Hari Sabtu ini (29/1), sejak pagi hingga sore ini cuaca memang mendung, awan terlihat gelap dan bergumpal-gumpal, gelombang ombak tidak tinggi tetapi deburan serasa semakin sering. Namun, cuaca ini aku anggap biasa saja, sama halnya dengan hari-hari lalu. Kopi panas yang disuguhkan pak Raya, serasa nikmat, sangat terasa di langit-langit mulut ini, dan tanpa ampun langsung menerobos tenggorokan. Betapa nikmat kopi kampong. Dulu menurut pak Sidi, kopi-kopi banyak dikampung ini, datang dari gunung, tepatnya dari Batang Natal, pedagang sudah ramai di muara ini untuk membeli kopi-kopi dari gunung, begitu kata pak Sidi.
Kemudian saya menanyakan, “kapan itu pak?, dan dijawab nya “ wah… sudah lama lah, awaknya masih kecil dulu…..”. hatiku sedikit mendongkol mendengar jawaban pak Sidi, maksud hati ingin mendapatkan jawaban buat nambah tulisan laporan ku. Tetapi yang kudapat jawaban tidak berujung.
Tiba-tiba cuaca yang tadi mendung, semakin gelap, seiring dengan waktu yang juga menuju senja. Cepat-cepat kopiku habiskan, takut hilang panas dan kenikmatannya. Kata orang-orang disini, kalau kopi sudah dingin, sudah tidak enak, dan bisa buat penyakit. Terutama sakit angin, begitu yang mereka sampaikan kepada ku. Aku bergegas berdiri dan jalan menuju pak Raya yang sedang menuang air panas kedalam beberapa cangkir gelas untuk tamu-tamu di kedainya. Aku sapa pak Raya, “pak, berapa kopi ku dengan kopi pak sidi?”, setelah membayar akupun berpamitan dengan pak Sidi dan beberapa warga yang sedang menikmati kopi di kedai pak Raya ini. Kemudia segera aku menghidupkan mesin sepeda motor ku untuk kembali ke Rumah kontrakan kami di Pasar III Natal.
Belum lagi aku menikmati badan ini yang baru disiram air segar, tiba-tiba telepon genggamku berbunyi, bergegas aku mengambilnya dan menyahut sapa dari Pak Kades Kunkun, “Pak, bisa segera ke kampong pak, banyak rumah yang hancur, barusan saja kena angin putting beliung, tolong ya pak…”, tanpa memberi kesempatan pada ku untuk menjawab lagi telepon pun dimatikan. Sejenak aku terhenyuk, baru saja aku meninggalkan desa itu, ternyata bencana menimpa desa kunkun yang begitu damai dan tenang itu. Kemudia, bersama teman kerja ku kami berangkat ke desa Kunkun, untuk melihat kondisi desa tersebut sembari memberikan pertolongan sebisa kami dahulu disana.
Hujan deras terus mengguyur desa sejak kejadian itu, dan 10 rumah warga porakporanda, 1 bangunan sekolah dasar yang baru saja selesai dibangun sudah hancur tidak beratap lagi. Suasana di kampong menjadi mencekam, penerangan dari Perusahaan Listrik Negara menjadi mati, dan kutatap wajah setiap warga, yang didalamnya terasa masih menyimpan ketakutan dan kegelisahan yang mendalam akibat mengalami kuat dan kencangnya angin putingbeliung yang menerpa desa mereka. Aku kembali teringat dengan kejadian Tsunami di Aceh tahun 2004 yang lalu, ketika itu aku melihat kondisi desa dan warga yang benar-benar masih tercekam dengan bencana yang terjadi, hal ini kembali aku rasakan di desa Kunkun ini. Walaupun perbedaan sangat sangat jauh, namun nuansa kegelisahan ini masih terasa sama.
Pengalaman ku menghadapi paska bencana seperti ini, pertama yang harus dilakukan adalah merelokasi warga kesatu tempat yang lebih aman, kemudian bersama aparat desa dan warga desa kami secara bersama-sama mendirikan dapur umum dan perlengkapan tidur bagi anak-anak dan para orang tua. Setelah selesai mendirikan lokasi darurat, dapur umum dan menghubungi petugas puskesmas di Natal untuk menangani korban-korban terluka, kami pun segera melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait di tingkat kecamatan dan kabupaten di Mandailing Natal ini.
Begitu pagi hari, mulailah berdatangan aparat-aparat kabupaten ke lokasi bencana, dan kamipun mohon pamit kepada Pak Kades dan beberapa warga untuk kembali ke Natal, dan berjanji untuk kembali ke desa nanti sore.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar