Kamis, 17 Februari 2011

ASPIRASI YANG TIDAK TERBAYAR

Desa Sundutan Tigo  dalah salah satu dari desa terujung di kecamatan Natal, dan berbatasan langsung dengan kecamatan Muara Batang Gadis yang mana perbatasan desa dengan kecamatan di pisahkan oleh sungai kecil, topografis  desa Sundutan Tigo terdiri dari daerah pesisir pantai, sungai dan dataran tinggi. Kawasan  dataran tinggi banyak di kelola oleh perkebunan swasta dan pertanian warga, perkebunan yang ada di desa Sundutan Tigo pengelolaanya meliputi perkebunan swasta dan perkebunan masyarakat.  Sementara sumber mata pencaharian yang di hasilkan masyarakat desa terdiri dari nelayan bagi masyarakat yang berada di derah pesisir pantai, bertani serta berkebun bagi masyarakat yang berada di daerah dataran tinggi.  

Untuk para nelayan  Jenis kapal yang di pergunakan dalam mencari ikan relatif kecil yang berkapasitas 1 sampai dengan 2 ton bahkan masih ada  masyarakat mempergunakan perahu kecil  dalam mencari ikan di laut, hal ini membuat penghidupan masyarakat di sekitar pesisir perekonomianya masih relatif rendah,  berbeda dengan para nelayan yang mempunyai kapal dengan kapasitas 5 sampai di atas 10 ton tentu hasil yang di dapati jauh lebih mencukupi.
Untuk menambah perekonomian masyarakat di desa Sundutan Tigo mengantungkan hidup dari bersawah dan berkebun, mayoritas perkebunan yang ada di desa sundutan tigo adalah kebun sawit, selebihnya pertanian lahan basah



Hasil pertemuan yang dilakukan melalui lokakarya desa model konsep, di ketahui akar permasalahan yang ada di desa Sundutan Tigo, kecamatan Natal bahwa banyak lahan yang ada di desa khususnya perkebunan adalah milik orang luar hanya sebahagian kecil perkebunan yang ada milik masyarakat, hal ini terlihat kehidupan di masyarakat semakin terjepit, disebabkan banyaknya pengelolaan kebun di kerjakan dari pihak luar baik sekala besar yang di tangani perusahaan swasta maupun perorangan, hal ini terlihat banyaknya para pendatang yang mempergunakan mobil-mobil mewah, yang datang dikecamatan itu untuk melihat dan meninjau kondisi kebun milik mereka, sementara untuk pengerjaannya dilakukan oleh masyarakat di sekitar desa.

Sepintas sangat miris bila kita perhatikan dengan apa yang menimpa masyarakat desa saat ini menjadi pelayan ditanah sendiri, Ironisnya masyarakat menyadari semua itu tetapi mengingat tuntutan hidup dan janji-janji manis para calo lahan akhirnya masyarakat lebih terjebak dalam jurang kemiskinan karena tidak ada lagi lahan yang harus di manfaatkan untuk di kelola.
Sesal kemudian kini tiada berguna itulah yang menimpa sebahagian dari masyarakat yang tanahnya telah terjual, untuk bekebun tanah sudah tak punya akhirnya menjadi pekerja di perkebunan milik orang lain. Belum selesai dengan apa yang barusan menimpa masyarakat desa kini timbul permasalahan baru dimana sungai yang dulunya sebagai sumber pengairan sawah masyarakat kini kini  semangkin menyempit sehingga sungai yang selama ini yang di harapkan masyarakat untuk mengairi sawah telah berkurang. 



Hal ini dikarena tidak terkontrolnya pihak pengelola yang meperluas lahan perkebunan sehingga mencapai pinggiran sungai, Polemik yang terjadi di masyarakat saat ini  adalah sejauh mana batasan dan keabsahan jual beli lahan yang sedang di kelola oleh investor sehingga masyarakat menduga adanya penyerobotan lahan di luar dari batas-batas yang sudah di tentukan, masyarakat tidak dapat berbuat banyak mengingat si pengelola lahan   adalah orang yang berpengaruh di kabupaten MADINA. 

Masyarakat berharap adanya orang yang dapat menyampaikan aspirasi mereka untuk memperjelas status lahan yang dalam pekerjaan karena masyarakat meyakini lahan tersebut belum diperjual belikan, dan sungai yang tadinya besar kini menjadi kecil sehinga masyarakat kekurangan dalam mengairi sawahnya.
 
Dan untuk memperlebar sungai seperti semuala,  pihak pengelola merasa keberatan, dan masyarakat harus telebih dahulu mendapatkan izin kepada si pengelola, adapun putra daerah yang mampu untuk menjadi mediator dalam permasalahan ini, bahkan mejabat sebagai anggota dewan malah menjadi tangan kanan di perusahan itu membuat masyarakat menjadi bingung untuk menyampaikan aspirasi, kalaupun ada aspirasi tersampaikan hanya sebatas ke kantor camat, demikianlah sekelumit tentang dinamika hidup di desa Sundutan Tigo dengan potensi sumberdaya alam yang melimpah dapat menjadi sumber alternatif peningkatan ekonomi masyarakat. Apa lagi potensi pesisir pantainya bisa menjadi nilai ekonomis, menjadi tujuan wisata.



Medan, 17 Februari 2011, Deffian Syaiful, Yayasan PEKAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar