Rabu, 12 Januari 2011

CATATAN BANJIR DI AWAL TAHUN 2011


Tak pernah menyangka kalau berton-ton air mengalir memenuhi seluruh ruang dihalaman dan di dalam rumah, mengalir deras tanpa bisa dihalangi. Ini kah rezeki yang mendatangi diri di awal tahun?.

Sebagian orang memandang ini merupakan bencana, dan sebagian juga mengatakan ini merupakan hukuman dari Pencipta Bumi dan sekitarnya. Ini merupakan akumulasi dari perbuatan negatif yang tidak mempertimbangkan keseimbangan alam ini.

Di awali hujan deras selama 150 menit mengguyur seluruh permukaan alam di Kota Medan, hujan merata, dan berlangsung sejak jam 09.00 s/d 11.30 Wib, tanggal 5 Januari 2011. Kemudian hari berganti, ketika waktu menunjukkan jam 01.30 Wib, tanggal 6 Januari 2011, perlahan air di badan Sungai Deli, Sungai Babura, Sungai Denai/Percut, dan Sungai Belawan/Sunggal meluap keluar dari lintasannya, memenuhi seluruh daratan di 15 Kecamatan Kota Medan. Ketinggian air di mulai dari 170 s/d 300 cm dari permukaan tanah. Air bercampur lumpur, dan tumpukan sampah.

Ketika semua orang sibuk menjadi ahli dalam menganalisa kejadian banjir di Medan pada tanggal 6 Januari 2011 dini hari, maka saya menyimpulkan bahwa kejadian banjir ini selain terjadi kerusakan lingkungan alam di hulu, tengah dan hilir lintasan badan sungai, juga disebabkan memang menjadi karakteristik tradisional sungai itu sendiri dalam setiap kurun waktu 10-25 tahun akan menimbulkan banjir dengan debit air yang melimpah ke arah hilir. Ini terbuktikan dengan pengakuan setiap orang tua yang berdomisili di sekitar Daerah Aliran Sungai, yang telah mengalami peristiwa serupa sejak tahun 1950, 1960, 1970, 1980, 1990, 2001, dan di awal tahun 2011 ini.

Hasil analisa para ahli, kejadian banjir di Medan tahun 2011 ini disebabkan jebolnya DAM di hulu (desa Simeme, Karo), serta hujan yang merata diseluruh kabupaten-kota di Sumatera Utara selama 2-3 hari ini, dan tingginya gelombang laut di Selat Malaka (hilir), dan tataruang dan drainase di Kota Medan sangat buruk. Kemudian Kanal (Titi Kuning) yang baru selesai dibuat dengan dana pinjaman dari Jepang tidak mampu menerima besar debit air yang masuk, disebabkan kelalaian para teknisi memperhitungkan kalau ada luapan air yang sebesar ini, sehingga fungsi kanal tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Bagi kita orang awam dan korban banjir, sepertinya sudah kelelahan untuk menganalisa sebab akibat ini, yang terlihat dari pancaran mata setiap korban adalah kelelahan dan kepenatan menerima janji-janji para penguasa dimasa kampanye dahulu. Walau masih dirasa saat ini kehadiran para senator lokal, atau pejabat publik yang dahulu sangat rajin mendatangi warga korban, dan kini tidak ada sama sekali yang datang, malahan pura-pura prihatin dan buat statement di media-media. Dan lebih ironisnya lagi, buat pernyataan hendak re-lokasikan warga pinggiran Daerah Aliran Sungai tersebut, atau membuat Rumah Susun, dan lainnya yang berorientasi proyek triliyunan. Memang warga korban masyarakat kelas 4 dan sangat kecil memiliki peluang untuk membela diri atau melakukan negoisasi dengan para senator lokal dan penguasa kota ini.

Pertanyaan bagi kita semua, apa tidak ada solusi yang benar lagi? sehingga selalu menjadi korban masyarakat pinggiran Daerah Aliran Sungai? korban janji, korban proyek, korban kebijakan, dan yang pasti korban banjir.....

Kalau melihat dan membaca statement para pejabat publik terkait, jauh sebelum bencana terjadi, melalui media terbitan lokal dan nasional, mereka menyatakan telah lakukan penanaman pohon, bahkan dengan jumlah fantastik, dan lakukan gerakan penghijauan disana sini, serta dengan acara seremonial yang besar-besaran dan meriah mewah. tapi kenapa juga hutan tetap gundul, dan berfungsi lain? bahkan berdiri bangunan mewah tempat beristrirahat para pejabat tersebut bersama keluarganya dan sahabat pengusaha dekatnya dilahan yang dikatakan mereka telah di rehabilitasi dengan penghijauan.....


Memang tidak ada yang sempurna, semua masih membutuhkan bencana baru lagi, sehingga kita semua menyadari kalau keseimbangan alam ini mesti terjaga. Atau akhirnya kita mulai sadar juga bahwa secara personal kita turut menyumbang kerusakan alam ini, terutama kelakuan kita sendiri yang membiasakan diri membuang sampah di selokan atau sungai. Kita lupa bahwa kita sering menuntut, tetapi kita tidak mau belajar untuk peduli juga. Yang terjadi biarlah terjadi, tetaplah belajar untuk berubah....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar