrul         : terus bu….
Ibu-Ibu         : Iya lah pak!..., siapa yang tidak tertarik..??? orang dibilangnya dapat duit setiap minggunya    
                      pak…
Syahrul         : iya betul bu, tetapi tidak terpikir oleh ibu dapat duit itu dengan cara apa??... mana mungkin 
                      dapat duit kalau tidak bekerja atau ibu menjual kelapa, semangka atau apalah namanya…..
Ibu-Ibu         : memang dibilang orang-orang itu, kami dikasih pekerjaan, kerjanya mendodos sawit 
                      (mengambil buah kelapa sawit dengan kayu panjang)… jadi itukan pekerjaan enak pak…. 
                      Memang tidak terpikir oleh kami mendodos sawit dalam sehari ratusan pohon…. Tak 
                      terbayang pak capeknya….
Syahrul         : Sudahlah bu, semua telah terjadikan…, jadi kapan kita bisa buat lanjutan pertemuan 
                      kelompok kita, nanti kita bahas kembali masalah ini dengan menemukan usaha yang tepat bagi 
                      kita semua…, bagaimana bu?
Ibu-Ibu         : bisalah pak!, bagaimana kalau hari minggu malam saja kita kumpul semua?
Syahrul         : baiklah bu, kalau saya ditanya, saya setuju saja…., jadi saya datang jam 15.00 Wib, dirumah 
                      ibu kan?
Ibu-Ibu         : iya pak, kami kumpul disini semua…. Oh ya pak, bapak bisa bilangkan juga dengan ibu 
                      kades, kalau pulang nanti bapak lewat rumahnya…, bisakan pak? Sampaikan rencana 
                      pertemuan kita ini, biar ibu kades juga datang…
Syahrul         : bisa bu, kalau begitu, saya permisi dulu bu… Assalammualaikum….
Ibu-Ibu         : Wa’alaikumsalam…..

Dalam perjalanan kembali ke rumah, terbayang oleh ku perasaan mengerikan terbayangkan di kepala ini, bagaimana tidak, kini warga desa umumnya sudah tidak memiliki tanah untuk berkebun atau bersawah. Tanah kebun dan sawah milik mereka kini telah terjual kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit. Dan kini mereka menjadi pekerja di kebun tersebut.

Terbayang oleh ku kata-kata seniorku, yang mengatakan “jangan menjadi buruh ditanah sendiri”. Akhirnya kini aku melihat sendiri dan mendengar sendiri warga desa Sikara-kara Kampung mengalami apa yang dikatakan seniorku itu…, mereka kini menjadi buruh di tanah sendiri…


Natal, 29 Januari 2011, Syahrum Lubis, Yayasan PEKAT

ASPIRASI YANG TIDAK TERBAYAR

Desa Sundutan Tigo  dalah salah satu dari desa terujung di kecamatan Natal, dan berbatasan langsung dengan kecamatan Muara Batang Gadis yang mana perbatasan desa dengan kecamatan di pisahkan oleh sungai kecil, topografis  desa Sundutan Tigo terdiri dari daerah pesisir pantai, sungai dan dataran tinggi. Kawasan  dataran tinggi banyak di kelola oleh perkebunan swasta dan pertanian warga, perkebunan yang ada di desa Sundutan Tigo pengelolaanya meliputi perkebunan swasta dan perkebunan masyarakat.  Sementara sumber mata pencaharian yang di hasilkan masyarakat desa terdiri dari nelayan bagi masyarakat yang berada di derah pesisir pantai, bertani serta berkebun bagi masyarakat yang berada di daerah dataran tinggi.  

Untuk para nelayan  Jenis kapal yang di pergunakan dalam mencari ikan relatif kecil yang berkapasitas 1 sampai dengan 2 ton bahkan masih ada  masyarakat mempergunakan perahu kecil  dalam mencari ikan di laut, hal ini membuat penghidupan masyarakat di sekitar pesisir perekonomianya masih relatif rendah,  berbeda dengan para nelayan yang mempunyai kapal dengan kapasitas 5 sampai di atas 10 ton tentu hasil yang di dapati jauh lebih mencukupi.
Untuk menambah perekonomian masyarakat di desa Sundutan Tigo mengantungkan hidup dari bersawah dan berkebun, mayoritas perkebunan yang ada di desa sundutan tigo adalah kebun sawit, selebihnya pertanian lahan basah



Hasil pertemuan yang dilakukan melalui lokakarya desa model konsep, di ketahui akar permasalahan yang ada di desa Sundutan Tigo, kecamatan Natal bahwa banyak lahan yang ada di desa khususnya perkebunan adalah milik orang luar hanya sebahagian kecil perkebunan yang ada milik masyarakat, hal ini terlihat kehidupan di masyarakat semakin terjepit, disebabkan banyaknya pengelolaan kebun di kerjakan dari pihak luar baik sekala besar yang di tangani perusahaan swasta maupun perorangan, hal ini terlihat banyaknya para pendatang yang mempergunakan mobil-mobil mewah, yang datang dikecamatan itu untuk melihat dan meninjau kondisi kebun milik mereka, sementara untuk pengerjaannya dilakukan oleh masyarakat di sekitar desa.

Sepintas sangat miris bila kita perhatikan dengan apa yang menimpa masyarakat desa saat ini menjadi pelayan ditanah sendiri, Ironisnya masyarakat menyadari semua itu tetapi mengingat tuntutan hidup dan janji-janji manis para calo lahan akhirnya masyarakat lebih terjebak dalam jurang kemiskinan karena tidak ada lagi lahan yang harus di manfaatkan untuk di kelola.
Sesal kemudian kini tiada berguna itulah yang menimpa sebahagian dari masyarakat yang tanahnya telah terjual, untuk bekebun tanah sudah tak punya akhirnya menjadi pekerja di perkebunan milik orang lain. Belum selesai dengan apa yang barusan menimpa masyarakat desa kini timbul permasalahan baru dimana sungai yang dulunya sebagai sumber pengairan sawah masyarakat kini kini  semangkin menyempit sehingga sungai yang selama ini yang di harapkan masyarakat untuk mengairi sawah telah berkurang. 



Hal ini dikarena tidak terkontrolnya pihak pengelola yang meperluas lahan perkebunan sehingga mencapai pinggiran sungai, Polemik yang terjadi di masyarakat saat ini  adalah sejauh mana batasan dan keabsahan jual beli lahan yang sedang di kelola oleh investor sehingga masyarakat menduga adanya penyerobotan lahan di luar dari batas-batas yang sudah di tentukan, masyarakat tidak dapat berbuat banyak mengingat si pengelola lahan   adalah orang yang berpengaruh di kabupaten MADINA. 

Masyarakat berharap adanya orang yang dapat menyampaikan aspirasi mereka untuk memperjelas status lahan yang dalam pekerjaan karena masyarakat meyakini lahan tersebut belum diperjual belikan, dan sungai yang tadinya besar kini menjadi kecil sehinga masyarakat kekurangan dalam mengairi sawahnya.
 
Dan untuk memperlebar sungai seperti semuala,  pihak pengelola merasa keberatan, dan masyarakat harus telebih dahulu mendapatkan izin kepada si pengelola, adapun putra daerah yang mampu untuk menjadi mediator dalam permasalahan ini, bahkan mejabat sebagai anggota dewan malah menjadi tangan kanan di perusahan itu membuat masyarakat menjadi bingung untuk menyampaikan aspirasi, kalaupun ada aspirasi tersampaikan hanya sebatas ke kantor camat, demikianlah sekelumit tentang dinamika hidup di desa Sundutan Tigo dengan potensi sumberdaya alam yang melimpah dapat menjadi sumber alternatif peningkatan ekonomi masyarakat. Apa lagi potensi pesisir pantainya bisa menjadi nilai ekonomis, menjadi tujuan wisata.



Medan, 17 Februari 2011, Deffian Syaiful, Yayasan PEKAT

CATATAN HARIAN : KETIKA BENCANA MENGHAMPIRI



 Hari Sabtu ini (29/1), sejak pagi hingga sore ini cuaca memang mendung, awan terlihat gelap dan bergumpal-gumpal, gelombang  ombak tidak tinggi tetapi deburan serasa semakin sering. Namun, cuaca ini aku anggap biasa saja, sama halnya dengan hari-hari lalu. Kopi panas yang disuguhkan pak Raya, serasa nikmat, sangat terasa di langit-langit mulut ini, dan tanpa ampun langsung menerobos tenggorokan. Betapa nikmat kopi kampong. Dulu menurut pak Sidi, kopi-kopi banyak dikampung ini, datang dari gunung, tepatnya dari Batang Natal, pedagang sudah ramai di muara ini untuk membeli kopi-kopi dari gunung, begitu kata pak Sidi. 



Kemudian saya menanyakan, “kapan itu pak?, dan dijawab nya “ wah… sudah lama lah, awaknya masih kecil dulu…..”. hatiku sedikit mendongkol mendengar jawaban pak Sidi, maksud hati ingin mendapatkan jawaban buat nambah tulisan laporan ku. Tetapi yang kudapat jawaban tidak berujung.



Tiba-tiba cuaca yang tadi mendung, semakin gelap, seiring dengan waktu yang juga menuju senja. Cepat-cepat kopiku habiskan, takut hilang panas dan kenikmatannya. Kata orang-orang disini, kalau kopi sudah dingin, sudah tidak enak, dan bisa buat penyakit. Terutama sakit angin, begitu yang mereka sampaikan kepada ku. Aku bergegas berdiri dan jalan menuju pak Raya yang sedang menuang air panas kedalam beberapa cangkir gelas untuk tamu-tamu di kedainya. Aku sapa pak Raya, “pak, berapa kopi ku dengan kopi pak sidi?”, setelah membayar akupun berpamitan dengan pak Sidi dan beberapa warga yang sedang menikmati kopi di kedai pak Raya ini. Kemudia segera aku menghidupkan mesin sepeda motor ku untuk kembali ke Rumah kontrakan kami di Pasar III Natal. 



Belum lagi aku menikmati badan ini yang baru disiram air segar, tiba-tiba telepon genggamku berbunyi, bergegas aku mengambilnya dan menyahut sapa dari Pak Kades Kunkun, “Pak, bisa segera ke kampong pak, banyak rumah yang hancur, barusan saja kena angin putting beliung, tolong ya pak…”, tanpa memberi kesempatan pada ku untuk menjawab lagi telepon pun dimatikan. Sejenak aku terhenyuk, baru saja aku meninggalkan desa itu, ternyata bencana menimpa desa kunkun yang begitu damai dan tenang itu. Kemudia, bersama teman kerja ku kami berangkat ke desa Kunkun, untuk melihat kondisi desa tersebut sembari memberikan pertolongan sebisa kami dahulu disana.



Hujan deras terus mengguyur desa sejak kejadian itu, dan 10 rumah warga porakporanda, 1 bangunan sekolah dasar yang baru saja selesai dibangun sudah hancur tidak beratap lagi. Suasana di kampong menjadi mencekam, penerangan dari Perusahaan Listrik Negara menjadi mati, dan kutatap wajah setiap warga, yang didalamnya terasa masih menyimpan ketakutan dan kegelisahan yang mendalam akibat mengalami kuat dan kencangnya angin putingbeliung yang menerpa desa mereka. Aku kembali teringat dengan kejadian Tsunami di Aceh tahun 2004 yang lalu, ketika itu aku melihat kondisi desa dan warga yang benar-benar masih tercekam dengan bencana yang terjadi, hal ini kembali aku rasakan di desa Kunkun ini. Walaupun  perbedaan sangat sangat jauh, namun nuansa kegelisahan ini masih terasa sama.

Pengalaman ku menghadapi paska bencana seperti ini, pertama yang harus dilakukan adalah merelokasi warga kesatu tempat yang lebih aman, kemudian bersama aparat desa dan warga desa kami secara bersama-sama mendirikan dapur umum dan perlengkapan tidur bagi anak-anak dan para orang tua. Setelah selesai mendirikan lokasi darurat, dapur umum dan menghubungi petugas puskesmas di Natal untuk menangani korban-korban terluka, kami pun segera melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait di tingkat kecamatan dan kabupaten di Mandailing Natal ini. 

Begitu pagi hari, mulailah berdatangan aparat-aparat kabupaten ke lokasi bencana, dan kamipun mohon pamit kepada Pak Kades dan beberapa warga untuk kembali ke Natal, dan berjanji untuk kembali ke desa nanti sore.

Natal, 1-2-2011,