Sabtu, 29 Januari 2011
Rabu, 19 Januari 2011
Selasa, 18 Januari 2011
KUMPULAN BERITA BANJIR BANDANG MANDAILING NATAL
Banjir di Mandailing Natal, 4,300 Jiwa Mengungsi
Mandailing Natal – Banjir yang bersumber dari luapan air sungai melanda lima kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara (Sumut). Tidak ada korban jiw sejauh ini, namun tak kurang dari 4,300 jiwa terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman.Ketiga sungai yang meluap itu, masing-masing Aek Bangko, Aek Batang Natal, dan Aek Batahan. Akibatnya rumah penduduk yang berada di lima kecamatan yang dilintasi sungai tersebut ikut terendam air. Masing-masing di Kecamatan Muara Batang Gadis, Natal, Kecamatan Sinunukan, Batahan dan Ranto Baek. Pada beberapa titik, ketinggian air mencapai dua meter.
Penduduk yang mengungsi berjumlah sekitar 4,300 jiwa dari 888 keluarga. Saat ini mereka bertahan di Pasar Sinunukan, Bukit Godang, Kecamatan Batahan di kabupaten yang sama.
“Kami sudah mengistruksikan camat untuk segera melakukan penagangan. Agar masyarakat segera mendapatkan bantuan sembako maupun kesehatan,” kata Bupati Mandailing Natal Amru Helmy Daulay kepada wartawan, Selasa (24/7/2007) di Mandailing Natal, sekitar 480 kilometer dari Medan.
Luapan air sungai juga menyebabkan sejumlah jembatan penghubung di kabupaten itu rusak dan hanyut. Di Kecamatan Sinunukan dan Batahan masing-masing satu jembatan. Sementara jembatan Pasar Natal di Kecamatan Natal yang baru dibangun juga ikut hanyut.
Di beberapa titik jalan lainnya juga terdapat longsoran tanah dari perbukitan. Akibatnya, jalur transportasi Kecamatan Natal menuju Panyabungan, ibukota Mandailing Natal, terputus total. Kendala transportasi ini juga menghambat efektivitas pendistribusian bantuan kepada warga. (rul/asy)
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/07/tgl/24/time/161412/idnews/808853/idkanal/10
Ribuan Warga Mandailing Natal Mengungsi Karena Banjir
Selasa, 24 Juli 2007 | 19:35 WIB
TEMPO Interaktif, Medan: Ribuan masyarakat dari Kecamatan Batu Sondet, Bapahan,Patiluban Ilir, Luban Mudik, Natal, Muara Batang Gadis, dan Sinunukan di Kabupaten Mandailing Natal mengungsi karena banjir pada Selasa (24/7).
Banjir yang menggenangi perumahan warga disebabkan meluapnya sungai Aek Batang Natal, Aek Bangko dan Aek Bantahan. Sebagian besar warga mengungsi ke Pasar Sinunukan, Bukit Godang dan Bantahan.
Khairul, seorang warga Panyabungan mengatakan, banjir yang mengenai sejumlah wilayah ini karena hujan turun terus menerus selama dua hari. “Hujan turun selama dua hari terus menerus,” katanya.
Namun, banjir di kawasan Batu Sondet diduga karena penebangan hutan untuk perluasan perkebunan milik perusahaan perkebunan milik negara. Menurut Khairul, setiap hari kayu yang ditebang dari wilayah ini.
Hambali Batubara
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/sumatera/2007/07/24/brk,20070724-104299,id.html
Kerugian Bencana Mandailing Natal dan Langkat Rp 108 Miliar
Selasa, 16 Januari 2007 | 11:37 WIB
TEMPO Interaktif, Medan:Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menghitung kerugian bencana gempa dan longsor di Kabupaten Mandailing Natal dan banjir di Kabupeten Langkat mencapai Rp 108 miliar.
Kerugian materi itu akibat rusaknya sejumlah nfrastruktur jalan sepanjang dua kilometer, jalan negara empat kilometer serta jembatan. Adapun rumah yang rusak berat sebanyak 554 unit dan rusak ringan 467 unit.
Adapun bangunan sekolah rusak berat tujuh unit dan 11 lainnya rusak ringan. Korban tewas akibat gempa disusul longsor di Mandailing Natal 33 orang dan 2.988 jiwa hingga saat masih mengungsi.
Sedangkan banjir di Langkat kerugiannya mencapai Rp 70 miliar. Banjir bandang itu merusak lahan persawahan seluas 14.379 hektare, 5.149 unit rumah rusak parah, empat jembatan ambruk serta 1.110 hektare tanaman hortikultura rusak. Banjir yang melanda 15 kecamatan, akhir tahun lalu itu menelan korban jiwa 17 orang.
“Pemerintah Sumatera Utara menargetkan rehabilitasi dan rekonstruksi kedua kebupaten itu selesai dalam tiga bulan,” juru bicara Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Maringan Lumban Tobing kepada Tempo hari ini.
Sahat Simatupang
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/sumatera/2007/01/16/brk,20070116-91346,id.html
75 Persen Hutan Bakau di Sumut Rusak
Medan, Kompas - Kerusakan kawasan pesisir akibat perambahan dan konversi lahan menjadi perkebunan sawit membuat kawasan tutupan hutan bakau di Sumatera Utara tersisa 25 persen. Sebanyak 75 persen atau 62.800 hektar di antaranya sudah rusak.
Data Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara menunjukkan, kerusakan terbesar terjadi di Kabupaten Langkat. Dari 35.500 hektar hutan bakau di daerah itu, sebanyak 25.300 hektar atau 71,6 persen di antaranya rusak. Di Tanjung Balai-Asahan, dari 14.400 hektar hutan bakau, sebanyak 12.900 hektar atau 89,5 persen di antaranya rusak. Sementara di Deli Serdang-Asahan, 12.900 hektar atau 64,5 persen dari total 20.000 hektar hutan bakau rusak.
Kerusakan juga terjadi pada hutan bakau di Nias, Labuhan Batu, Tapanuli Tengah, Mandailing Natal, dan Medan. Di Medan, dari 250 hektar hutan bakau, kerusakan terjadi pada 150 hektar. Sementara di Nias, kerusakan baru sekitar 6 persen atau 650 hektar dari 7.200 hektar yang dimiliki. Data didasarkan foto citra satelit yang dibuat Dinas Kelautan dan Perikanan Sumut.
Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Sumut Matius Bangun hari Rabu (27/1) mengatakan, hutan bakau ditangani tiga instansi. Dinas Kehutanan menangani areal kawasan hutan, Dinas Kelautan dan Perikanan di kawasan budidaya, serta Badan Lingkungan Hidup mengurusi bakau di zona kawasan industri. Namun, kerusakan terus bertambah.
Penyelamatan
Kerusakan terutama terjadi karena perambahan kawasan pesisir yang sudah terjadi puluhan tahun. Kini, kondisi kawasan hutan bakau sudah beralih fungsi menjadi banyak hal, seperti permukiman dan perkebunan, terutama lahan kelapa sawit.
Menurut Matias, ada 10.000 hektar lahan perikanan budidaya udang di Sumut yang tidak berfungsi lagi karena bisnis ini tak berkembang. ”Semestinya lahan dialihfungsikan menjadi hutan bakau kembali. Namun, kini lahan dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit,” tuturnya.
Upaya penyelamatan sudah dilakukan sejumlah pihak, baik instansi pemerintah maupun swasta, tetapi belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Badan Lingkungan Hidup menyatakan perlu waktu sedikitnya 10 tahun untuk memperbaiki hutan bakau yang ada di Sumut. (WSI)
Data Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara menunjukkan, kerusakan terbesar terjadi di Kabupaten Langkat. Dari 35.500 hektar hutan bakau di daerah itu, sebanyak 25.300 hektar atau 71,6 persen di antaranya rusak. Di Tanjung Balai-Asahan, dari 14.400 hektar hutan bakau, sebanyak 12.900 hektar atau 89,5 persen di antaranya rusak. Sementara di Deli Serdang-Asahan, 12.900 hektar atau 64,5 persen dari total 20.000 hektar hutan bakau rusak.
Kerusakan juga terjadi pada hutan bakau di Nias, Labuhan Batu, Tapanuli Tengah, Mandailing Natal, dan Medan. Di Medan, dari 250 hektar hutan bakau, kerusakan terjadi pada 150 hektar. Sementara di Nias, kerusakan baru sekitar 6 persen atau 650 hektar dari 7.200 hektar yang dimiliki. Data didasarkan foto citra satelit yang dibuat Dinas Kelautan dan Perikanan Sumut.
Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Sumut Matius Bangun hari Rabu (27/1) mengatakan, hutan bakau ditangani tiga instansi. Dinas Kehutanan menangani areal kawasan hutan, Dinas Kelautan dan Perikanan di kawasan budidaya, serta Badan Lingkungan Hidup mengurusi bakau di zona kawasan industri. Namun, kerusakan terus bertambah.
Penyelamatan
Kerusakan terutama terjadi karena perambahan kawasan pesisir yang sudah terjadi puluhan tahun. Kini, kondisi kawasan hutan bakau sudah beralih fungsi menjadi banyak hal, seperti permukiman dan perkebunan, terutama lahan kelapa sawit.
Menurut Matias, ada 10.000 hektar lahan perikanan budidaya udang di Sumut yang tidak berfungsi lagi karena bisnis ini tak berkembang. ”Semestinya lahan dialihfungsikan menjadi hutan bakau kembali. Namun, kini lahan dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit,” tuturnya.
Upaya penyelamatan sudah dilakukan sejumlah pihak, baik instansi pemerintah maupun swasta, tetapi belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Badan Lingkungan Hidup menyatakan perlu waktu sedikitnya 10 tahun untuk memperbaiki hutan bakau yang ada di Sumut. (WSI)
http://regional.kompas.com/read/2010/01/30/02533281/75.Persen.Hutan.Bakau.di.Sumut.Rusak
Strategi Pengembangan Pantai Barat Madina
Pantai Barat Mandailing Natal (Madina), sejak zaman dahulu merupakan kawasan yang mempesona. Sejak zaman dahulu, para pedagang mancanegara banyak berdatangan ke wilayah ini, khususnya Pantai Natal, karena dianggap sangat strategis sebagai tempat pelabuhan dagang dan juga indah untuk beristirahat. Natal saat itu, sering juga dijadikan sebagai tempat persinggahan orang-orang yang melintasi Pulau Sumatera, meskipun tujuan utama mereka adalah untuk berdagang. Bagi pemerintahan Kolonial Belanda, Pantai Barat khususnya Pantai Natal, selain dijadikan sebagai pelabuhan perdagangan, juga dijadikan sebagai jalan untuk memasuki Mandailing dan sekitarnya, serta sebagai pusat perdagangan rempah-rempah dan emas. WASPADA Online
Oleh Zulkarnain Lubis
Pantai Barat Mandailing Natal (Madina), sejak zaman dahulu merupakan kawasan yang mempesona. Sejak zaman dahulu, para pedagang mancanegara banyak berdatangan ke wilayah ini, khususnya Pantai Natal, karena dianggap sangat strategis sebagai tempat pelabuhan dagang dan juga indah untuk beristirahat. Natal saat itu, sering juga dijadikan sebagai tempat persinggahan orang-orang yang melintasi Pulau Sumatera, meskipun tujuan utama mereka adalah untuk berdagang. Bagi pemerintahan Kolonial Belanda, Pantai Barat khususnya Pantai Natal, selain dijadikan sebagai pelabuhan perdagangan, juga dijadikan sebagai jalan untuk memasuki Mandailing dan sekitarnya, serta sebagai pusat perdagangan rempah-rempah dan emas. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kawasan Pantai Barat Mandailing Natal dikatakan sebagai tempat yang sangat menggiurkan karena potensinya yang luar biasa, yang antara lain ditunjukkan oleh wilayah pesisir dengan hamparan mangrove yang membujur dengan ketebalan bervariasi antara 50-150 meter, garis pantai yang luas dengan potensi perikanan yang melimpah, keindahan alam yang mempesona dan sangat berprospek sebagai objek wisata alam, kawasan potensial untuk lahan perkebunan, sebagai tempat penghasil sarang burung walet yang konon kabarnya merupakan sarang burung walet terbaik di dunia, hamparan hutan lindung yang luas dan kaya flora dan fauna serta aneka ragam jenis kayu dan hasil hutan lainnya yang bernilai ekonomis tinggi.
Ternyata kekayaan alam Pantai Barat ini di masa lalu ditunjang juga dengan sumber daya manusianya, terbukti dengan munculnya beberapa figur dari daerah ini baik yang tampil sebagai tokoh nasional maupun yang tampil sebagai tokoh daerah. Beberapa di antaranya, antara lain adalah Sutan Muhammad Amin; tokoh yang gigih berjuang melawan pemerintahan kolonial Belanda, sehingga sempat dibuang ke Bengkulu, Mekkah, dan kembali ke Bengkulu. Selain itu, tentu saja masyarakat luas sangat kenal dengan Sutan Takdir Alisyahbana; seorang sastrawan, seniman, budayawan dan tokoh pendidikan yang juga merupakan putra daerah pantai barat. Tokoh lainnya adalah Sutan Syahrir yang walaupun tidak lahir di Pantai Barat tetapi lahir dari rahim seorang ibu yang berasal dari Natal, yaitu Siti Rabiah. Tentu tidak ada yang membantah ketokohan anak bangsa berdarah Natal ini, beliau adalah tokoh perjuangan nasional dan pahlawan nasional, bahkan sempat dijuluki Si Bung Kecil karena semangat, integritas, dan kepribadiannya. Selain tiga nama di atas, masih ada lagi beberapa nama lain yang patut disebut sebagai bukti bahwa putra daerah Pantai Barat Mandailing Natal tidak kalah dibandingkan daerah lainnya, yaitu Sutan Bardansyah dan Sutan Oesman Sridewa yang malang melintang menduduki berbagai jabatan baik di daerah ini maupun di tingkat nasional.
Kondisi Masa Kini
Namun segala potensi kekayaan alam dan kejayaan masa lalu sebagaimana disebutkan di atas, rasanya banyak yang kini hanya tinggal kenangan. Natal tak lagi dikunjungi para pedagang dan tidak lagi berfungsi sebagai pelabuhan perdagangan dan tempat beristirahat. Natal seakan berdiam diri dengan simpanan sejuta pesonanya, bahkan masyarakat Indonesia banyak yang belum mengenal kawasan yang mempesona ini. Kawasan Pantai Barat boleh dikatakan tertinggal tidak saja dalam hal pembangunan, tetapi juga mencakup pendapatan dan produktivitas masyarakat serta berbagai sarana dan prasarana umum lainnya. Banyak masyarakat Pantai Barat yang hanya mampu mengeksploitasi sumberdaya yang ada tanpa ada upaya pelestarian dan pemanfaatannya untuk kepentingan yang lebih besar dari sekedar pemenuhan kebutuhan hidup saja, bahkan sebagian besar masyarakat pesisir di Pantai Barat Mandailing Natal menggantungkan hidupnya secara langsung di wilayah pesisir, mereka sebagian besar mempunyai taraf hidup pra sejahtera (miskin), terutama yang berstatus sebagai nelayan. Dengan kondisi yang sangat jauh tertinggal, mereka hanya sebagai nelayan musiman yang kontribusi dari hasil tangkapnya sangat minim.
Akar Permasalahan
Dari apa yang diuraikan di atas, secara umum dapat diidentifikasi bahwa akar permasalahan dan kendala dalam pengembangan Kawasan Pantai Barat Madina adalah (i) belum berkembangnya usaha perikanan tangkap dan budidaya, (ii) rendahnya kualitas sumber daya manusia, (ii) belum berkembangnya tempat pendaratan/pelelangan ikan, (iv) belum berkembangnya industri pasca panen hasil perikanan, (v) rusaknya hutan bakau, (v) potensi lain di luar perikanan, seperti pariwisata, pertanian, kehutanan, perkebunan belum termanfaatkannya oleh masyarakat. Jadi sepanjang akar permasalahan ini tidak diatasi, maka Pantai Barat akan tetap tertinggal, pantai nan mempesona akan tetap berada dalam tidur panjang, kejayaan masa lalu hanya sekedar kenangan indah, kesenjangan akan tetap bertahan dan pengrusakan lingkungan hidup akan terus berlanjut.
Pemberdayaan Masyarakat
Untuk meraih kembali kejayaan tersebut, perlu penanganan terpadu yang intinya adalah melakukan pemberdayaan masyarakat Pemberdayaan yang dilakukan mestilah mencakup pemberdayaan pada aspek sosial, politik, dan psikologis. Karena pemberdayaan bermakna (i) to give power atau authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain; (ii) to give ability to atau enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau kekuatan, maka upaya pemberdayaan masyarakat di Pantai Barat mestilah merupakan usaha memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan masyarakat, yang berlandaskan pada sumber daya pribadi, langsung (melalui partisipasi), demokratis dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung. Pemberdayaan masyarakat juga mestilah ditujukan agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi masa depannya, mempunyai akses terhadap faktor-faktor produksi, dan dapat menentukan pilihan masa depannya. Dari apa yang dijelaskan mengenai pemberdayaan di atas, maka hal utama yang mesti dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat adalah melakukan peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang pada intinya dilakukan melalui peningkatan mutu pelayanan pendidikan baik formal maupun non formal.
Dengan demikian untuk mengembalikan kejayaan Pantai Barat, langkah utama yang perlu dilakukan adalah peningkatan mutu pendidikan, peningkatan mutu pelayanan pendidikan, dan penyelenggaraan pendidikan yang terpadu dan terintegrasi dengan seluruh komponen yang ada. Dengan kata lain pelayanan pendidikan yang dilakukan haruslah melibatkan pemerintah dan legislatif, dunia usaha dan perbankan dan lembaga pendidikan tinggi serta kelompok masyarakat. Dengan demikian, lembaga pendidikan formal dan non formal akan berperan dalam menyiapkan lulusan yang berperan besar dalam pengembangan sektor riel dan tumbuhnya perekonomian setempat. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka diharapkan akan diperoleh sumber daya manusia yang berkemampuan melakukan pengembangan ekonominya (economic viability) melalui penguasaan teknologi, keterampilan dan manajemen usaha baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan non formal yang berkaitan dengan usaha yang dijalankan. Di tengah-tengah masyarakat akan tumbuh dan berkembang nilai-nilai, jiwa, minat dan semangat kewirausahaan, akan memunculkan etos kerja yang unggul, akan termotivasi untuk menuntut ilmu pengetahuan dan teknologi, akan disadari pentingnya pendidikan dan akan tumbuh keinginan untuk berubah, maju, dan berkembang, sehingga akan tumbuh usaha-usaha rakyat yg dikelola dengan baik.
Untuk tumbuh dan berkembangnya usaha-usaha rakyat tersebut, tentunya pemerintah daerah dan legislatif diharapkan dapat menyiapkan peraturan, menentukan kebijak-an dan memberikan pelayanan, sehingga diperoleh seperangkat aturan yang kondusif bagi usaha rakyat untuk berkembang, tersedianya sarana dan prasarana yang mendukung, terbentuknya kelembagaan dan organisasi yang menunjang berkembangnya dunia usaha, terbukanya akses terhadap sumber keterampilan, teknologi dan pengetahuan serta terlaksananya tata pemerintahan yang baik. Selanjutnya, dunia usaha dan perbankan diharapkan berperan melalui pembukaan hubungan kemitraan dengan usaha rakyat, mengadakan kerja sama, serta menjalankan program community development, sehingga melalui dunia usaha dan kalangan perbankan, diharapkan akan terbuka akses masyarakat terhadap modal, akses terhadap informasi, akses terhadap keterampilan, teknologi, dan pengetahuan, akses terhadap pemasaran dan akses untuk lapangan pekerjaan. Jika berbagai pihak dapat berinteraksi dengan sekolah dalam membantu menumbuhkan usaha-usaha baru, maka diharapkan akan meningkatkan ketersediaan modal kerja baik modal yang dipupuk sendiri maupun modal tambahan dari luar (suntikan modal yang dapat dipertanggungjawabkan), meningkatnya akses pemasaran sebagai tempat pendistribusian out put dengan sistem pasar dengan harga yang stabil dan mendapat perlindungan dari pemerintah., serta terjamin ketersediaan sarana produksi pada masing-masing bidang usaha.
Pengembangan Pendidikan
Sesuai dengan penjelasan di atas, maka untuk pengembangan pendidikan di pantai barat diperlukan keselarasan antara pendidikan dengan komoditas unggulan dan potensi kawasan pantai barat, khususnya untuk sektor perikanan dan hasil laut, perkebunan, kehutanan yang dilakukan secara terpadu dengan sektor riel sesuai dengan potensi tersebut. Keterkaitan pendidikan dengan sektor riel antara lain (i) menempatkan posisi sekolah dan penyelenggara pendidikan non formal sebagai penyedia ilmu dan keterampilan dapat diaplikasikan sesuai potensi daerah, (ii) materi yang diajarkan oleh sekolah dan penyelenggara pendidikan non formal dimengerti dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan ekonomis mereka, (iii) masyarakat menjadi terampil berusaha baik dari aspek manajerial maupun aspek tehnis, kewirausahaan tumbuh dan berkembang, (iv) ada dunia usaha yang memberi peluang menampung lulusan sekolah dan penyelenggara pendidikan non formal, sehingga lapangan pekerjaan menjadi lebih terbuka, (v) dimungkinkannya diperoleh value added yang lebih besar dengan tidak lagi menjual berupa bahan baku, tetapi sudah dalam barang jadi atau setengah jadi, (vi) produktivitas bertambah, (vii) industri rumah tangga berkembang
Untuk pengembangan pendidikan demikian, diperlukan peningkatan mutu pendidikan formal terutama yang terkait dengan 5 hal, yaitu (i) Kualitas, kuantitas, distribusi dan relevansi guru dengan pengembangan komoditas unggulan, (ii) (Calon) Siswa yang mempunyai keseriusan, kesungguhan, dan kesiapan siswa mengikuti dan mengembangkan serta yang mempunyai kepribadian, etos kerja, motivasi dan semangat dalam memperoleh ilmu pengetahuan melalui sekolah, (iii) Sarana pendidikan yang memungkinkan guru dan siswa mempunyai akses terhadap sumber informasi dan bahan bacaan, sarana laboratorium dan sarana praktek kerja yang diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana untuk mempraktekkan, mengamati dan menyaksikan sendiri teori-teori yang telah dipelajarinya, (iv) Sistem pendidikan dan manajemen sekolah, yaitu struktur organisasi sekolah, proses pengambilan keputusan, batas kewenangan pimpinan sekolah, metode pengajaran, kurikulum, sistem evaluasi, kedalam pengajaran materi, pengaturan jam belajar, peraturan siswa dan lain-lain termasuk pendidikan nilai untuk membina hati nurani agar peserta didik mempunyai kepekaan sehingga mereka menghayati nilai-nilai luhur yang menyangkut budi (kesadaran) dan pekerti (perbuatan), (v) Lingkungan masyarakat, yaitu faktor eksternal di luar sistem pendidikan seperti kondisi psikologis, sosial, budaya, kebiasaan lingkungan yang berpengaruh terhadap mutu pendidikan, termasuk bagaimana sikap dan kebijakan pemerintah
Pendidikan Non-Formal
Untuk pendidikan non formal yang ditujukan kepada pengelola usaha rakyat, pemuda, serta anggota masyarakat lainnya di luar pelajar, di Pantai Barat perlu dibentuk pusat-pusat pelatihan dan keterampilan, perlu dilakukan pembentukan dan pembimbingan kelembagaan yang terkait dengan kelompok usaha seperti organisasi, koperasi, atau bentuk kelembagaan lainnya, serta memfasilitasi magang, studi banding, kursus singkat dan berbagai bentuk lainnya. Dengan berbagai pelatihan, pembimbingan dan pengembangan kelembagaan ini diharapkan akan meningkatkan kinerja usaha rakyat serta memunculkan usaha-usaha baru. Akhirnya melalui pengembangan sumber daya manusia baik lewat pendidikan formal maupun pendidikan non formal yang dikaitkan dengan komoditi unggulan dan potensi Pantai Barat, diharapkan mutu sumberdaya manusia akan meningkat, sektor riel akan tumbuh, perekonomian akan berkembang dan ekonomi rakyat akan terberdayakan, serta kejayaan pantai barat akan dapat dinikmati kembali. Oh ya, begitukah ??? Boleh juga ngkali yaaaa....!!!
Penulis adalah dosen UMA, Kepala Sekolah SMA Negeri Plus Mandailing Natal, Anggota Dewan Riset Daerah Sumatera Utara, Doktor Ekonomi dari Universiti Kebangsaan Malaysia
Oleh Zulkarnain Lubis
Pantai Barat Mandailing Natal (Madina), sejak zaman dahulu merupakan kawasan yang mempesona. Sejak zaman dahulu, para pedagang mancanegara banyak berdatangan ke wilayah ini, khususnya Pantai Natal, karena dianggap sangat strategis sebagai tempat pelabuhan dagang dan juga indah untuk beristirahat. Natal saat itu, sering juga dijadikan sebagai tempat persinggahan orang-orang yang melintasi Pulau Sumatera, meskipun tujuan utama mereka adalah untuk berdagang. Bagi pemerintahan Kolonial Belanda, Pantai Barat khususnya Pantai Natal, selain dijadikan sebagai pelabuhan perdagangan, juga dijadikan sebagai jalan untuk memasuki Mandailing dan sekitarnya, serta sebagai pusat perdagangan rempah-rempah dan emas. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kawasan Pantai Barat Mandailing Natal dikatakan sebagai tempat yang sangat menggiurkan karena potensinya yang luar biasa, yang antara lain ditunjukkan oleh wilayah pesisir dengan hamparan mangrove yang membujur dengan ketebalan bervariasi antara 50-150 meter, garis pantai yang luas dengan potensi perikanan yang melimpah, keindahan alam yang mempesona dan sangat berprospek sebagai objek wisata alam, kawasan potensial untuk lahan perkebunan, sebagai tempat penghasil sarang burung walet yang konon kabarnya merupakan sarang burung walet terbaik di dunia, hamparan hutan lindung yang luas dan kaya flora dan fauna serta aneka ragam jenis kayu dan hasil hutan lainnya yang bernilai ekonomis tinggi.
Ternyata kekayaan alam Pantai Barat ini di masa lalu ditunjang juga dengan sumber daya manusianya, terbukti dengan munculnya beberapa figur dari daerah ini baik yang tampil sebagai tokoh nasional maupun yang tampil sebagai tokoh daerah. Beberapa di antaranya, antara lain adalah Sutan Muhammad Amin; tokoh yang gigih berjuang melawan pemerintahan kolonial Belanda, sehingga sempat dibuang ke Bengkulu, Mekkah, dan kembali ke Bengkulu. Selain itu, tentu saja masyarakat luas sangat kenal dengan Sutan Takdir Alisyahbana; seorang sastrawan, seniman, budayawan dan tokoh pendidikan yang juga merupakan putra daerah pantai barat. Tokoh lainnya adalah Sutan Syahrir yang walaupun tidak lahir di Pantai Barat tetapi lahir dari rahim seorang ibu yang berasal dari Natal, yaitu Siti Rabiah. Tentu tidak ada yang membantah ketokohan anak bangsa berdarah Natal ini, beliau adalah tokoh perjuangan nasional dan pahlawan nasional, bahkan sempat dijuluki Si Bung Kecil karena semangat, integritas, dan kepribadiannya. Selain tiga nama di atas, masih ada lagi beberapa nama lain yang patut disebut sebagai bukti bahwa putra daerah Pantai Barat Mandailing Natal tidak kalah dibandingkan daerah lainnya, yaitu Sutan Bardansyah dan Sutan Oesman Sridewa yang malang melintang menduduki berbagai jabatan baik di daerah ini maupun di tingkat nasional.
Kondisi Masa Kini
Namun segala potensi kekayaan alam dan kejayaan masa lalu sebagaimana disebutkan di atas, rasanya banyak yang kini hanya tinggal kenangan. Natal tak lagi dikunjungi para pedagang dan tidak lagi berfungsi sebagai pelabuhan perdagangan dan tempat beristirahat. Natal seakan berdiam diri dengan simpanan sejuta pesonanya, bahkan masyarakat Indonesia banyak yang belum mengenal kawasan yang mempesona ini. Kawasan Pantai Barat boleh dikatakan tertinggal tidak saja dalam hal pembangunan, tetapi juga mencakup pendapatan dan produktivitas masyarakat serta berbagai sarana dan prasarana umum lainnya. Banyak masyarakat Pantai Barat yang hanya mampu mengeksploitasi sumberdaya yang ada tanpa ada upaya pelestarian dan pemanfaatannya untuk kepentingan yang lebih besar dari sekedar pemenuhan kebutuhan hidup saja, bahkan sebagian besar masyarakat pesisir di Pantai Barat Mandailing Natal menggantungkan hidupnya secara langsung di wilayah pesisir, mereka sebagian besar mempunyai taraf hidup pra sejahtera (miskin), terutama yang berstatus sebagai nelayan. Dengan kondisi yang sangat jauh tertinggal, mereka hanya sebagai nelayan musiman yang kontribusi dari hasil tangkapnya sangat minim.
Akar Permasalahan
Dari apa yang diuraikan di atas, secara umum dapat diidentifikasi bahwa akar permasalahan dan kendala dalam pengembangan Kawasan Pantai Barat Madina adalah (i) belum berkembangnya usaha perikanan tangkap dan budidaya, (ii) rendahnya kualitas sumber daya manusia, (ii) belum berkembangnya tempat pendaratan/pelelangan ikan, (iv) belum berkembangnya industri pasca panen hasil perikanan, (v) rusaknya hutan bakau, (v) potensi lain di luar perikanan, seperti pariwisata, pertanian, kehutanan, perkebunan belum termanfaatkannya oleh masyarakat. Jadi sepanjang akar permasalahan ini tidak diatasi, maka Pantai Barat akan tetap tertinggal, pantai nan mempesona akan tetap berada dalam tidur panjang, kejayaan masa lalu hanya sekedar kenangan indah, kesenjangan akan tetap bertahan dan pengrusakan lingkungan hidup akan terus berlanjut.
Pemberdayaan Masyarakat
Untuk meraih kembali kejayaan tersebut, perlu penanganan terpadu yang intinya adalah melakukan pemberdayaan masyarakat Pemberdayaan yang dilakukan mestilah mencakup pemberdayaan pada aspek sosial, politik, dan psikologis. Karena pemberdayaan bermakna (i) to give power atau authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain; (ii) to give ability to atau enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau kekuatan, maka upaya pemberdayaan masyarakat di Pantai Barat mestilah merupakan usaha memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan masyarakat, yang berlandaskan pada sumber daya pribadi, langsung (melalui partisipasi), demokratis dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung. Pemberdayaan masyarakat juga mestilah ditujukan agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi masa depannya, mempunyai akses terhadap faktor-faktor produksi, dan dapat menentukan pilihan masa depannya. Dari apa yang dijelaskan mengenai pemberdayaan di atas, maka hal utama yang mesti dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat adalah melakukan peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang pada intinya dilakukan melalui peningkatan mutu pelayanan pendidikan baik formal maupun non formal.
Dengan demikian untuk mengembalikan kejayaan Pantai Barat, langkah utama yang perlu dilakukan adalah peningkatan mutu pendidikan, peningkatan mutu pelayanan pendidikan, dan penyelenggaraan pendidikan yang terpadu dan terintegrasi dengan seluruh komponen yang ada. Dengan kata lain pelayanan pendidikan yang dilakukan haruslah melibatkan pemerintah dan legislatif, dunia usaha dan perbankan dan lembaga pendidikan tinggi serta kelompok masyarakat. Dengan demikian, lembaga pendidikan formal dan non formal akan berperan dalam menyiapkan lulusan yang berperan besar dalam pengembangan sektor riel dan tumbuhnya perekonomian setempat. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka diharapkan akan diperoleh sumber daya manusia yang berkemampuan melakukan pengembangan ekonominya (economic viability) melalui penguasaan teknologi, keterampilan dan manajemen usaha baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan non formal yang berkaitan dengan usaha yang dijalankan. Di tengah-tengah masyarakat akan tumbuh dan berkembang nilai-nilai, jiwa, minat dan semangat kewirausahaan, akan memunculkan etos kerja yang unggul, akan termotivasi untuk menuntut ilmu pengetahuan dan teknologi, akan disadari pentingnya pendidikan dan akan tumbuh keinginan untuk berubah, maju, dan berkembang, sehingga akan tumbuh usaha-usaha rakyat yg dikelola dengan baik.
Untuk tumbuh dan berkembangnya usaha-usaha rakyat tersebut, tentunya pemerintah daerah dan legislatif diharapkan dapat menyiapkan peraturan, menentukan kebijak-an dan memberikan pelayanan, sehingga diperoleh seperangkat aturan yang kondusif bagi usaha rakyat untuk berkembang, tersedianya sarana dan prasarana yang mendukung, terbentuknya kelembagaan dan organisasi yang menunjang berkembangnya dunia usaha, terbukanya akses terhadap sumber keterampilan, teknologi dan pengetahuan serta terlaksananya tata pemerintahan yang baik. Selanjutnya, dunia usaha dan perbankan diharapkan berperan melalui pembukaan hubungan kemitraan dengan usaha rakyat, mengadakan kerja sama, serta menjalankan program community development, sehingga melalui dunia usaha dan kalangan perbankan, diharapkan akan terbuka akses masyarakat terhadap modal, akses terhadap informasi, akses terhadap keterampilan, teknologi, dan pengetahuan, akses terhadap pemasaran dan akses untuk lapangan pekerjaan. Jika berbagai pihak dapat berinteraksi dengan sekolah dalam membantu menumbuhkan usaha-usaha baru, maka diharapkan akan meningkatkan ketersediaan modal kerja baik modal yang dipupuk sendiri maupun modal tambahan dari luar (suntikan modal yang dapat dipertanggungjawabkan), meningkatnya akses pemasaran sebagai tempat pendistribusian out put dengan sistem pasar dengan harga yang stabil dan mendapat perlindungan dari pemerintah., serta terjamin ketersediaan sarana produksi pada masing-masing bidang usaha.
Pengembangan Pendidikan
Sesuai dengan penjelasan di atas, maka untuk pengembangan pendidikan di pantai barat diperlukan keselarasan antara pendidikan dengan komoditas unggulan dan potensi kawasan pantai barat, khususnya untuk sektor perikanan dan hasil laut, perkebunan, kehutanan yang dilakukan secara terpadu dengan sektor riel sesuai dengan potensi tersebut. Keterkaitan pendidikan dengan sektor riel antara lain (i) menempatkan posisi sekolah dan penyelenggara pendidikan non formal sebagai penyedia ilmu dan keterampilan dapat diaplikasikan sesuai potensi daerah, (ii) materi yang diajarkan oleh sekolah dan penyelenggara pendidikan non formal dimengerti dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan ekonomis mereka, (iii) masyarakat menjadi terampil berusaha baik dari aspek manajerial maupun aspek tehnis, kewirausahaan tumbuh dan berkembang, (iv) ada dunia usaha yang memberi peluang menampung lulusan sekolah dan penyelenggara pendidikan non formal, sehingga lapangan pekerjaan menjadi lebih terbuka, (v) dimungkinkannya diperoleh value added yang lebih besar dengan tidak lagi menjual berupa bahan baku, tetapi sudah dalam barang jadi atau setengah jadi, (vi) produktivitas bertambah, (vii) industri rumah tangga berkembang
Untuk pengembangan pendidikan demikian, diperlukan peningkatan mutu pendidikan formal terutama yang terkait dengan 5 hal, yaitu (i) Kualitas, kuantitas, distribusi dan relevansi guru dengan pengembangan komoditas unggulan, (ii) (Calon) Siswa yang mempunyai keseriusan, kesungguhan, dan kesiapan siswa mengikuti dan mengembangkan serta yang mempunyai kepribadian, etos kerja, motivasi dan semangat dalam memperoleh ilmu pengetahuan melalui sekolah, (iii) Sarana pendidikan yang memungkinkan guru dan siswa mempunyai akses terhadap sumber informasi dan bahan bacaan, sarana laboratorium dan sarana praktek kerja yang diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana untuk mempraktekkan, mengamati dan menyaksikan sendiri teori-teori yang telah dipelajarinya, (iv) Sistem pendidikan dan manajemen sekolah, yaitu struktur organisasi sekolah, proses pengambilan keputusan, batas kewenangan pimpinan sekolah, metode pengajaran, kurikulum, sistem evaluasi, kedalam pengajaran materi, pengaturan jam belajar, peraturan siswa dan lain-lain termasuk pendidikan nilai untuk membina hati nurani agar peserta didik mempunyai kepekaan sehingga mereka menghayati nilai-nilai luhur yang menyangkut budi (kesadaran) dan pekerti (perbuatan), (v) Lingkungan masyarakat, yaitu faktor eksternal di luar sistem pendidikan seperti kondisi psikologis, sosial, budaya, kebiasaan lingkungan yang berpengaruh terhadap mutu pendidikan, termasuk bagaimana sikap dan kebijakan pemerintah
Pendidikan Non-Formal
Untuk pendidikan non formal yang ditujukan kepada pengelola usaha rakyat, pemuda, serta anggota masyarakat lainnya di luar pelajar, di Pantai Barat perlu dibentuk pusat-pusat pelatihan dan keterampilan, perlu dilakukan pembentukan dan pembimbingan kelembagaan yang terkait dengan kelompok usaha seperti organisasi, koperasi, atau bentuk kelembagaan lainnya, serta memfasilitasi magang, studi banding, kursus singkat dan berbagai bentuk lainnya. Dengan berbagai pelatihan, pembimbingan dan pengembangan kelembagaan ini diharapkan akan meningkatkan kinerja usaha rakyat serta memunculkan usaha-usaha baru. Akhirnya melalui pengembangan sumber daya manusia baik lewat pendidikan formal maupun pendidikan non formal yang dikaitkan dengan komoditi unggulan dan potensi Pantai Barat, diharapkan mutu sumberdaya manusia akan meningkat, sektor riel akan tumbuh, perekonomian akan berkembang dan ekonomi rakyat akan terberdayakan, serta kejayaan pantai barat akan dapat dinikmati kembali. Oh ya, begitukah ??? Boleh juga ngkali yaaaa....!!!
Penulis adalah dosen UMA, Kepala Sekolah SMA Negeri Plus Mandailing Natal, Anggota Dewan Riset Daerah Sumatera Utara, Doktor Ekonomi dari Universiti Kebangsaan Malaysia
Fungsi dan Peranan Hutan Bakau (Mangrove) dalam Ekosistem, Jaga Kelestarian Ekosistem Hutan Bakau Bangka Belitung
Mengingat betapa pentingnya arti kelestarian hutan bakau ini bagi kelangsungan hidup ekosistem kelautan maka sudah selayaknya dan sewajarnya lah apabila pemerintah daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini sangat memperhatikan keselamatan Hutan-hutan Bakau yang ada diwilayah provinsi Bangka Belitung. Tak terbayangkan apa yang akan dirasakan oleh seluruh masyarakat kepulauan Bangka Belitung ini bila suatu saat kelak ekosistem Hutan Mangrove (hutan Bakau) yang ada di provinsi kepulauan Bangka Belitung ini hancur atau bahkan musnah, seberapa besar nilai kerugian yang akan didapat, dan seimbangkah dengan pendapatan dan penghasilan dari kegiatan perekonomian yang hanya akan berdampak sesaat saja? Tanpa memperhatikan dampak negatif jangka panjang bagi provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini. Kerugian Materiil yang sangat besar nilainya jika di rupiahkan dan kerugian sprituil yang tak ternilai harganya ... |
Hutan Bakau (mangrove) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Sementara ini wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut. Batas wilayah pesisir di daratan ialah daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air dan masih dipengaruhi oleh proses-proses bahari seperti pasang surutnya laut, angin laut dan intrusi air laut, sedangkan batas wilayah pesisir di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik (Siregar dan Purwaka, 2002). Masing-masing elemen dalam ekosistem memiliki peran dan fungsi yang saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari salah satunya (daratan dan lautan) secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem keseluruhan. Hutan mangrove merupakan elemen yang paling banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar. Mangrove mempunyai peranan ekologis, ekonomis, dan sosial yang sangat penting dalam mendukung pembangunan wilayah pesisir. Kegiatan rehabilitasi menjadi sangat prioritas sebelum dampak negatif dari hilangnya mangrove ini meluas dan tidak dapat diatasi (tsunami, abrasi, intrusi, pencemaran, dan penyebaran penyakit). Kota-kota yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha dalam kawasan hutan berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek wisata (ekoturisme). Dalam merehabilitasi mangrove yang diperlukan adalah master plan yang disusun berdasarkan data obyektif kondisi biofisik dan sosial. Untuk keperluan ini, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam dapat memberikan kontribusi dalam penyusunan master plan dan studi kelayakannya. Dalam hal rehabilitasi mangrove, ketentuan green belt perlu dipenuhi agar ekosistem mangrove yang terbangun dapat memberikan fungsinya secara optimal (mengantisipasi bencana tsunami, peningkatan produktivitas ikan tangkapan serta penyerapan polutan perairan). Menurut Davis, Claridge dan Natarina (1995), hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat sebagai berikut :
Hutan Mangrove dan Perikanan Dalam tinjauan siklus biomassa, hutan mangrove memberikan masukan unsur hara terhadap ekosistem air, menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi anak-anak ikan, tempat kawin/pemijahan, dan lain-lain. Sumber makanan utama bagi organisme air di daerah mangrove adalah dalam bentuk partikel bahan organik (detritus) yang dihasilkan dari dekomposisi serasah mangrove (seperti daun, ranting dan bunga). Selama proses dekomposisi, serasah mangrove berangsur-angsur meningkat kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme pemakan deposit seperti moluska, kepiting dang cacing polychaeta. Konsumen primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat dua, biasanya didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran kecil selanjutnya dimakan oleh juvenil ikan predator besar yang membentuk konsumen tingkat tiga Singkatnya, hutan mangrove berperan penting dalam menyediakan habitat bagi aneka ragamjenis-jenis komoditi penting perikanan baik dalam keseluruhan maupun sebagian dari siklus hidupnya. Nilai Ekonomis Hutan Bakau Berdasarkan kajian ekonomi terhadap hasil analisa biaya dan manfaat ekosistem hutan mangrove (bakau) ternyata sangat mengejutkan, di beberapa daerah seperti Madura dan Irian Jaya dapat mencapai triliunan rupiah, kata Asisten Deputi Urusan Eksosistem Pesisir dan Laut Kementerian Lingkungan Hidup, Dr LH Sudharyono. Pada Workshop Perencanaan Strategis Pengendalian Kerusakan Hutan Mangrove se-Sumatera di Bandar Lampung terungkap bahwa hasil penelitian Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB-Bogor dengan Kantor Menteri Negara LH (1995) tentang hasil analisa biaya dan manfaat ekosistem hutan mangrove Hasilnya ternyata sangat mencengangkan, di Pulau Madura, diperoleh Total Economic Value (TEV) sebesar Rp 49 trilyun, untuk Irian Jaya Rp. 329 trilyun, Kalimantan Timur sebesar Rp. 178 trilyun dan Jabar Rp. 1,357 trilyun. Total TEV untuk seluruh Indonesia mencapai Rp. 820 trilyun. Berdasarkan hasil analisa biaya dan manfaat terhadap skenario pengelolaan ekosistem mangrove disarankan skenarionya : 100 persen hutan mangrove tetap dipertahankan seperti kondisi saat ini, sebagai pilihan pengelolaan yang paling optimal, kenyataannya, telah terjadi pengurangan hutan mangrove, di Pulau Jawa, pada tahun 1997 saja luasnya sudah tinggal 19.077 ha (data tahun 1985 seluas 170.500 ha) atau hanya tersisa sekitar 11,19 persen saja. Penyusutan terbesar terjadi di Jawa Timur, dari luasan 57.500 ha menjadi hanya 500 ha (8 persen), kemudian di Jabar, dari 66.500 ha tinggal kurang dari 5.000 ha. Sedangkan di Jateng, tinggal 13.577 ha dari 46.500 ha (tinggal 29 persen). Sementara luas tambak di Pulau Jawa adalah 128.740 ha yang tersebar di Jabar (50.330 ha), Jateng (30.497 ha), dan di Jatim (47.913 ha). Dikhawatirkan apabila di waktu mendatang dilakukan ekstensifikasi tambak dengan mengubah hutan mangrove atau terjadi pengrusakan dan penyerobotan lahan hutan mangrove, maka kemungkinan besar akan sangat sulit untuk mendapatkan hutan mangrove di Jawa, bahkan didaerah manapun di Indonesia ini. Mengingat betapa pentingnya arti kelestarian hutan bakau ini bagi kelangsungan hidup ekosistem kelautan maka sudah selayaknya dan sewajarnya lah apabila pemerintah daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini sangat memperhatikan keselamatan Hutan-hutan Bakau yang ada diwilayah provinsi Bangka Belitung. Tak terbayangkan apa yang akan dirasakan oleh seluruh masyarakat kepulauan Bangka Belitung ini bila suatu saat kelak ekosistem Hutan Mangrove (hutan Bakau) yang ada di provinsi kepulauan Bangka Belitung ini hancur atau bahkan musnah, seberapa besar nilai kerugian yang akan didapat, dan seimbangkah dengan pendapatan dan penghasilan dari kegiatan perekonomian yang hanya akan berdampak sesaat saja? Tanpa memperhatikan dampak negatif jangka panjang bagi provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini. Kerugian Materiil yang sangat besar nilainya jika di rupiahkan dan kerugian sprituil yang tak ternilai harganya ... Sumber : |
Kamis, 13 Januari 2011
ANALISA EKONOMI PASKA BANJIR BANDANG BESITANG
Latar Belakang
Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara adalah bagian terparah dari (daerah-daerah di sumatera akibat bencana banjir bandang pada 22 Desember 2006 yang lalu. Bencana ini juga menimpa Kabupaten Aceh Tamiang, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Bencana banjir bandang ini menyebabkan Kabupaten Langkat berada dalam krisis yang amat dalam. Menurut perkiraan yang dilakukan oleh Satlak PBP Kabupaten Langkat sekitar 19 orang yang tewas dan 6 orang yang dinyatakan hilang dalam bencana ini. Bencana ini telah menyebakan pula sekitar 58.371 orang dan khusus untuk Kecamatan Besitang 9.696 orang kehilangan mata pencaharian terutama di sector pertanian, perkebunan, perternakan, perikanan dan pelayanan jasa. Seluruh korban dan kerusakan yang ada tersebar dalam 15 kecamatan di Kabupaten Langkat.
Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat adalah salah satu daerah yang cukup parah terkena dampak dari bencana ini. 2.542 unit bangunan sarana dan prasarana yang ditemui di daerah bencana berada dalam kondisi yang mengenaskan, hancur retak maupun rusak berat. Berdasarkan pengamatan terakhir yang dilakukan ke lapangan beberapa waktu yang lalu, di wilayah ini terdapat lebih kurang 6.342 jiwa pengungsi yang masih menempati lokasi penampungan sementara korban dan tersebar dalam beberapa tempat penampungan.
Tahap (fase) darurat untuk menyediakan bahan makanan dan tempat penampungan dapur umum sementara sedang dalam proses pelaksanaan. Pos dapur umum ini memiliki nilai tersendiri bagi warga dan korban bencana banjir bandang, pos ini berdiri seadanya atas prakarsa spontan warga yang selamat dengan korban banjir banding. Namun perlu kiranya dimulai upaya-upaya untuk memulai perencanaan untuk jangka menengah dan panjang dalam dalam upaya pemulihan kawasan ini. Salah satu aspek yang cukup penting dilakukan adalah bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang kiranya akan berhubungan langsung dengan kemampuan dan percepatan kawasan ini menuju ke pemulihan.
Tujuan dari analisis ini adalah memaparkan hasil telaah dari pengamatan singkat yang di lakukan di kabupaten ini untuk mengidentifikasi karakter perekonomian, pendidikan dan kesehatan terutama di daerah-daerah yang terkena memiliki dampak terparah dari bencana ini. Dari proses identifikasi dan analisa terhadap permasalahan yang ada, diharapkan sebuah pengertian yang mendalam terhadap kondisi perkembangan dan pertumbuhan desa serta langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mengatasi permasalahan yang timbul.
Deskripsi Lokasi
Kabupaten Langkat, yang beribukota di Stabat, merupakan batas Timur dari kawasan TNGL. Wilayah Kabupaten Langkat terletak pada koordinat 3°14° - 4°13° LU dan 97°52° - 98°45° BT dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
· Sebelah Utara berbatasan dengan Prop. Nangro Aceh Darussalam
· Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo
· Sebelah Barat berbatasan dengan Prop. NAD dan Tanah Alas
· Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kota Binjai
Kabupaten Langkat memiliki luas wilayah 902.986 Ha dengan jumlah penduduk 944.752 jiwa yang terdiri dari : laki-laki 480.398 jiwa (50,85%), perempuan 464.354 jiwa (49,15%) yang tersebar meliputi 20 kecamatan dan 85 desa. Tujuh Kecamatan di antaranya, berbatasan langsung dengan kawasan TNGL, yaitu Kecamatan Bohorok, Salapian, Sei Bingei, Batang Serangan, Padang Tualang, Sei Lepan dan Besitang. Kerapatan penduduk Kabupaten Langkat adalah 1,58 jiwa/Ha. Etnis masyarakat di Kabupaten Langkat beragam, Sub etnis terbesar adalah Melayu, Jawa dan Batak. Kemudian Minang, Aceh, Kalimantan, Batak Mandailing dan lainnya. Mayoritas agama di kabupaten ini adalah Islam dan Kristen.
Topografi wilayah Kabupaten Langkat dapat dibedakan atas : pesisir pantai dengan ketinggian 0 – 4 meter dpl, dataran rendah dengan ketinggian 4 – 30 meter dpl dan dataran tinggi dengan ketinggian 30 – 1.200 meter dpl. Sebagian lahan datar dan lainnya berupa pegunungan dan perbukitan. Pemukiman sebagian besar terdapat di dataran rendah.
Wilayah Kabupaten Langkat beriklim tropis. Dengan perincian musim kemarau pada bulan Februari s/d Agustus dan musim kemarau pada bulan September s/d Januari. Curah hujan rata-rata adalah 3.268 mm/tahun dan suhu rata-rata sebesar 28°C.
Jenis dan struktur tanah di Kabupaten Langkat yaitu di daerah pantai terdiri dari tanah alluvial, dataran rendah terdiri dari tanah jenis glei humus rendah, hidromofil kelabu dan plarosal serta dataran tinggi dan perbukitan terdiri dari tanah podsolid merah kuning.
Kecamatan Besitang luas daerahnya 71.048 Ha atau 710,48 km², dengan letak diatas permukaan laut lebih kurang 1.000 mdpl, dan curah hujan rata-rata 180 mm. jarak Kecamatan Besitang dengan ibukota Kabupaten Langkat lebih kurang 61 Km. Kecamatan Besitang juga dilalui oleh sungai, seperti : Sungai Besitang (panjang 83 km, lebar 40 km, volume air 9 km³). Ibukota Kecamatan Besitang, terletak di Besitang, dan memiliki 8 desa, dan 3 kelurahan. Jumlah penduduk di kecamatan Besitang 59.840 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk 84,22 Km².
Secara Topografis sebagian besar desa yang berada dalam administrasi kabupaten ini berada di daerah dataran rendah, dan bersinggungan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) .
Kondisi Geografis dan Demografis
Berdasarkan data assesmen akhir, paska bencana yang dilakukan oleh tim Bisop Rilief Programme (BRP), terdapat 58.371 jiwa berada diseluruh wilayah kabupaten ini dengan perbandingan sebesar 51% laki-laki dan 49% perempuan, sebuah jumlah yang secara proporsi hampir sebanding.
Kecamatan Besitang merupakan daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang relatif tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya, sedangkan urutan selanjutnya berada di kecamatan Secanggang. Sebuah suatu kebetulan bahwa kedua wilayah ini merupakan daerah yang paling menderita akibat bencana banjir bandang, mengingat keduanya secara topografis berada di dataran rendah pantai timur Sumatera.
Tingkat pendidikan rata-rata penduduk di dua kecamatan ini setingkat SD sedangkan jumlah penduduk yang tamat setingkat Akademi maupun D-1 hanya berkisar 1% dari keseluruhan jumlah penduduk. Adapun konsentrasi penduduk yang berpendidikan ini (dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi) ini terdapat paling banyak di kecamatan Secanggang dan kecamatan Besitang. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi sekolah yang relatif berada didalam dua kecamatan ini.
Saat ini 9 unit sekolah dari 6 unit SD, 3 unit SMP dan 1 unit SMA di Kecamatan Besitang rusak. Terutama hancurnya perlengkapan belajar mengajar, seperti meja, kursi, dan buku-buku paket kurikulum siswa yang terendam banjir dan lumpur.
Sejak tanggal 5 Januari 2007 yang lalu, pelajar secara bergotong royong melakukan aksi bersih sekolah dari sisa-sisa banjir, dan sekolah yang beruntung masih memungkinkan untuk melaksanakan proses belajar mengajar walaupun pelajar duduk di atas alas (tikar) seadanya. Hampir keseluruhan pelajar tidak lagi memiliki pakaian seragam sekolah yang bisa dikenakan dibandan mereka, termasuk juga perlengkapan belajar seperti tas, alat tulis, buku tulis, buku pelajaran, dan lainnya.
Kondisi Sosial-Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi paska bencana banjir bandang pada kedua kecamatan ini sangat memprihatinkan, rusaknya pertanian dan perkebunan rakyat yang selama ini merupakan tulang punggung perekonomian desa-desa di kecamatan ini.
Menurut hasil assesment Bisop Rilief Programme yang terakhir bahwa kerusakan lahan pertanian dan perkebunan di Besitang sangat dominan yang dapat dilihat dalam tabel dibawah ini
Kerusakan total pertanian dan perkebunan rakyat juga di ikuti dengan banyaknya ternak rakyat, seperti kambing, sapi, kerbau dan ayam yang jumlahnya mencapai nilai puluhan dan ratusan ekor yang mati. Tentu ini juga menjadikan ekonomi warga menjadi terhenti dan tidak produktif.
Kondisi Infrastruktur
Menggunakan data Assesment dilapangan maka diperoleh hasil rumah dan fasilitas umum yang rusak di Kecamatan Besitang, seperti di dalam tabel 1 dan 2 dibawah ini.
Tabel 1 : Data Kerusakan Fasilitas Umum
No | Desa | Fasilitas Umum/Rumah Ibadah | Jumlah Dusun Yang Terkena Bencana | Keterangan | ||
Mesjid | Gereja | Sekolah | ||||
1 | Kel. Pekan Besitang | 0 | 0 | 0 | 1 link dari 12 | 4 org meninggal = hanyut |
2 | Kel. Bukit Kubu | 0 | 0 | 1 SD | 7 link dari 10 | 2 org meninggal = 1 di RS, 1 di pengungsi, 150 los pekanan |
3 | Kel. Kampung Lama | 0 | 0 | 1 SD, 1 MTs + 1 SD | 5 link dari 6 | 1 org meninggal = hanyut |
4 | Perkebunan Iinti Rakyat | 0 | 0 | 0 | 1 link dari 4 | 1 org meninggal |
5 | Desa Sekoci | 2 | 4 | 2 SD | 3 link dari 6 | |
6 | Desa Bukit Mas | 3 | 3 | 2 SD, 1 TPA | 5 link dari 10 | |
Jumlah | 5 | 9 | 9 |
Sumber : Bisop Rilief Programme, 2007
Tabel 2 : Data kehilangan rumah (hilang/Rusak Berat) :
No | Desa/Dusun | Jumlah (unit) |
1 | Arasnapal Kanan | 67 |
2 | Kodam Bawah | 35 |
3 | Pantai Gadung | 2 |
4 | Sekoci | 10 |
Sumber : Bisop Rilief Programme, 2007
Menurut data dari Satlak PBP Kabupaten Langkat, bahwa rumah yang rusak berat 637 unit, rusak ringan 1.915 unit, jadi total keruskan rumah di Kabupaten Langkat keseluruhannya berjumlah 2.542 unit. Yang dimaksud dengan rusak ringan, yaitu berdasarkan pedoman dari Dinas Kimpraswil yang mengklasifikasikan tingkat kerusakan sebagai berikut : Rusak Total (76%-100%), Rusak Berat (51%-75%), dan Rusak Ringan (25%-50%).
Salah satu keuntungan yang dimiliki oleh Kabupaten Langkat adalah terpasangnya listrik di hampir seluruh desa yang ada di wilayah ini. Secara proporsional, Besitang adalah kecamatan dengan rasio pemasangan listrik terbaik dengan sisa desa masing-masing 2 dan 3 yang belum dialiri listrik,. Namun dilihat dari jumlah pelanggan, Besitang merupakan kecamatan dengan pelanggan listrik terbanyak di kabupaten ini.
Kondisi Sekolah
Fasilitas pendidikan seperti sekolah dan perlengkapan pendidikan lainnya rusak. Fasilitas kesehtan rusak. Air dan sanitasi tidak bisa digunakan lagi. Fasilitas pendidikan yang rusak dan terendam lumpur berjumlah 8 sekolah dasar, 1 MTs, dan Kantor Kepala Cabang Dinas Pendidikan Nasional. Sekolah yang rusak dan tidak dapat dipakai lagi terletak di Desa Pekan Besitang, Kampung Lama, Sekoci dan Bukit Mas, dan Bukit Kubu. Peralatan sekolah seperti furniture, buku, alat peraga tidak dapat digunakan lagi. Peralatan sekolah milik siswa sepert: buku tulis, alat tulis, buku pelajaran dan seragam sekolah juga mengalami kerusakan. SD 056647 yang terletak di desa Skoci hingga saat ini masih dijadikan tempat pengungsian.
Analisis Kondisi Perekonomian Setelah Bencana Banjir Bandang
Bencana banjir bandang yang baru lalu telah memporak-porandakan sendi kehidupan masyarakat di Kabupaten Langkat. Sebagai akibat dari bencana ini, di terdapat 6.342 jiwa berada dalam pengungsian dan tersebar dalam beberapa kamp pengungsian. Dari data terakhir yang dilakukan berdasarkan survey lapangan, terdapat 6.342 jiwa yang berada di tempat pengungsian.
Tabel 3. Data korban banjir s/d tanggal 26 Desember 2006
No. | Lokasi | Jumlah KK | Jumlah Korban | ||
KK | Jiwa | (%) KK | |||
1 | Kecamatan Stabat | 2.285 | 11.415 | ||
2 | Kecamatan Sei Lepan | 1.636 | 9.435 | ||
3 | Kecamatan Babalan | 1.952 | 6.639 | ||
4 | Kecamatan Besitang | 1.300 | 6.500 | ||
5 | Kecamatan Sawit Seberang | 1.025 | 5.425 | ||
6 | Kecamatan Padang Tualang | 871 | 4.241 | ||
7 | Kecamatan Sei Wampu | 791 | 3.955 | ||
8 | Kecamatan Pangkalan Susu | 308 | 1.324 | ||
9 | Kecamatan Batang Serangan | 262 | 805 | ||
10 | Kecamatan Hinai | 124 | 510 | ||
11 | Kecamatan Secanggang | 62 | 253 | ||
12 | Kecamatan Gebang | 30 | 96 | ||
Jumlah | 10.646 | 50.598 |
Sumber : Posko Induk Bencana Banjir Kabupaten Langkat di Besitang
Tabel 4. Daftar Nama Korban Banjir
No. | Nama | Jenis Kelamin | Umur | Alamat | Keterangan |
1 | Evindo | Laki-laki | 25 th | Ds. Sei Mati, Besitang | Meninggal |
2 | Rasmi | Perempuan | 65 th | Ds. Sei Mati, Besitang | Meninggal |
3 | Murni | Perempuan | 30 th | Ds. Sei Mati, Besitang | Meninggal |
4 | Manto | Laki-laki | 3 th | Ds. Sei Mati, Besitang | Meninggal |
5 | Ratna | Perempuan | 35 th | Ds. Bukit Mas, Besitang | Hilang (saudara karyawan Balai TNGL) |
6 | Sopyan H. | Laki-laki | 2 th | Lingk 6 Alur Luk, Besitang | Meninggal |
7 | Asandriani S. | Perempuan | 10 th | Kec. Hinai | Meninggal |
8 | Tono | Laki-laki | 8 th | Kec. Stabat | Meninggal |
9 | Cici Anjelina | Perempuan | 6,5 th | Ds. Bukit Mas, Besitang | Meninggal |
10 | Bayi | Ds. Bukit Mas, Besitang | Meninggal | ||
11 | Feni | Perempuan | 70 th | Kec. Besitang | Hilang |
12 | Suparto | Laki-laki | 2,5 th | Kec. Besitang | Hilang |
13 | Nasir | Laki-laki | Kec. Besitang | Hilang | |
14 | Yuli | Perempuan | Kec. Besitang | Hilang | |
15 | Sijum | Perempuan | Kec. Besitang | Hilang | |
16 | Ani | Perempuan | Kec. Besitang | Hilang | |
17 | Lilik | Perempuan | Kec. Besitang | Hilang | |
18 | Dede | Laki-laki | 12 th | Kec. Stabat | Hilang |
Sumber : Posko Induk Bencana Banjir Kabupaten Langkat di Besitang
Dalam perspektif kawasan kabupaten, jumlah pengungsi ini cukup kecil dibandingkan dengan jumlah seluruh populasi penduduk yang ada yakni lebih kurang 6,3 % dari total jiwa penduduk Kabupaten Langkat. Namun magnitude bencana ini membawa dampak negatif terhadap keseluruhan perekonomian kabupaten ini.
Hal ini disebabkan oleh peranan dua kecamatan yaitu Kecamatan Besitang dalam perekonomian keseluruhan kabupaten. Hal ironis yang terjadi dari bencana banjir bandang ini adalah sebagai daerah yang memiliki kontribusi terbesar dalam perekonomian kabupaten Langkat, Kecamatan Besitang adalah wilayah terparah terkena dampak banjir bandang.
Kabupaten Langkat, secara ekonomi memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap keberadaan kecamatan ini. Hal ini dapat terlihat dari komposisi pendapatan daerah yang banyak dikontribusikan oleh sumber daya yang relatif terkonsentrasi di kecamatan ini. Pertanian dan perkebunan yang merupakan tulang punggung perekonomian kabupaten ini memiliki luas lahan terluas di kecamatan ini yaitu kecamatan Besitang.
Industri walau dalam skala kecil memiliki sebaran konsentrasi di beberapa kecamatan. Konsentrasi industri terutama terletak di kecamatan Berandan, yang dapat dimengerti karena posisi daerah yang relative berada di jalan raya yang menghubungkan kabupaten Langkat dan kota Medan sebagai sentra perekonomian di wilayah Sumatera. Hal ini juga disebabkan oleh prasarana pendukung yang relative lebih baik dibandingkan dengan kecamatan lain dilihat dari prasarana listrik sebagai sumber daya penting dalam proses industri.
Pasca bencana banjir bandang ini memiliki dua implikasi penting bagi kabupaten ini. Implikasi pertama adalah tingkat inflasi atau kenaikan harga-harga barang terutama barang kebutuhan pokok yang diukur dengan index sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako) yang meliputi bahan-bahan dasar seperti beras, ikan asin, telur dan lain sebagainya. Tingkat pertumbuhan inflasi lokal Kabupaten yang menurut perkiraan sebelum banjir bandang berikisar antara 2-3 % pertahunnya melonjak hingga mencapai 40% di masa-masa awal pasca banjir bandang.
Adapun dengan melihat dari proporsi jumlah penduduk dengan luas lahan serta jumlah industri, akanlah tampak bahwa kecamatan Besitang memiliki kontribusi terbesar dalam penyerapan tenaga kerja. Magnitude dari bencana banjir bandang terhadap kecamatan ini, tidak saja hanya berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja di kecamatan ini saja, melainkan wilayah Langkat secara keseluruhan. Bencana banjir bandang ini telah menyebabkan Kabupaten ini terpuruk dalam penurunan proporsional angka pengangguran dari sekitar 10% menjadi sekitar 15,20 % dari seluruh angkatan kerja di kabupaten Langkat yang ironisnya adalah tenaga kerja yang terbilang cukup produktif berkontribusi terhadap pendapatan daerah.
Namun bukan berarti Kabupaten ini akan terus menerus terpuruk kedalam kondisi ekonomi yang mengenaskan. Satu hal yang menjadi catatan dari pengamatan terakhir di lapangan adalah cukup terkendalinya tingkat inflasi. Hal ini disebabkan oleh membaiknya sarana dan prasarana yang ada di kabupaten ini terutama di daerah-daerah yang terkena dampak banjir bandang terparah yaitu kecamatan Besitang. Jalan raya penghubung antara kabupaten ini dengan kota Medan sebagai pemasok utama barang-barang konsumsi. Hal ini juga dipengaruhi pula oleh kembalinya kegiatan produksi di kantong-kantong produksi yang diakibatkan banyaknya peran serta banyak pihak yang memberikan bantuan dari badan-badan kemanusiaan baik dalam maupun luar negeri.
Satu hal penting yang menjadi satu catatan dalam pengamatan singkat ini adalah peranan institusi dalam proses percepatan perbaikan tingkat inflasi di kabupaten. Institusi pemerintahan yang terpusat di kota Stabat relatif jauh dari Daerah Aliran Sungai yang merupakan pusat bencana. Walau berada dalam kondisi yang belum maksimal kehadiran peranan lembaga dalam hal ini lembaga kepemerintahan dapat diharapkan sebagai faktor yang yang akan banyak membantu.
Namun perbaikan tingkat inflasi belumlah dapat dijadikan sebagai suatu ukuran keberhasilan perbaikan ekonomi bagi seluruh wilayah Langkat. Implikasi lain akibat dari bencana banjir bandang ini adalah meningkatnya jumlah angka pengangguran. Upaya yang harus segera dilakukan adalah mengupayakan secepat mungkin mengembalikan tenaga kerja produktif ini untuk kembali segera bekerja terutama di daerah-daerah yang berkontribusi tinggi terhadap perekonomian Langkat seperti kecamatan Besitang. Upaya seperti revitalisasi pertanian dan perbaikan prasarana perkebunan atau perikanan adalah mendesak untuk segera dilakukan. Implikasi positif akan timbul dari upaya segera untuk merevitalisasi pertanian dan perikanan. Pertama adalah untuk memperbaiki ekonomi wilayah Langkat secara keseluruhan dalam jangka menengah kemudian kedua adalah untuk membangun sebuah sistem perekononomian yang dapat mencukupi sendiri kebutuhannya dalam jangka panjang dan mendukung perekonomian kembali ke arah ekuilbrium keseimbangan yang akan menguntungkan semua pihak didalam kabupaten Langkat.
Efrizal Adil Lubis
Langganan:
Postingan (Atom)